Jauh di Mata, Dekat di Layanan
Gelombang pandemi Covid-19 tak kunjung surut. Meluasnya penularan penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru itu dan bertambahnya kasus infeksi telah mengubah wajah dunia layanan kesehatan.
Gelombang pandemi Covid-19 tak kunjung surut. Meluasnya penularan penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru itu dan bertambahnya kasus infeksi telah mengubah wajah dunia layanan kesehatan. Layanan kesehatan jarak jauh untuk meminimalkan risiko terinfeksi pun makin mendapat tempat di masyarakat.
Sejak kasus pertama Covid-19 terdeteksi di Tanah Air awal Maret lalu, kasus terus membesar dan tersebar di semua provinsi. Hingga Sabtu (27/6/2020), ada 52.812 kasus positif Covid-19 di Tanah Air, dan 2.720 pasien di antaranya meninggal dunia. Kluster-kluster baru penularan virus korona pun bermunculan.
Meski tren kasus meningkat, pemerintah bersiap menerapkan normal baru demi pemulihan ekonomi, diikuti dengan pelonggaran pembatasan sosial berskala besar di sejumlah daerah. Padahal, penerapan pembatasan sosial belum efektif dan warga kurang disiplin menjalankan protokol kesehatan.
Jika suatu negara menuju normal baru, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mensyaratkan, pemeriksaan spesimen dengan metode reaksi rantai polimerase (PCR) sebanyak 1 per 1.000 orang dalam sepekan. Artinya, Indonesia seharusnya melakukan tes PCR minimal 40.000 orang per hari, tetapi hingga akhir Juni ini jumlah tes masih kurang dari 15.000 orang per hari.
Kriteria lain dari WHO ialah sistem kesehatan mampu melaksanakan identifikasi, pengujian, pelacakan kontak, dan karantina penderita. Menurut ahli epidemiologi dari Universitas Airlangga, Atik Choirul Hidajah, dampak pemeriksaan spesimen secara masif berupa lonjakan jumlah kasus dan hal itu harus diimbangi peningkatan kapasitas fasilitas kesehatan.
Di daerah terjangkit wabah, seperti di Jawa Timur, sejumlah rumah sakit (RS) tak mampu melayani kasus baru Covid-19 yang membutuhkan pelayanan di RS. Hal itu berkontribusi pada tingginya tingkat kematian akibat penyakit Covid-19. Karena itu, perlu keberimbangan antara pencegahan, deteksi secara masif, dan respons fasilitas kesehatan.
Menurut Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Ede Surya Dharma, kampanye normal baru yang digalakkan pemerintah kurang tepat. Itu karena pola hidup lama gagal menghadapi Covid-19, kita mesti mengubah pola hidup dengan norma baru kesehatan.
Norma baru harus dijalankan mulai dari level individu dan keluarga, layanan kesehatan, hingga pemerintahan. Di level individu, cuci tangan dengan sabun mesti lebih sering, tak mengusap mata dan hidung, menerapkan etiket batuk, memakai masker, menjaga jarak sosial, serta mematuhi protokol kesehatan.
”Jangan fokus pada normal baru, tetapi terapkan norma baru kesehatan,” kata Ede. Protokol kesehatan yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan mesti diikuti implementasi di lapangan berbasis komunitas dan diawasi aparat pemerintah hingga tingkat desa atau kelurahan.
Pencegahan penularan menjadi kunci pengendalian Covid-19 agar fasilitas kesehatan tidak kewalahan menangani pasien. Di garda depan, puskesmas dan perangkat desa memainkan peran penting dalam upaya pencegahan, deteksi, dan isolasi mereka yang terinfeksi.
Kurangi kontak
Agar terhindar dari penularan Covid-19 saat dalam perjalanan dan di fasilitas kesehatan, pemerintah menganjurkan warga memakai telemedik atau layanan kedokteran jarak jauh. Konsultasi dengan dokter dan pembelian obat dilakukan secara daring dari rumah.
Menurut Laporan WHO, ada empat hal mendasari telemedik, yakni bertujuan memberi dukungan klinis, mengatasi hambatan geografis dengan menghubungkan pengguna yang tak berada di lokasi sama, menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, serta bertujuan meningkatkan hasil terapi.
Survei global oleh WHO mengungkapkan, pengembangan telemedik di negara-negara berkembang terkendala keterbatasan infrastruktur dan keahlian teknis. Sementara di negara-negara maju, telemedik terhambat masalah hukum seputar privasi pasien.
Pandemi mempercepat pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam layanan kesehatan. Hingga akhir April lalu, lebih dari 300.000 orang memanfaatkan telemedik. Menurut juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 Achmad Yurianto, dalam keterangan pers, risiko penularan virus SARS-CoV-2 pemicu Covid-19 di rumah sakit tinggi sehingga warga dianjurkan meminimalkan kunjungan ke RS.
Untuk berkonsultasi medis, warga didorong meminimalkan kunjungan ke fasilitas kesehatan, tak bertemu langsung, dan tidak memberi ruang bagi kontak dekat dengan banyak orang di rumah sakit. Melalui layanan telemedik, warga tak perlu pergi ke luar rumah guna berkonsultasi medis di RS ataupun membeli obat.
Untuk memperluas layanan telemedik terkait Covid-19, Kementerian Kesehatan bermitra dengan 12 perusahaan digital yang tergabung dalam Aliansi Telemedik Indonesia. Kementerian itu juga menggandeng perusahaan rintisan teknologi, Gojek dan Halodoc, serta Grab dan Good Doctor Indonesia.
Layanan telemedik itu mulai dari penyediaan informasi hingga berkonsultasi daring (online) mengenai, antara lain, cuci tangan yang benar dan jaga jarak fisik. Manfaat lain ialah pemberian informasi tingkat risiko warga terhadap Covid-19 serta meminimalkan kunjungan ke fasilitas kesehatan agar isolasi mandiri lebih efektif.
Bagi masyarakat yang berisiko tinggi mengidap Covid-19, layanan telemedik terhubung dengan fasilitas kesehatan terdekat ataupun rumah sakit rujukan sesuai dengan protokol pemerintah. Sesuai rekomendasi WHO, telemedik menjadi bagian sistem layanan kesehatan terintegrasi.
Mengubah desain layanan
Selain memakai telemedik, menurut Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Adib Khumaidi, upaya menekan risiko tertular Covid-19 mesti dilakukan lewat penerapan protokol kesehatan ketat di fasilitas kesehatan.
Maka dari itu, perlu pemetaan kemampuan fasilitas kesehatan, sumber daya manusia bidang kesehatan, dan ketersediaan alat pelindung diri (APD) di tiap daerah. Jika kapasitas fasilitas kesehatan tidak memadai, hal itu berkontribusi pada tingginya tingkat kematian akibat Covid-19.
Situasi itu membuat tenaga kesehatan berisiko tinggi terpapar Covid-19. Selain berisiko mengalami gejala parah akibat terinfeksi korona, tenaga medis berpotensi menularkan penyakit Covid-19 ke pasien. Akibatnya, fasilitas kesehatan bisa menjadi sumber penularan.
Selain pemetaan kesiapan rumah sakit, perlu upaya mitigasi untuk melindungi tenaga kesehatan dari risiko tertular. Audit investigasi meliputi ketersediaan alat pelindung diri, sistem pelayanan, ataupun prasarana isolasi tekanan negatif diperlukan jika terjadi penularan di fasilitas kesehatan.
Jika sudah melangkah pada adaptasi tatanan baru, konsekuensinya ialah penyiapan layanan kesehatan untuk mengantisipasi fluktuasi kenaikan jumlah pasien Covid-19. Hal itu mesti diikuti standardisasi sistem layanan untuk menekan risiko terpapar korona di fasilitas kesehatan.
Dengan metode layanan daring berbasis fasilitasi kesehatan, perlu ada medical call center atau pusat layanan lewat telepon. Jadi, pasien yang akan berkunjung ke rumah sakit menyesuaikan jadwal agar tak perlu antre lama di poliklinik. Obat pun bisa diantarkan ke rumah.
Selain itu, frekuensi layanan ataupun jam praktik perlu dikurangi agar dokter tidak terlalu lama berada di rumah sakit. Adapun standardisasi di poliklinik, ruang perawatan, dan ruang operasi meliputi penyediaan ruang tekanan negatif, ventilasi udara, area wajib masker, dan jaga jarak fisik.
Terkait dengan alat pelindung diri atau APD, menurut standar WHO dan Kementerian Kesehatan, tenaga kesehatan di ruang agak terbuka wajib memakai APD level satu, yakni masker; di poliklinik, tenaga kesehatan harus memakai APD level dua, meliputi masker N95 dan gaun operasi.
Di ruang isolasi, tenaga medis wajib memakai APD level tiga, yakni masker dan hazmat. Saat menangani orang tanpa gejala Covid-19, tenaga medis memakai hazmat yang bisa dicuci ulang. Namun, ketika merawat pasien Covid-19 dengan gejala, tenaga kesehatan harus memakai hazmat sekali pakai.
Dalam alur pemeriksaan yang dibuat Kementerian Kesehatan, pasien di RS yang akan menjalani tindakan medis diminta menjalani tes cepat sebagai penapisan. Namun, dokter spesialis emergensi yang juga terkena Covid-19, Tri Maharani, menilai, hal itu menghambat penanganan pasien. Seharusnya pasien menjalani tes PCR tanpa harus lebih dulu menjalani tes cepat yang hasilnya kurang akurat (Kompas, 15 Juli 2020).
Persoalannya, sebagian besar RS di Indonesia tak didesain untuk menangani virus, seperti SARS-CoV-2. Karena itu, perlu redesain sistem layanan RS dengan mengatur alur pemeriksaan dan pintu masuk agar layanan pasien Covid-19 terpisah dengan pasien non Covid-19.
Pemisahan layanan itu bertujuan agar pasien non-Covid-19 di RS tak tertular penderita Covid-19. Idealnya, di daerah terjangkit wabah, seperti DKI Jakarta dan Surabaya, ada RS khusus bagi pasien Covid-19 untuk mempermudah pengaturan layanan dan ketersediaan APD serta sarana medis lain.
Pandemi Covid-19 menjadi momentum mempercepat reformasi sistem kesehatan. Selain mendorong pola hidup lebih bersih dan sehat, sistem layanan kesehatan terintegrasi dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi mendesak dilakukan demi menekan risiko penularan penyakit tersebut.