Membenahi Program JKN dari Hulu hingga Hilir
Keberlanjutan Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat perlu dijaga. Sejumlah solusi pun dirumuskan untuk mengatasi defisit dana pengelolaan program tersebut sekaligus meningkatkan mutu layanan bagi peserta.
Memastikan keberlanjutan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat menjadi keniscayaan. Lebih dari 80 persen atau sekitar 220 juta penduduk Indonesia telah terdaftar menjadi peserta. Tidak sedikit pula yang sudah menggantungkan akses kesehatannya lewat program yang sudah berjalan selama tujuh tahun itu.
Meski demikian, berbagai pergolakan terus muncul, terutama menyangkut stabilitas pembiayaan layanan kesehatan yang dijamin. Solusi yang ditawarkan untuk mengatasi masalah defisit keuangan Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan seakan selalu menemui jalan buntu.
Pada awal tahun 2020, pemerintah memutuskan untuk menaikkan iuran peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) sebagai salah satu upaya untuk mengatasi defisit tersebut. Keputusan itu berdasarkan hitungan aktuaria yang menunjukkan bahwa besaran biaya manfaat yang dibayarkan lebih besar daripada iuran yang diterima.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 disebutkan, mulai Januari 2020, iuran pada peserta bukan penerima upah (PBPU) untuk perawatan kelas tiga naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000, kelas dua naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000, dan kelas satu naik dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000. Selain itu, penyesuaian iuran dilakukan bagi pekerja penerima upah (PPU) pemerintah dan PPU swasta.
Namun, belum genap tiga bulan berjalan, keputusan terkait kenaikan iuran itu dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Alasannya antara lain membebani ekonomi masyarakat dan pelayanan yang diberikan belum optimal.
Setelah Mahkamah Agung membatalkan kebijakan itu, pemerintah menerbitkan aturan baru melalui Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020. Pada aturan itu, per 1 Juli 2020, iuran JKN-KIS bagi peserta segmen pekerja bukan penerima upah/bukan pekerja (PBPU/BP) kelas satu jadi Rp 150.000, kelas dua Rp 100.000, dan kelas tiga Rp 42.000.
Baca juga : Iuran JKN Kembali Naik
Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional Tubagus Achmad Choesni dalam acara peluncuran buku Statistik JKN 2014-2018, pekan lalu, menyampaikan, pelaksanaan program JKN-KIS menghadapi persoalan yang kompleks. Pembenahannya pun harus dilakukan secara komprehensif dan menyeluruh.
Hal itu dilakukan melalui penguatan peraturan perundang-undangan jaminan sosial, pengembangan program jaminan sosial, penguatan kelembagaan penyelenggaraan program, sistem pemantauan atau monitoring, evaluasi, dan pengawasan sistem jaminan sosial. Selain itu, perluasan kepesertaan perlu menjadi prioritas.
Choesni menambahkan, meskipun besaran iuran yang tidak sesuai hitungan aktuaria menjadi persoalan utama dalam keberlanjutan program JKN-KIS, ada hal lain yang turut memengaruhi. Persoalan itu seperti adanya peserta yang tidak aktif membayar iuran, data peserta yang masih bermasalah, regulasi JKN dan jaminan sosial bidang ketenagakerjaan yang belum harmonis, serta sistem pemantauan yang belum terintegrasi.
”Proses evaluasi bagi perbaikan implementasi JKN harus dilakukan secara terencana dan baik. Membenahi program JKN berarti membenahi sistem layanan kesehatan secara keseluruhan,” ujarnya.
Baca juga : Skema Bantuan Iuran JKN-KIS Diubah
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 ditargetkan 98 persen penduduk mendapatkan perlindungan sosial, termasuk perlindungan kesehatan. Merujuk pada data saat ini, masih ada 16 persen atau sekitar 26 juta penduduk yang harus dicapai.
Menunggak pembayaran iuran
Di sisi lain, dari jumlah total peserta yang terdaftar, sebagian peserta sudah tidak aktif karena menunggak membayar iuran. Persentase terbesar untuk peserta yang tidak aktif ditemukan pada segmen PBPU. Dari sekitar 30,3 juta peserta PBPU, sebanyak 52,33 persen tidak aktif.
Kondisi ini perlu menjadi perhatian serius karena artinya ada potensi penerimaan iuran yang diterima BPJS Kesehatan menjadi berkurang. Ketegasan untuk menagih iuran diperlukan. Ini karena sebagian masyarakat baru membayar iuran ketika membutuhkan layanan kesehatan. Wacana soal integrasi akses layanan publik dengan pembayaran iuran program JKN-KIS sudah dibahas. Namun, implementasinya belum juga berjalan sampai saat ini.
Selain jumlah kepesertaan, aspek lain yang harus dipenuhi untuk mencapai cakupan kesehatan semesta (universal health coverage/UHC) adalah pemerataan akses layanan kesehatan. Disparitas layanan kesehatan yang terjadi di Indonesia menyebabkan ketimpangan hak kesehatan yang diterima masyarakat. Padahal, beban iuran yang harus dibayarkan sama besarnya sesuai dengan segmen yang dipilih.
Baca juga : Harapan Pengelolaan JKN di 2020
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menilai, pemenuhan kebutuhan pelayanan dasar dihadapkan pada tiga masalah utama, yakni akses ke fasilitas layanan kesehatan, kesetaraan layanan yang diterima, dan kualitas pelayanan kesehatan. Sejumlah masalah lain meliputi kurangnya sosialisasi kepada masyarakat yang layanan kesehatannya ditanggung pemerintah.
”Pada peserta PBI (penerima bantuan iuran), pemanfaatan layanan kesehatannya rendah. Ini bukan sepenuhnya berarti mereka sehat ataupun tak membutuhkan, tetapi lebih karena mereka tidak mengerti bahwa mendapat jaminan dari pemerintah. Artinya, sosialisasi dan edukasi amat kurang,” ucapnya.
Persoalan lain terkait peserta PBI adalah mengenai sistem pendataan. Ini juga yang menimbulkan masalah pada peserta PBPU dan BP atau perserta mandiri, terutama pada kelompok kelas tiga. Masih ada warga yang sebenarnya mampu justru masuk dalam peserta PBI. Sementara warga tidak mampu tidak masuk sehingga terpaksa mendaftar pada segmen peserta mandiri kelas tiga.
Reformasi kesehatan
Muhadjir mengatakan, situasi pandemi Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru saat ini menjadi momentum untuk melakukan reformasi total pembenahan jaminan kesehatan nasional secara menyeluruh. Ketimpangan sarana dan prasarana kesehatan perlu segera diselesaikan. Hal ini terutama terkait ketersediaan pusat layanan kesehatan, ketersediaan fasilitas sarana kesehatan, serta ketersediaan tenaga medis, baik dokter umum, dokter spesialis, perawat, maupun bidan.
Situasi pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini menjadi momentum untuk melakukan reformasi total pembenahan jaminan kesehatan nasional secara menyeluruh.
Selain itu, anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Asih Eka Putri, berpendapat, pembenahan ini juga terkait perubahan paradigma kesehatan nasional. Upaya preventif dan promotif harus diutamakan tanpa mengesampingkan upaya kuratif terkait layanan kesehatan masyarakat.
Biaya manfaat yang dibayarkan dalam jaminan kesehatan nasional paling besar pada penyakit katastropik yang seharusnya bisa dicegah dengan gaya hidup sehat. Adapun empat penyakit dengan biaya tertinggi adalah jantung, gagal ginjal, kanker, dan stroke. Pada 2018, jumlah biaya untuk penyakit katastropik mencapai Rp 20,4 triliun.
Karena itu, peran fasilitas kesesehatan tingkat pertama (FKTP) perlu ditingkatkan. Layanan kesehatan untuk tindakan preventif bisa lebih masif dilakukan. Selain itu, kapasitas layanan yang diberikan juga perlu ditingkatkan untuk menekan angka rujukan ke fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKTRL).
Prinsip asuransi sosial
Menurut Asih, pembenahan program JKN-KIS sebaiknya didasari oleh amanat dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJSN). Prinsip gotong royong dan keadilan dalam penyelenggaraan asuransi sosial menjadi dasar yang harus dipahami bersama oleh seluruh masyarakat.
Untuk itu, penerapan kelas standar rawat inap kian dimantangkan pemerintah dalam penyelenggaraan program JKN-KIS. Kelas standar ini artinya semua peserta akan mendapatkan layanan rawat inap yang sama tanpa pembagian kelas perawatan. Penerapan kelas standar ini juga diharapkan dapat memudahkan pengendalian risiko dalam sistem jaminan sosial.
Penetapan kelas standar rawat inap telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan. Pada Pasal 54A disebutkan, kementerian dan lembaga terkait perlu meninjau manfaat jaminan kesehatan sesuai kebutuhan dasar kesehatan dan rawat inap kelas standar. Hal itu dilakukan paling lambat pada Desember 2020 dan dapat diterapkan bertahap sampai tahun 2022.
Baca juga : Dampak Kenaikan Iuran JKN-KIS Diantisipasi, Perbaikan Data Jadi Prioritas
”Penerapan kelas standar perlu memperhatikan kesiapan infrastruktur rumah sakit, perhitungan iuran peserta, serta harmonisasi regulasi. Aspek lain juga terkait kemampuan masyarakat membayar iuran sehingga perlu melihat juga dampak sosial ekonomi akibat pandemi Covid-19,” kata Asih.
Selain itu, penetapan layanan kesehatan dasar juga harus diperhatikan. Pengaturan manfaat yang dijamin bisa menjadi pilihan intervensi untuk menjamin keberlanjutan program JKN-KIS. Hal ini perlu diatur untuk meminimalkan pembengkakan biaya manfaat yang dibayarkan.