Tujuh Juta Anak Menghadapi Persoalan Gizi Selama Pandemi
Jumlah anak yang mengalami persoalan gizi diperkirakan bertambah tujuh juta orang selama masa pandemi Covid-19. Dampak ekonomi akibat wabah itu menghambat akses warga terhadap pemenuhan makanan bergizi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Status gizi anak di Indonesia diperkirakan menurun akibat dampak pandemi Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru. Jika tidak ada intervensi yang agresif, terutama pada anak yang rentan, masalah ini mengancam kualitas dan produktivitas bangsa di masa depan.
Menurut data Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef), jumlah anak yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk (wasting) diprediksi meningkat 15 persen atau sekitar tujuh juta anak di seluruh dunia pada setahun pertama pandemi Covid-19 terjadi. Selain itu, jumlah anak tengkes atau tubuh pendek akibat kurang gizi kronis (stunting)juga bertambah 700.000 anak.
”Masalah gizi ini terjadi sebagai dampak ekonomi yang dihadapi masyarakat akibat pandemi. Dampak ekonomi ini kemudian berpengaruh pada akses yang terbatas terhadap makanan bergizi serta gangguan pada layanan kesehatan,” ujar spesialis nutrisi dari Unicef Indonesia, Airin Roshita, di Jakarta, Selasa (30/6/2020).
Jika tidak segera ditangani, masalah gizi ini bisa berdampak buruk terhadap mutu sumber daya manusia suatu bangsa. Pada tengkes, dampak jangka panjang yang bisa terjadi, antara lain, tumbuh kembang anak terganggu, produktivitas masyarakat yang menurun, serta kualitas kesehatan buruk. Kondisi tengkes yang terjadi pada usia anak tidak dapat dikembalikan di usia dewasa.
Sementara itu, kondisi gizi buruk yang terjadi pada anak dapat mengganggu perkembangan kognitif. Anak yang mengalami gizi buruk juga berisiko mengalami penyakit tidak menular di usia dewasa. Gizi buruk ini dapat pula meningkatkan risiko kematian akibat berbagai penyakit, seperti campak, diare, dan pneumonia atau radang paru.
Lebih intensif
Oleh karena itu, Airin menuturkan, penapisan dan penanganan kasus tengkes dan gizi buruk pada anak tidak boleh terabaikan di masa pandemi. Upaya ini justru harus lebih intensif dilakukan terutama pada anak dalam kelompok rentan, baik rentan terkait aspek sosial maupun ekonomi akibat pandemi Covid-19.
”Pastikan koordinasi multisektor tetap berjalan. Hal itu terutama dalam upaya pengumpulan data dan penelitian, penapisan dan peran masyarakat, komoditas logistik, serta kesiapan tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan untuk pencegahan dan perawatan anak dengan masalah gizi,” katanya.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Doddy Izwardy menuturkan, status gizi masyarakat Indonesia pada sejumlah aspek belum baik. Meskipun prevalensi tengkes akibat kurang gizi kronis pada 2019 turun 9,53 persen dari 2013, prevalensinya masih 27,67 persen. Artinya, terdapat satu dari tiga anak yang mengalami tengkes.
Selain itu, data lain Riset Kesehatan Dasar 2018 yang perlu menjadi perhatian, antara lain, bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yang naik 0,5 persen, anemia ibu hamil naik 11,8 persen menjadi 48,9 persen, cakupan imunisasi turun 1,3 persen, asi eksklusif yang hanya mencapai 38 persen, serta konsumsi vitamin A yang menurun 22 persen menjadi 53,5 persen.
”Yang perlu diantisipasi segera adalah bayi-bayi yang lahir di masa pandemi Covid-19, yakni lahir sejak Januari 2020. Berbagai kendala yang terjadi selama pandemi ini sangat rentan menghambat pemenuhan gizi mereka,” kata Doddy.
Direktur Gizi Masyarakat Kemenkes Dhian Dipo memaparkan, pemerintah telah menyiapkan berbagai upaya terkait intervensi gizi spesifik di masa pandemi. Upaya penanggulangan tengkes yang menjadi program prioritas pemerintah tetap harus dijalankan dan tidak ditunda meskipun sedang terjadi pandemi. Pemerintah telah menargetkan prevalensi tengkes pada 2024 bisa menurun menjadi 14 persen.
Yang perlu diantisipasi segera adalah bayi-bayi yang lahir di masa pandemi Covid-19, yakni lahir sejak Januari 2020. Kendala yang terjadi selama pandemi rentan menghambat pemenuhan gizi mereka.
Protokol kesehatan terkait pelayanan gizi pada masa pandemi Covid-19 juga telah diterbitkan, antara lain protokol kesehatan untuk ibu hamil, ibu menyusui, anak balita, dan remaja putri. Pelaksanaan imunisasi pada masa pandemi juga tetap diupayakan diberikan secara lengkap dan dilaksanakan sesuai jadwal.
”Pencatatan dan pelaporan pelayanan gizi di masa pandemi tetap dilakukan seperti sebelumnya. Buku KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) harus dimanfaatkan secara optimal sebagai alat edukasi pemantauan tumbuh kembang anak yang dilakukan di rumah,” kata Dhian.
Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Pungkas Bahjuri Ali menambahkan, integrasi pendekatan gizi sangat diperlukan sebagai respons dampak sosial ekonomi di masa pandemi Covid-19. Pendekatan itu terdiri dari penguatan pada sistem pangan masyarakat, perlindungan sosial, dan sistem kesehatan.
”Masalah gizi yang terjadi selama pandemi ini perlu diatasi multisektor, mulai dari pemerintah, mitra pembangunan, organisasi masyarakat, akademisi, hingga dunia usaha. Selain memperkuat sistem kesehatan, kita juga harus memperkuat ketahanan pangan dan gizi, terutama dengan memperkuat potensi pangan lokal,” ujarnya.