”Aufklarung”: Menangkap Korona dan Pesan Pintarnya
Jika virus korona bisa cepat dikalahkan, bakal tercipta normal baru lebih konstruktif. Namun, masih ada kemungkinan pandemi bakal berlangsung lama, dengan dampak tingginya pengangguran dan stagnasi ekonomi.
Dilegue, oh notte (Pergilah malam)
Tramontate stelle 2x (bintang-bintang terbenamlah
All’alba vincero (Ku kan menang fajar nanti)
Vincero, vincero (Ku kan menang, ku kan menang)
(Nessun dorma – Tak seorang pun boleh tidur)
(Aria Pangeran Calaf, Opera Turandot, G Puccini)
Sama seperti ketika Piala Dunia 1990 digelar, aria (lagu) opera ini dikumandangkan. Terdengar seperti tak ada konteks, tetapi saat umat manusia di berbagai penjuru dunia berjuang untuk menaklukkan virus korona, lirik di atas terdengar pas juga sebagai penyemangat.
Setidaknya bagi Italia, itulah satu simbol yang sangat ikonik untuk membangkitkan semangat negeri yang babak-belur dihajar korona. ”Nessun dorma” dikumandangkan dengan suara tenor mendiang Luciano Pavarotti, sementara di videonya kita melihat Tim Aerobatik AU Italia Frecce Tricolori melakukan manuver terbang, yang salah satunya mengepung satu pesawat yang diumpamakan sebagai virus korona.
”Sang virus” terbungkus oleh kepulan asap tiga warna—hijau, putih dan merah—yang melambangkan bendera nasional Italia. Itulah spirit Fuerza Italia (Ketangguhan Italia!)
Kalau mau, kita juga bisa buat seperti itu, dengan mengumandangkan—misalnya saja ”Indonesia Pusaka” ciptaan Ismail Marzuki yang dikenal luas—untuk melatarbelakangi manuver terbangnya pesawat KT-1 Wong Bee dari Tim Jupiter TNI AU.
Itulah sekadar kisah ringan untuk mengobarkan semangat yang tak boleh kendur saat perang melawan korona masih sengit, kebetulan juga bertepatan dengan peringatan HUT ke-55 Kompas yang jatuh tepat pada hari ini, Minggu, 28 Juni 2020.
”The Road Less-Traveled”
Terempas dalam pandemi, bisa diibaratkan mendadak-sontak dunia dilontarkan ke jalan yang jarang (sekali) dilalui, mengingat pandemi terakhir terjadi akibat flu spanyol yang merebak tahun 1918, atau sekitar seabad silam.
Melawan virus/wabah tidak mengikuti pembabakan perang, yang kini disebut-sebut memasuki generasi keempat. Buku The Sling and the Stone–On War in the 21st Century (Kol. Thomas X Hammes, 2006) tidak membahas ”Manusia Vs Virus” yang lebih menyerupai ”Dialektika Hegelian”. Perang ini membuat alat utama sistem senjata (alutsista) supercanggih sekalipun tidak berguna.
Virus korona tidak menantang manusia dalam keunggulan alutsista, tetapi dalam keunggulan virologi canggih. Virus ini, sebagaimana sudah dikemukakan banyak ahli, adalah semacam gugatan terhadap peradaban manusia.
Sebagaimana dikemukakan oleh Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishna (dalam wawancara dengan kanal televisi CNBC), korona menggugat tiga hal utama, yakni sistem kesehatan negara, tata-kelola pemerintahan, dan kapasitas sosial negara.
Pelonggaran dan kritiknya
Masa transisi menuju era normal baru segera berakhir dan Jakarta segera memasuki era baru yang syarat dengan penegakan protokol kesehatan. Life must go on. Terngiang juga frasa populer saat kampanye pilpres Amerika tahun 1992, ”It’s the economy, stupid!” (Kini menjelang Pilpres 2020 analis menulis ”It’s NOT the economy, stupid!”. Chris Cillizza, CNN, 17/9/2018)
Dengan mengusung slogan ”aman dan produktif” pemerintah di sejumlah negara, termasuk Indonesia, tak bisa berlama-lama mengarantina diri. Lebih-lebih ketika keuangan negara sudah banyak tersedot, dan penganggur meningkat—memunculkan risiko ketidakstabilan sosial (dan jika memburuk ke krisis politik).
Sejumlah warga mengenakan masker dan saling mengambil jarak saat antre untuk menjalani tes cepat Covid-19 di Pusat Tes Cepat di salah satu rumah sakit di Hanoi, Vietnam, Selasa (31/3/2020). Vietnam menjadi salah satu negara dengan penanganan pandemi Covid-19 yang baik, di Asia Tenggara.
Sayang kondisi tidak sama. Taiwan, Vietnam, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Jerman, masuk dalam golongan yang sukses, sementara Indonesia masih harus menghadapi episenter, zona merah baru. Meski pemerintah telah meluncurkan berbagai inisiatif stimulus ratusan triliun rupiah, keputusan untuk pelonggaran dan memasuki normal baru tak luput dari sorotan kritis, besar kemungkinan karena angka positif terinfeksi belum melandai. Misalnya saja, James P Bean (Asiatimes.com, 11/6/2020) menyebutkan, normal baru di Indonesia adalah disaster in the making. Tapi, pandangan kritis tidak hanya tertuju pada Indonesia. Untuk AS, Paul Krugman dalam kolom opininya di The New York Times (28/5) menulis, Amerika kini sedang menjalankan eksperimen berskala luas yang berbahaya (”What good is increasing GDP if it kills you”).
Pencetus frasa ”normal baru”, Roger McNamee, mengingatkan, ”Lebih baik mengerjakan urusan dengan benar daripada menyerah pada apa yang ia sebut ’tirani kemendesakan’ (tyranny of urgency)” (English.stackexchange.com).
Konsekuen dengan pilihan
Seiring dengan penerapan normal baru, ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus dikerjakan. Pertama, mendapatkan pembelajaran. Antara lain, pada pentingnya riset dan inovasi. Pada harian ini, Sabtu (20/6), diangkat inovasi untuk melawan Covid-19 dari Bandung, seperti laboratorium buatan PT Bio Farma yang bisa untuk diagnostik dan riset mikroorganisme. Lab bergerak yang mampu melakukan 400 tes reaksi berantai polymerase (PCR) per hari ini merupakan yang pertama di Indonesia.
Alat kesehatan dan obat canggih kini jadi penentu kemenangan umat manusia dalam mengalahkan korona. Jika the ultimate solution ada pada vaksin, Indonesia perlu menyadari, ada tantangan di sini. Pertama, mengikuti hukum supply-demand, harga akan sangat mahal, dan kedua dimensi geopolitik tampaknya akan banyak bicara. ”Lomba vaksin” berlangsung seru, mengingatkan lomba penaklukan antariksa saat Perang Dingin Timur-Barat.
Akankah AS akan dikalahkan China sebagaimana dulu ia dikalahkan Uni Soviet dengan peluncuran Sputnik Oktober 1957? Pemenang ”lomba vaksin” jelas akan menjadi negara pertama yang bisa melindungi warga negaranya, dan dengan itu juga serta-merta memacu kembali perekonomiannya (Carolyn Y Johnson & Eva Dou, The Washington Post, 4/6/2020).
Terkait ini, sejumlah negara telah mengucurkan dana untuk pembelian di muka. Kebijakan mengijon vaksin ini bukan tanpa alasan karena selain negara-negara akan saling berebut untuk menjadi pengguna pertama, pabrik pembuatnya—karena itu—bisa terkena larangan mengekspor vaksin oleh pemerintah, sehingga mereka pun bergegas membuka fasilitas produksi di berbagai benua. (”Vaccine Nationalism: A New Dynamic in the Race to Quash Coronavirus”, Peter Loftus, Drew Hinshaw, The Wall Street Journal, 27/5)
Normal baru dan strategi ”Samudra Biru”
Jika melihat pola strategi normal baru dan pernyataan Presiden Joko Widodo tentang hidup ”berdamai dengan Covid-19”, nuansa yang terdengar adalah realistik-pragmatis. Faktanya memang belum ada vaksin yang siap untuk mengalahkan korona, jadi ”hidup bersama korona” adalah pilihan tak terelakkan, baik bagi Pemerintah, maupun bagi masyarakat yang tetap membutuhkan penghidupan dan ”lebensraum” (ruang kehidupan).
Situasinya to kill or to be killed, tapi kita harus mengakui kita belum punya senjata to kill sehingga bisa dikatakan kita mesti ”menghindar”, atau setidaknya tidak mengikuti gendang irama virus. Ini mengingatkan kita pada buku strategi bisnis Blue Ocean Strategy karya W Chan Kim dan Renee Mauborgne (2004). Buatlah persaingan (atau keunggulan lawan) menjadi tidak relevan. Dalam hal korona, ”kesaktiannya tak tergunakan”.
Pesan buku ini jelas, kalau musuh unggul dalam lautan merah, kita jangan terpancing untuk berperang di lautan merah, tetapi bermainlah di lautan biru. Ini berarti kita tidak mendekati virus, tidak memberi peluang baginya untuk efektif.
”Kompas” dan semangat bangsa
Pada HUT ke-55 Kompas yang tepat jatuh hari ini, Minggu 28 Juni 2020, wartawan muda Kompas terngiang pepatah Perancis tentang surat kabar yang sering diucapkan oleh Pak Jakob Oetama, yaitu Un Journal, C’est Un Monsieur (Surat kabar itu Seorang Tuan, atau gentleman).
Sosok yang diidealkan oleh pendiri Kompas bersama PK Ojong ini tidak semata bisa membawa korannya satu langkah lebih maju (one step ahead) dari masyarakatnya karena fungsinya sebagai pemandu atau sekadar bisa sajikan berita cepat (fast journalism), tetapi juga anggun dalam pembawaan beritanya.
Mengadopsi semboyan ”Kawan dalam Perubahan” saat memasuki usia 55, Kompas ternyata pada kuartal I-2020 ikut berkubang dalam pusaran pandemi Covid-19. Sebagai bangsa yang belum lama ini mengusung semboyan knowledge-based society, instingtif ingatan melayang ke kearifan Teori Evolusi Darwin, bahwa ”mereka yang lolos (survive) dari ujian alam bukan yang terkuat, melainkan yang adaptif, mau mengikuti perubahan”.
Sebagai kawan, harian ini ingin mendampingi, mencerahkan, dan menyegarkan bangsa dalam melalui hari-hari sulit, memberi tawa dan optimisme. Fuerza Italia kita samai dengan ”Indonesia Tangguh!”.
Situasi saat ini belum menggembirakan, tetapi kita perhatikan satu hal penting yang dilihat pengamat adalah bahwa cepat atau lambatnya Indonesia menanggulangi korona akan memunculkan konsekuensi krusial. Prof Rochman Achwan dalam artikelnya (Kompas, 19/6/2020) menyatakan, jika perang melawan korona berlangsung lama, normal baru yang muncul (bisa) bersifat destruktif. Normal baru seperti ini ditandai dengan tingginya angka pengangguran dan stagnasi ekonomi berkepanjangan.
Sebaliknya, jika korona bisa segera dikalahkan, munculnya normal baru yang konstruktif lebih bisa diharapkan, yang menjanjikan masa depan Indonesia yang lebih baik. Kompas dan kita semua ingin pilihan penanggulangan cepat korona.
Dengan berbagai dampaknya yang mengerikan dan juga menjengkelkan, korona juga mengirim pesan, tantangan dan juga pencerahan (Aufklarung). Manusia dipaksa menjadi mahluk dengan peradaban baru yang lebih unggul, ditopang oleh ilmu pengetahuan lebih canggih dan rasa kemanusiaan lebih kuat. Kita menangkap pesan pintar korona.