Seiring lonjakan kasus di sekitar tempat tinggal, warga kini perlu menumbuhkan empati bagi para pasien positif Covid-19. Empati warga dapat mendukung para pasien agar tidak lagi menganggap Covid-19 sebagai aib.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Stigma atau anggapan negatif terhadap orang yang tertular Covid-19 itu nyata. Sekali muncul kabar kasus positif di kalangan komunitas warga, ada kepanikan yang turut beredar menyertainya. Stigma ini pula yang menyulitkan penanganan pandemi saat penambahan jumlah kasus harian masih tinggi.
Hal ini dirasakan Reni Puspita (32). Warga Depok, Jawa Barat, ini masih mengingat betapa panik warga saat muncul kasus positif Covid-19 pertama kali di wilayahnya. Semua warga saling waspada dengan adanya kemungkinan tetangga yang tertular Covid-19.
Pernah suatu saat pada pertengahan Mei, Reni pun sempat dicurigai positif Covid-19 oleh warga setempat hanya karena menemani seorang teman untuk tes usap (swab). “Padahal waktu itu saya hanya mendampingi teman yang takut untuk tes swab. Karena ada tetangga yang dengar, lalu sempat jadi pembicaraan warga setempat,” tutur Reni, Sabtu (11/7/2020).
Stigma serupa hingga kini terus bermunculan dan kerap mengarah pada tindakan yang ekstrem. Meika Arista, seorang penyintas Covid-19 di Jakarta, bercerita dirinya sempat mendapat teror dari seorang oknum warga di tempat tinggalnya pada Maret silam. Oknum itu memaksa Meika untuk keluar dari indekos di bilangan Jakarta Timur sementara waktu demi keamanan warga setempat.
Padahal, Meika hari itu dalam kondisi isolasi diri di indekosnya. “Bayangkan ketika menerima pesan dari oknum warga itu pukul 21.00, saya perempuan, seorang pendatang di Jakarta, dan tidak punya saudara sama sekali. Saya tertekan dan menangis, mungkinkah saya ke Yogyakarta malam itu juga? Sepertinya enggak mungkin,” ujar Meika dalam diskusi daring yang diselenggarakan Laporcovid19.org, Kamis (9/7/2020).
Selain pengalaman Reni dan Meika, stigmatisasi terhadap pasien Covid-19 terus terjadi di berbagai tempat. Stigma pasien Covid-19 belakangan juga menyebabkan pedagang pasar enggan turut serta dalam pemeriksaan rapid test. Sebagian dari mereka menghindari petugas karena takut mendapatkan label pasien Covid-19.
Fenomena stigmatisasi itu pun kian sering di tengah lonjakan kasus Covid-19. Adapun per 11 Juli 2020, terjadi penambahan kasus sebanyak 1.671 pasien positif. Penambahan kasus harian terus berada di angka ribuan dan sempat mencapai rekor tertinggi 2.657 kasus per 9 Juli 2020.
Memberatkan
Stigma bisa begitu memberatkan bagi para pasien Covid-19. Tri Maharini, dokter penyintas Covid-19 dari Kediri, Jawa Timur, merasakan sendiri kondisi itu menjadi beban dan membuat kecil hati. Karena hal tersebut pula, wajar apabila orang-orang akhirnya enggan periksa karena khawatir hasilnya positif.
Covid-19 pun seakan menjadi aib yang apabila ketahuan, sang pasien akan dikucilkan dari komunitasnya. Pasien yang telah sembuh pun kerap terkucilkan karena warga setempat enggan berinteraksi dengannya.
”Stigma itu ada dan saya sendiri mengalami. Saat tahu tiba-tiba ada diagnosis pneunomia, rasanya sulit sekali menguatkan diri untuk menghadapi kenyataan ini. Hidup saya pun seakan ada di ambang hidup dan mati,” tutur Tri Maharani.
Walakin, dia tidak putus asa karena para kerabat turut menguatkan dirinya. Pada akhirnya, menurut Tri, dukungan dari orang-orang sekitar penting untuk menghilangkan stigma Covid-19. Perlu ada sikap empati kepada para pasien positif agar bisa cepat pulih meski dukungan itu tetap dilakukan dalam protokol jaga jarak fisik.
Empati
Sikap empati dapat dimulai dengan tidak menstigma para pasien Covid-19. Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng M Faqih pernah menyebutkan, tidak perlu ada stigma bagi pasien Covid-19 karena penularan virus bukan berasal dari kontak fisik seperti virus HIV.
”Kasus Covid-19 bukanlah aib bagi pasien. Lagi pula, kasus ini bukan pula disebabkan oleh kontak fisik seperti virus HIV. Semakin pasien tidak terus terang dengan apa yang dirasakan, maka akan semakin sulit penanganan selanjutnya,” ungkap Daeng dalam kesempatan wawancara pada 16 Maret 2020.
Tri Maharani juga menekankan agar kerabat terdekat berupaya sebisa mungkin untuk tidak menyinggung perasaan pasien. Cara-cara yang dilakukan sebaiknya adalah membiarkan pasien bercerita. Para kerabat harus menjadi pendengar pasien yang baik.
”Kalau orang baru terdiagnosa Covid-19 beberapa hari, jangan menyinggung dengan pertanyaan, ’Kok kamu bisa kena?”. Biarkan saja sang pasien cerita sendiri. Kalau pasien enggak mau ngomong pun, ya, jangan dipaksa,” tuturnya.
Peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia, Dicky Pelupessy, menjelaskan, stigma Covid-19 berkaitan dengan informasi yang selama ini diterima masyarakat. Stigma muncul saat terjadi bias terhadap suatu informasi sehingga muncul asosiasi atau anggapan tertentu yang salah di kalangan publik.
Pemahaman publik tadi bermasalah apabila disertai prasangka atau emosi negatif. Hal yang lebih menyakitkan adalah saat muncul diskriminasi, yakni pembedaan perlakuan di kalangan sesama warga.
Dicky menyarankan, komunitas warga sebaiknya memberi dukungan moral kepada para pasien Covid-19. Cara menarik dilakukan oleh sejumlah komunitas, seperti di Kampung Balirejo, Umbulharjo, Yogyakarta. Mereka menyambut warga yang sembuh dari Covid-19 dengan sukacita.
Di sana, ada saja tetangga yang membawakan makanan dan minuman di depan rumah pasien Covid-19. Para warga juga turut memberi dukungan dari telepon. ”Cara-cara seperti itu justru dapat menghapus stigma pasien dan tidak lagi menganggap Covid-19 sebagai aib,” ujar Dicky.
Pada akhirnya, dukungan terhadap pasien Covid-19 tidak hanya berhenti pada tatanan medis, tetapi juga sikap kepedulian dari kerabat dekat. Dengan hilangnya stigmatisasi Covid-19, warga tidak ragu dalam mengikuti pemeriksaan. Kondisi ini pun memudahkan deteksi dan penanganan Covid-19 ke depan.