Para peneliti dan industri farmasi diharapkan tidak sembarangan mengklaim sudah menemukan obat Covid-19. Meskipun dalam situasi kedaruratan, semua obat tetap harus melewati uji klinis demi keselamatan pasien.
Oleh
Emilius Caesar Alexey
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Inovasi para peneliti dan industri farmasi Indonesia dalam mengembangkan obat dan jamu untuk mengatasi Covid-19 perlu mendapat dukungan dari semua pihak. Namun, obat dan jamu tersebut tetap harus mengutamakan keselamatan pasien dan memenuhi standar kesehatan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Kesehatan.
”Kita jangan terlalu mudah melakukan klaim dan kemudian menggunakan obat Covid-19 sebelum lolos uji klinis. Register untuk suatu obat memerlukan trial yang cukup valid. Sepengetahuan saya hingga saat ini belum ada obat Covid-19,” kata Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) Prof Dr dr Sukman Tulus Putra dalam diskusi daring bertajuk ”Polemik Beragamnya Klaim Temuan Obat dan Jamu Herbal Penangkal Covid-19” yang diselenggarakan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) di Jakarta, Minggu (28/6/2020).
Acara tersebut dipandu oleh Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi dan menghadirkan pembicara Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) Prof Dr dr Sukman Tulus Putra, Wakil Ketua Komisi IX DPR Emanuel Melkiades Laka Lena, Ketua Umum Persatuan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI) dr Inggrid Tania, perwakilan Solidaritas Berantas Covid-19 Prof Akmal Taher, Direktur Regitrasi Obat BPOM Lucia Rizka Andalusia, dan pakar epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Dr Pandu Riono.
Sukman mengatakan, di seluruh dunia belum ada obat yang betul-betul dapat digunakan untuk menyembuhkan Covid-19. ”Obat yang belum lolos uji klinis, tetapi dipaksakan untuk diproduksi dan diberikan ke pasien akan masuk pada kategori pelanggaran disiplin dan etik. Fokus dan dukungan terhadap penelitian perlu kita berikan. Namun, kami perlu mengingatkan kepada yang melakukan penelitian, jangan cepat-cepat mengklaim tanpa bukti dan tanpa lolos tahapan uji pra-klinis dan kemudian uji klinis yang pada dasarnya memerlukan waktu cukup lama demi efektifitas, manfaat, dan keamananan dari obat tersebut terhadap manusia atau pasien yang mengonsumsinya,” katanya dalam siaran pers.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IX DPR Emanuel Melkiades Laka Lena mengatakan, apabila sudah ada obat yang memenuhi standar untuk menyembuhkan suatu jenis penyakit agar didorong penggunaannya. ”Saya ingin seperti di China, pengobatan modern dan tradisional berjalan seiring sejalan,” kata Melki.
Di sisi lain, pakar epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengingatkan semua pihak walaupun dalam situasi kedaruratan, semua tugas yang diamanatkan undang-undang dalam prosedur pembuatan obat harus dipenuhi. Misalnya tentang obat chloroquine. Badan Pengawas Obat and Makanan Amerika Serikat (FDA) telah mencabut otorisasi penggunaan darurat chloroquine untuk Covid-19 karena tidak terbukti bermanfaat.
”Jadi, walaupun dalam situasi emergency, kita harus tetap memperhatikan keselamatan publik. Janganlah melampaui batas tugas, pokok, dan fungsi karena ini berbasis ilmu pengetahuan,” kata Pandu.
Menurut Pandu, semua pihak harus mengikuti prosedur untuk mengklarifikasi keabsahan obat tertentu. Ada sebagian obat yang diklaim sebagai obat Covid-19, ternyata ada yang bermanfaat dan ada juga tidak bermanfaat. Ini bisa membingungkan dan menyesatkan publik.
”Orang bilang ini riset, tetapi bagaimana metodologinya? Bagaimana mungkin temuan dari sel langsung loncat menjadi clean bagi manusia. Seharusnya BPOM menyatakan ini belum bisa. Tidak perlu basa-basi,” kata Pandu.
Pandu juga mengungkapkan, rapid test tidak ada manfaatnya untuk merespons pandemi. Indonesia harus meningkatkan kemampuan tes usap PCR atau tes cepat antigen, bukan antibodi. ”Kita harus fokus dan jangan ke mana-mana. Pada masa pandemi saat ini, 70-80 persen orientasinya adalah public health, bukan klinik dan pengobatan. Tidak ada cara-cara atau jalan pintas untuk mengklaim sesuatu. Ini harus dipatuhi,” kata Pandu.