Indonesia perlu mempersiapkan antisipasi dini masuknya virus flu babi tipe baru yang berpotensi menjadi pandemi. Hal itu menyusul temuan virus tersebut dalam penelitian di China.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
Temuan flu babi jenis baru di China yang bisa menular ke manusia perlu disikapi dengan hati-hati. Belajar dari pandemi sebelumnya, Indonesia perlu melakukan persiapan guna meningkatkan kapasitas pencegahan dini, termasuk juga antisipasi jika penyakit itu akhirnya masuk ke Indonesia.
Ketua Komisi Ahli Kesehatan Hewan, Kesehatan Masyarakat Veteriner, dan Karantinan Hewan Kementerian Pertanian Tri Satya Putri Naipospos, di Jakarta, Rabu (1/7/2020), mengatakan, Indonesia wajib memperkuat kapasitas riset dan diagnosis untuk mengantisipasi penyakit zoonotik atau bersumber binatang berikutnya.
”Harus ada persiapan jika virus G4 ini kemudian berkembang menjadi epidemi di China atau sudah bisa menular dari orang ke orang dan kemudian menjadi pandemi,” tuturnya.
Sebelumnya, penelitian oleh Honglei Sun dari Shandong Agricultural University dan tim yang diterbitkan di jurnal internasional PNAS pada 29 Juni 2020 menyebutkan adanya tipe baru flu babi yang dapat menginfeksi manusia dan berpotensi menyebabkan pandemi di masa depan.
Penyakit, yang oleh para peneliti disebut virus G4, secara genetik diturunkan dari flu babi H1N1 yang menyebabkan pandemi pada 2009 dan menewaskan sekitar 151.700 hingga 575.400 orang di seluruh dunia.
Harus ada persiapan, jika virus G4 ini kemudian berkembang menjadi epidemi di China atau sudah bisa menular dari orang ke orang dan kemudian menjadi pandemi.
Flu babi pada 2009 itu terjadi pada orang yang kontak dengan babi terinfeksi. Gejalanya mirip dengan influenza manusia biasa, meliputi demam, lesu, kurang nafsu makan, batuk, pilek, sakit tenggorokan, mual, muntah, dan diare. Setelah pandemi itu, virus H1N1 pada manusia menyebar kembali ke babi di seluruh dunia dan gennya menjadi kombinasi baru, termasuk menciptakan virus baru seperti G4.
Saat ini, G4 menunjukkan ”semua ciri penting dari kandidat virus yang bisa jadi kandidat pandemi”, sebut riset Honglei ini. Temuan tersebut diperoleh berdasarkan survei menggunakan lebih dari 30.000 sampel usap hidung babi di rumah jagal dan rumah sakit hewan di 10 provinsi di China selama tahun 2011 hingga 2018. Dari sampel ini, para peneliti mengidentifikasi adanya 179 virus influenza babi.
Sebagian besar tidak menimbulkan kekhawatiran. Namun, virus G4 terus muncul pada babi, tahun demi tahun, bahkan menunjukkan peningkatan tajam pada populasi babi setelah tahun 2016.
Tes lebih lanjut menunjukkan bahwa virus G4 dapat menginfeksi manusia dengan mengikat sel dan reseptor kita serta dapat bereplikasi dengan cepat di dalam sel saluran napas kita. Meskipun G4 memiliki gen H1N1, orang yang telah menerima vaksin flu musiman tidak akan memiliki kekebalan.
Kajian ini juga menemukan, virus G4 telah menginfeksi manusia di China. Di Provinsi Hebei dan Shandong, dua wilayah dengan populasi babi tinggi, lebih dari 10 persen pekerja di peternakan dan 4,4 persen dari populasi umum yang diuji dari 2016 hingga 2018 telah positif terinfeksi.
Sekalipun hingga saat ini belum ada bukti virus ini bisa menular antarmanusia, para peneliti memperingatkan bahwa virus ini kedepannya dapat menimbulkan ancaman serius bagi kesehatan manusia jika tidak dipantau dengan hati-hati. Penularan virus dari babi ke manusia juga bisa menyebabkan infeksi parah bahkan kematian.
Perkuat kapasitas
Untuk saat ini, menurut Tri Satya, perlu dilakukan surveilans terhadap keberadaan virus flu babi di Indonesia untuk mengecek virus-virus apa saja yang bersirkulasi di populasi ternak kita. ”Artinya, pemerintah harus menyiapkan perangkat kerasnya, mulai dari kit diagnostik hingga anggaran ke lapangan,” tuturnya.
Menurut Tri Satya, temuan virus G4 yang dikhawatirkan menjadi pandemi baru ke depannya juga menunjukkan kemajuan penelitian di China. ”Saat ini, para peneliti di seluruh dunia mengidentifikasi virus-virus pada hewan karena dikhawatirkan bisa menularkannya ke manusia. Akan tetapi, riset seperti ini belum banyak dilakukan di Indonesia,” ujarnya.
Jika mengacu pada pendekatan one health, menurut Tri, surveilans juga harus dilakukan kepada manusia untuk mengetahui jenis virus flu H1N1 yang ada pada manusia. ”Dengan demikian, kita bisa mengetahui sejauh mana dari analisis genetika virus, ada kesamaan atau tidak yang kita punya dengan yang ditemukan di China,” ucapnya.
Tri Satya mengatakan, selain kemungkinan zoonotik dari hewan ternak, Indonesia berisiko menjadi episenter atau sumber wabah penyakit yang menular dari satwa liar ke manusia. Itu disebabkan semakin intensifnya persinggungan manusia dengan satwa liar melalui perburuan liar ataupun ekstraksi hutan.
Peneliti Lembaga Eijkman, Dodi Safari, mengatakan, pernah berkolaborasi dengan PREDICT-Indonesia untuk melakukan surveilans virus pada satwa liar dan manusia di Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat pada 2012-2013 dan 2016-2018. Dari belasan virus yang ditemukan, salah satunya adalah korona, tetapi berbeda jenis dengan SARS-CoV-2, pemicu Covid-19 yang saat ini menjangkiti lebih dari 10 juta penduduk dunia.
Dodi yang menjadi koordinator surveilans virus pada di manusia dari proyek riset kolaborasi dengan PREDICT-Indonesia ini mengatakan, secara teknologi dan sumber daya manusia, Indonesia sudah bisa melakukan surveilans seperti ini. Namun, butuh dukungan pendanaan yang berkelanjutan dari pemerintah untuk mendukung surveilans guna antisipasi dini wabah.