Frekuensi buang air besar bisa berbeda-beda setiap orang, rentang kenormalannya antara tiga kali sehari dan tiga kali dalam sepekan. Terdapat sejumlah faktor lain yang memengaruhinya.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·5 menit baca
Dalam banyak budaya, membicarakan soal buang air besar alias buang hajat dianggap tabu, memalukan. Membicarakan soal buang air besar di tengah orang yang sedang makan dianggap tidak sopan. Karena itu, jika Anda sedang menikmati santapan Anda saat membaca tulisan ini, maka lebih baik hentikan aktivitas Anda membaca dan fokuslah menikmati makanan Anda.
Meski dianggap memalukan, kebiasaan buang air besar seseorang bisa menggambarkan kondisi kesehatan mereka dan seberapa baik tubuh mereka berfungsi. Buang hajat adalah mekanisme tubuh manusia untuk membuang kotoran ataupun sisa makanan yang tidak tercerna atau tidak diserap tubuh.
Sebagian orang khawatir terlalu banyak atau terlalu sering buang air besar dalam sehari, sedangkan yang lain justru merasa tidak cukup sering mengeluarkan kotoran mereka. Meski demikian, menentukan ukuran frekuensi ”normal” buang air besar memang sulit dibuat standar. Frekuensi buang air besar manusia sangat bervariasi.
Studi Susanna A Walter dan rekan yang dipublikasikan di Scandinavian Journal of Gastroenterology, Mei 2010, menunjukkan, 98 persen responden mereka buang air besar antara tiga kali sehari dan tiga kali seminggu. Frekuensi buang air besar inilah yang banyak diacu ahli kesehatan. Karena itu, jika frekuensi buang hajat Anda masih dalam rentang frekuensi tersebut, akan dianggap normal.
Frekuensi seseorang buang hajat itu, seperti dikutip dari Medical News Today, 1 November 2017, sangat bergantung pada berbagai hal, seperti asupan cairan, pola makan, usia, aktivitas fisik, kondisi hormon tubuh, riwayat kesehatan, dan situasi sosial di sekitar. Hal lain yang memengaruhi frekuensi buang air besar, seperti dikuti dari Live Science, 22 April 2014, antara lain bepergian jauh atau jet lag, hamil, dan cukup tidaknya waktu tidur malam hari.
Kurang minum bisa membuat kotoran menjadi keras sehingga menimbulkan sembelit atau sulit buang air besar. Sedangkan pola makan tinggi serat akan membantu memperlancar proses buang air besar, menjaga keteraturan buang hajat, dan tentu saja mencegah sembelit.
Sementara itu, konstipasi atau kesulitan buang air besar sering dikaitkan dengan penuaan. Makin bertambah umur, usus makin lambat bekerja hingga kotoran tidak bisa melewati usus dengan cepat.
Konsumsi obat-obatan tertentu, yang umum diminum pada warga senior, juga bisa mengganggu kebiasaan buang air besar. Namun, dampak obat-obatan ini bukan hanya terjadi pada warga lanjut usia, mereka yang muda juga bisa merasakan dampaknya jika menderita penyakit radang usus kronis, seperti penyakit Crohn atau kolitis ulseratif.
Penyakit Crohn memicu peradangan pada lapisan dinding sistem pencernaan, mulai dari mulut sampai anus. Sedangkan kolitis ulseratif (ulcerative colitis) adalah peradangan pada usus besar (kolon) atau bagian akhir usus besar yang tersambung ke anus (rektum). Peradangan usus itu bisa membuat seseorang menjadi lebih sering atau justru lebih jarang buang hajat.
Tubuh yang aktif bergerak juga akan membuat usus besar bekerja lebih baik hingga lebih mudah memindahkan kotoran. Inilah yang membuat mereka yang sering mengalami sembelit diminta untuk lebih banyak menggerakkan tubuhnya, baik dengan berjalan kaki maupun berlari.
Namun, frekuensi buang air besar itu juga dipengaruhi hormon, khususnya progesteron dan estrogen. Sejumlah perempuan melaporkan mereka akan lebih sering buang hajat saat menjelang datang bulan atau menstruasi.
Hal lain yang tak bisa diabaikan adalah kondisi sosial di sekitar. Sejumlah orang hanya bisa buang air besar di toilet rumah mereka atau mengalami kesulitan saat buang hajat di toilet umum, kantor, bahkan toilet hotel yang bagus sekalipun. Sulit buang air besar juga biasa dialami seseorang yang menggunakan toilet umum atau toilet bersama, khususnya saat ada orang lain di toilet sebelahnya. Kondisi itu bisa membuat seseorang ”menahan” untuk mengeluarkan kotorannya.
Para ahli umumnya berpendapat, selama seseorang bisa buang air besar secara teratur, maka itu bisa disebut normal. Syaratnya, kotorannya lunak atau tidak keras, tetapi juga tidak terlalu cair. Selain itu, proses mengeluarkan kotoran itu mudah, tidak perlu mengejan kuat-kuat, dan tidak menimbulkan rasa sakit atau ketidaknyamanan ketika kotoran atau feses itu keluar.
Keteraturan adalah kunci buang air besar yang normal selama frekuensi buang air besar tersebut antara tiga kali sehari dan tiga kali seminggu. Keteraturan itu tidak berarti harus buang air besar setiap hari, asalkan konsisten. Jika keteraturan frekuensi buang hajat itu berubah, baik menjadi lebih sering maupun lebih jarang, itulah yang perlu menjadi perhatian.
Namun, menjadi lebih sering buang air besar bukan berarti bisa menyebabkan penurunan berat badan. Banyak orang minum obat pencahar atau teh pelangsing dengan harapan akan mengurangi kalori dan timbunan lemak dalam tubuh hingga membuat tubuh mereka langsing. Konsep ini keliru karena sebagian besar penyerapan kalori terjadi di usus kecil, sedangkan obat pencahar bekerja di usus besar.
Di kalangan masyarakat Barat, masyarakat Asia dianggap mengeluarkan kotoran atau feses lebih banyak per hari dibandingkan dengan rata-rata orang Barat hingga tubuh mereka menjadi lebih langsing. Anggapan itu muncul karena lebih rendahnya tingkat obesitas masyarakat Asia, seperti di Jepang dan Korea Selatan, ketimbang masyarakat Barat.
Padahal, situasi itu terjadi karena tingginya konsumsi serat dari biji-bijian, kacang-kacangan, sayur, hingga rumput laut masyarakat Asia dibandingkan dengan pola diet masyarakat Barat yang berbasis pada daging dan makanan olahan. Selain itu, aktivitas fisik yang tinggi dengan berjalan kaki atau penggunaan transportasi umum juga membuat mereka lebih banyak membakar kalori dan tentu saja, lebih lancar saat buang air besar.