Rentan Gangguan Jiwa, Kepekaan Diri dan Lingkungan Diandalkan
Pekerja kreatif merupakan komunitas yang rentan mengalami gangguan kesehatan jiwa. Kepekaan diri dan lingkungan sekitar untuk mendeteksi gangguan tersebut diperlukan demi mencegah kondisi yang lebih buruk.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setiap orang yang hidup dengan tekanan akan rentan mengalami gangguan kejiwaan, termasuk para pekerja kreatif. Untuk itu, kepekaan diri dan lingkungan sekitar untuk mendeteksi gangguan tersebut diperlukan guna mencegah kondisi yang lebih buruk.
Psikiater Nova Riyanti Yusuf menuturkan, pekerja kreatif merupakan salah satu komunitas yang sangat rentan mengalami gangguan kejiwaan. Tidak sedikit di antara mereka mengalami gejala yang berat, bahkan dalam kondisi yang berisiko melakukan bunuh diri.
Kondisi ini oleh lingkungan sekitarnya justru dianggap wajar sebagai bagian dari proses kreatif.
”Sebenarnya ketika pekerja kreatif, misalnya pelukis, mengalami gangguan jiwa, biasanya akan menunjukkan gejala, seperti hipomania (suasana hati berlebihan). Namun, kondisi ini oleh lingkungan sekitarnya justru dianggap wajar sebagai bagian dari proses kreatif,” ujarnya di sela-sela bedah buku karya miliknya berjudul Jelajah Jiwa, Hapus Stigma di Jakarta, Sabtu (20/6/2020).
Gejala lain yang juga sering diabaikan seperti sifat atraktif dan halusinasi yang dialami seniman. Aktivitas kreatif yang dimiliki seniman memang hampir beririsan dengan gejala gangguan kejiwaan. Meski begitu, tanda ini bukan berarti memberikan stigma pada seniman. Hal tersebut justru bisa digunakan untuk meningkatkan kesadaran guna menjalankan deteksi dini dari gangguan yang dialami.
Menurut Nova, banyak faktor yang menyebabkan pekerja kreatif rentan mengalami gangguan jiwa. Hal itu, antara lain, dipengaruhi pola asuh rumah tangga, sosial, dan hubungan interpersonal.
Kerentanan ini juga bisa terpicu karena tekanan akan penghargaan dari karya seninya. Banyak pekerja seni di Indonesia yang karyanya tidak cukup dihargai sehingga nilai dari karya tersebut hanya sebatas memenuhi kebutuhan harian dari seniman.
Psikiater yang juga dosen luar biasa dari Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Surjo Dharmono, menambahkan, deteksi dini dari gangguan jiwa yang terlambat bisa memperburuk kondisi seseorang. Jika tidak ditangani dengan cepat, potensi seseorang bunuh diri menjadi semakin besar.
Kesadaran untuk peka terhadap kondisi diri, juga kesadaran lingkungan untuk segera memberikan bantuan, sangat diperlukan.
”Ketika seseorang terbaikan dan tidak mendapatkan masukan ataupun respons, gangguan yang dialami kembali menjadi tekanan yang dimilikinya sendiri. Kesadaran untuk peka terhadap kondisi diri, juga kesadaran lingkungan untuk segera memberikan bantuan, sangat diperlukan,” katanya.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Atma Jaya, Eunike Sri Tyas Suci, menuturkan, cara termudah yang bisa dilakukan saat ini adalah dengan berkonsultasi secara daring. Berbagai sarana dan media komunikasi bisa dimanfaatkan untuk melakukan konsultasi kejiwaan.
Pemerintah sebenarnya sudah pernah menyediakan layanan konsultasi kejiwaan melalui hotline khusus. Namun, layanan ini kini sudah tidak dapat diakses karena tidak lagi aktif. Hal ini seharusnya menjadi perbaikan dan perhatian serius mengingat semakin banyak masyarakat yang rentan mengalami gangguan kejiwaan.
Nova menuturkan, masa pandemi ini juga seharusnya bisa menjadi momentum meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan jiwa. Generasi Z, dinilainya, lebih sadar akan kesehatan jiwa karena mereka berinisiatif mencari informasi di internet.
”Namun, dampak buruknya, mereka jadi sering melakukan diagnosis sendiri. Ini harus dikelola dengan cara memberikan edukasi yang masif terkait informasi yang benar,” katanya.