Penurunan akses pada layanan kontrasepsi bisa berdampak pada tingginya angka kehamilan yang tidak dikehendaki. Jika tidak segera diatasi, kondisi ini bisa mengancam capaian bonus demografi di masa depan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Akses terhadap layanan kontrasepsi semakin terhambat di tengah pandemi Covid-19. Persoalan ini perlu segera diatasi untuk mencegah dampak panjang yang bisa mengancam pembangunan sumber daya manusia di Indonesia.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan, penurunan akses pada layanan kontrasepsi bisa berdampak pada tingginya angka kehamilan yang tidak dikehendaki. Jika tidak segera diatasi, kondisi ini bisa mengancam capaian bonus demografi di masa depan.
“Kehamilan yang tidak dikehendaki atau unwanted pregnancy penting untuk diperhatikan karena sebelum masa pandemi ini saja angkanya sudah sangat tinggi. Untuk angka secara nasional mencapai 17 persen. Sementara di beberapa kota besar jauh lebih tinggi, seperti di DKI Jakarta sebesar 26 persen dan Jogja 24 persen,” katanya di Jakarta, Jumat (10/7/2020).
Dari studi yang dilakukan oleh Badan Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) diperkirakan ada sekitar 47 juta perempuan yang tidak bisa mengakses metode-metode kontrasepsi. Akibatnya, terdapat sekitar 7 juta kehamilan tidak diinginkan (KTD) di negara-negara berkembang selama 6 bulan pertama pandemi terjadi.
Hasto menuturkan, kehamilan yang tidak diinginkan ini bisa berdampak panjang pada ketahanan sebuah keluarga. Hal itu diantaranya seperti memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, serta kondisi stunting atau tengkes pada anak. Bahkan, kondisi ini juga dapat menyebabkan kematian ibu dan bayi.
Seluruh persoalan ini perlu dicermati dan diselesaikan karena berkaitan dengan masalah kependudukan. Kondisi pandemi yang terjadi saat ini diharapkan tidak menghentikan berbagai akses layanan dasar yang dibutuhkan oleh keluarga. Perencanaan kehamilan juga dinilai menjadi kunci untuk mewujudkan ketahan keluarga.
“Disarankan agar pasangan suami istri menunda kehamilannya setidaknya untuk tiga sampai enam bulan ke depan. Kehamilan perlu direncanakan dengan baik,” tuturnya.
Selain terkait layanan kontrasepsi, pandemi Covid-19 juga berdampak pada tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga. Secara global, diperkirakan akan terjadi 31 juta kasus kekerasan berbasis gender (GBV). Selain itu, ada sekitar 2 juta kasus pemotongan kelamin perempuan (FGM) dan 13 juta perkawinan usia anak selama masa pandemi ini.
Hasto mengatakan, data di Indonesia justru berbeda dengan data global tersebut. Dari survei yang dilakukan oleh BKKBN kepada 20.400 responden yang tersebar di seluruh Indonesia, sebanyak 97,7 persen keluarga justru saling menguatkan untuk menghadapi pandemi Covid-19. Sekitar 2,5 persen responden yang menyatakan mengalami disharmoni dan kekerasan dalam rumah tangga akibat pandemi.
Meski begitu, ia menuturkan, kondisi ekonomi yang semakin terpuruk bisa memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Merujuk pada data BKKBN, sebanyak 19,8 persen keluarga sudah mulai berhutang dan sebanyak 50,08 persen yang mulai menjual barang-barang yang dimiliki oleh rumah tangganya, seperti perhiasan.
Faktor ekonomi ini yang bisa menjadi pemicu terjadinya disharmoni dalam keluarga
“Faktor ekonomi ini yang bisa menjadi pemicu terjadinya disharmoni dalam keluarga. Karena itu, butuh intervensi yang berarti untuk mengatasi persoalan ini,” ucap Hasto.
Kependudukan
Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN Dwi Listyawardani menambahkan, fungsi kependudukan yang dijalankan BKKKBN akan diperkuat melalui pengajuan Rancangan Undang-undang (RUU) untuk memperkuat UU nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Hal ini dilakukan agar kependudukan menjadi isu arus utama dalam pembangunan Indonesia.
“Dengan penguatan peta jalan kependudukan ini diharapkan juga pemerintah daerah bisa memiliki kepedulian yang sama terhadap program kependudukan. Pembangunan nasional pun bisa semakin terarah,” katanya.