Saat pandemi virus korona, perjuangan hidup orang dengan HIV atau ODHA kian terasa karena mereka dihadapkan pada kelangkaan obat antiretroviral (ARV).
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·5 menit baca
Sebelum pandemi Covid-19, perhatian untuk orang yang hidup dengan HIV sudah minim. Kini, di tengah wabah virus korona baru (SARS-CoV-2), penyebab penyakit Covid-19, perjuangan hidup orang dengan HIV atau ODHA kian terasa karena mereka dihadapkan pada kelangkaan obat antiretroviral (ARV) yang sangat penting untuk menunjang aktivitas mereka.
ARV merupakan obat yang berguna untuk menekan laju pertumbuhan virus HIV dalam tubuh pasien HIV. Obat ini penting untuk memastikan pasien dapat menjalani hidup normal, seperti bekerja dan berkeluarga, tanpa menularkan virus kepada pasangan dan anak-anaknya. Di Indonesia, sebanyak 140.000 orang dengan HIV menjalani pengobatan ARV.
Ery Sulaeman (52), warga Bali, sudah 17 tahun menjalani terapi ARV. Untuk mampu berkegiatan produktif di tengah masyarakat, Direktur Yayasan Generasi Bisa Indonesia ini bergantung pada ARV seumur hidup. Belasan tahun menjalani pengobatan ARV, baru kali ini ia merasakan keterbatasan stok obat.
Kelangkaan membuat Ery harus menerima ”jatah” ARV lebih sedikit dari biasanya, yaitu dari sebelumnya menerima ARV untuk kebutuhan dua bulan, kini obat diterima hanya untuk keperluan 2-4 pekan. Kondisi itu membuat Ery harus bolak-balik ke klinik. Kadang-kadang, ia juga harus berbagi jatah ARV kepada mereka yang kesulitan mengakses obat.
”Situasi ini sangat ironi. Di tengah anjuran kepatuhan untuk selalu mengonsumsi obat, kami dihadapkan pada kondisi kelangkaan ARV,” katanya, dihubungi dari Jakarta, Selasa (7/7/2020).
Kekurangan stok ARV, atau bahkan kedaluwarsa obat, terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia termasuk di Bandung, Jakarta, dan di Yogyakarta. Kelangkaan ini membuat banyak pasien HIV terpaksa minum obat jenis lain yang mengakibatkan efek samping. Keterbatasan obat juga membuat pasien HIV harus bolak-balik ke rumah sakit atau klinik sehingga membuat ongkos perjalanan membengkak dan membuat pasien lebih berpeluang terpapar Covid-19.
Situasi ini sangat ironi. Di tengah anjuran kepatuhan untuk selalu mengonsumsi obat, kami dihadapkan pada kondisi kelangkaan ARV.
Keterbatasan stok ARV juga membuat pasien HIV rentan mengalami stres dan depresi karena mereka dihadapkan pada ketidakpastian. Apalagi informasi mengenai pencegahan penularan Covid-19 untuk kelompok rentan masih minim.
”Tidak semua ODHA mempunyai kekebalan tubuh yang bagus. Kelangkaan obat dan minimnya informasi membuat perasaan tidak aman. Sewaktu-waktu imun tubuh bisa drop,” kata Syaiful Huda (32), warga Jakarta.
Menyadari kerentanan orang dengan HIV, pendukung sebaya dari Yayasan Victoria Plus Yogyakarta terpaksa melanggar aturan bekerja dari rumah demi mengambil obat ARV di rumah sakit dan klinik. Obat-obatan itu kemudian diantar ke rumah-rumah pasien HIV.
”Kami tidak bisa menutup mata ketika melihat teman-teman sebaya minta tolong untuk mengambilkan obat. Saat ke rumah sakit, kami harus memakai masker berlapis. Setelah mengambil obat langsung mandi dan keramas karena kami juga takut terpapar Covid-19,” kata Sekretaris Daerah Tim Advokasi Jaringan Indonesia Positif, Magdalena Diah Utami.
Beruntunglah, menurut Magdalena, sejumlah pusat layanan HIV melonggarkan aturan pengambilan obat. Di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito, misalnya, dalam kondisi normal, pasien harus mengambil sendiri obat-obatnya dengan membawa kartu registrasi ARV. Kini, pasien tidak harus datang sendiri untuk mengambil obat, tetapi bisa diwakilkan orang lain.
Menurut Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition (IAC) Aditya Wardhana, kelangkaan ARV sudah terjadi sejak tahun lalu. Kondisinya semakin parah empat bulan terakhir seiring pandemi Covid-19. Pandemi membuat obat-obatan impor tidak bisa masuk ke Indonesia. Jalur distribusi obat ke daerah juga terhambat karena penerapan pembatasan sosial berskala besar.
Di Indonesia ada 16 regimen utama yang dipakai untuk pengobatan HIV. Sebagian besar bahan baku merupakan barang impor dari luar negeri, seperti India yang memasok 80 persen kebutuhan ARV di Indonesia. Begitu ada pandemi, stok obat semakin tipis karena kegiatan produksi dan distribusi di negara asal terkendala. Perjalanan obat ke Indonesia juga terhambat.
Situasi paling parah terjadi Februari dan Maret lalu karena pasien HIV di berbagai daerah kesulitan mengakses obat-obatan. ”Saat ini ada bantuan pengadaan obat-obatan dari donor internasional, yaitu 170.000 botol obat ARV dari The Global Fund kepada Kementerian Kesehatan. Tetapi, bantuan itu hanya cukup dipakai sampai Agustus. Kami seperti berkejaran dengan waktu. Setelah Agustus, tidak ada yang menjamin ketersediaan obat,” katanya.
Petisi
Tuntutan agar negara segera menjamin ketersediaan ARV terlihat dengan munculnya petisi berjudul ”@KemenkesRI: Jamin Ketersediaan Obat ARV di Layanan Kesehatan” pada platform petisi digital Change.org. Sejak diterbitkan dua bulan lalu oleh Baby Rivona, petisi itu sudah ditandatangani 9.186 orang, mendekati target 10.000 orang.
Berdasarkan data dari UNAIDS, setiap tahun 46.000 kasus infeksi HIV baru di Indonesia, menjadikan negara ini dengan kasus infeksi baru terbanyak di Asia Pasifik setelah India dan China. Data dari Kementerian Kesehatan menyebutkan, estimasi jumlah orang yang hidup dengan HIV di Indonesia pada 2020 mencapai 640.443 orang.
Di Yogyakarta, hingga Desember 2019 terdapat lebih dari 5.140 orang hidup dengan HIV. Sebanyak 25 pendukung sebaya dari Yayasan Victoria Plus Yogyakarta memberi bantuan pelayanan dan konseling terhadap 4.270 orang dengan HIV.
Irvin Romyco, dokter umum dan pendamping pasien HIV, menyatakan, ketersediaan obat ARV belum menjadi prioritas di Indonesia. Hal ini terbukti dari kasus kelangkaan obat yang terjadi berulang kali selama bertahun-tahun.
Kelangkaan obat ARV menyiksa tidak hanya untuk warga negara Indonesia. Orang asing yang terpaksa terkunci di Indonesia karena jalur transportasi ke negara asal berhenti beroperasi juga merasakan dampak keterbatasan stok ARV. Warga negara Spanyol, Rusia, Ukraina, Kolombia, dan Inggris, yang ada di Bali sempat kehabisan ARV. ”Saya membantu mereka karena kemanusiaan. Kesulitan kita mengakses ARV juga dirasakan oleh orang asing,” kata Ery.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada konfirmasi dari Kementerian Kesehatan. ”Maaf saya sedang ada kegiatan,” kata Martin Sirait sebagai Kepala Subdirektorat Perencanaan dan Penilaian Ketersediaan Obat Publik ketika dikonfirmasi. Ia meminta Kompas mengirimkan surat izin wawancara kepada Sekretaris Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan.