Sanitasi yang bersih dan sehat merupakan kewajiban semua sekolah yang tidak bisa ditawar lagi, di tengah situasi pandemi Covid-19. Ketersediaan jamban terpisah pun dibutuhkan untuk mendukung kesehatan siswa perempuan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
Jangankan memisahkan peruntukan jamban bagi siswa dan siswi, penyediaan sarana sanitasi dasar ini secara cukup pada banyak sekolah hingga kini masih menjadi kemewahan. Siswa perempuan menjadi sosok paling rentan pada kondisi seperti ini.
Saat ini, selain khawatir akan penularan virus saat berangkat dan pulang sekolah, hal yang membuat kalangan orangtua juga tak setuju pembukaan tahun ajaran baru dimulai pada 13 Juli adalah kondisi sanitasi di sekolah. Kondisi sanitasi yang buruk di sejumlah sekolah dikhawatirkan semakin membuat para siswa rentan terhadap penularan virus.
Sebab, sudah bukan rahasia lagi jika kondisi sanitasi di sejumlah sekolah di berbagai tingkatan, baik di kota-kota besar maupun di desa, buruk. Jangankan memiliki tempat cuci tangan (wastafel), bagi sejumlah sekolah (apalagi di daerah yang akses air bersih sulit), memiliki jamban yang bersih dan sehat adalah sebuah kemewahan.
Meski tersedia jamban, belum tentu kondisinya bersih dan aman bagi para siswa. Belum tentu juga tersedia air bersih yang mengalir setiap saat. Di daerah-daerah yang kesulitan air, jamban di sekolah tidak tersedia air yang cukup sehingga para siswa, terutama perempuan, harus menahan ketika ingin buang air kecil/buang air besar.
Dari sisi jumlah pun, ketersediaan jamban sangat terbatas. Bahkan, di sejumlah sekolah, peruntukan jamban disatukan antara siswa laki-laki dan perempuan. Ada juga beberapa jamban tidak memiliki pintu sehingga para siswa perempuan sangat rentan mengalami pelecehan seksual saat berada di jamban.
Padahal, di masa pandemi Covid-19, kebersihan termasuk menjadi syarat utama untuk mencegah penularan virus korona baru SARS CoV-19. Karena itulah, ketersediaan sanitasi yang sehat menjadi prasyarat utama saat sekolah dibuka kembali.
Dalam Protokol Area Institusi Pendidikan yang dikeluarkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 sejak 31 Maret 2020, terdapat poin dua dan tiga yang menyinggung soal sanitasi di sekolah. Poin dua mewajibkan sekolah menyediakan sarana untuk cuci tangan menggunakan air dan sabun atau pencuci tangan berbasis alkohol di berbagai lokasi strategis di sekolah sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan.
Poin tiga pada protokol tersebut, menginstruksikan kepada warga sekolah melakukan cuci tangan menggunakan air dan sabun atau pencuci tangan berbasis alkohol dan perilaku hidup bersih sehat (PHBS) lainnya, seperti makan jajanan sehat, menggunakan jamban bersih dan sehat, olahraga yang teratur, tidak merokok, dan membuang sampah pada tempatnya.
Profil Sanitasi Sekolah tahun 2017 yang disusun Pusat Data Statistik Pendidikan dan Kebudayaan (PDSPK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendibud) berdasarkan Data Pokok Pendidikan (Dapokdik) menunjukkan kondisi sanitasi, terutama akses air, akses jamban dasar, dan sarana cuci tangan di semua tingkatan sekolah masih ada yang belum memadai.
Untuk akses air, 1 dari 3 sekolah di Indonesia tidak memiliki air. Masih ada 30 persen, 52 persen sekolah yang air tidak layak/tidak punya sumber air, air layak tidak cukup 3,7 persen, serta air layak dan cukup 65,69 persen. Adapun sarana cuci tangan, ada 35,19 persen atau 75.193 sekolah tidak memiliki sarana cuci tangan.
Tak beda dengan penyediaan fasilitas jamban, terdapat 25.835 sekolah (12,9 persen) belum memilikinya. Selain itu, terdapat 1 dari 2 sekolah tidak memiliki jamban yang terpisah antara siswa laki-laki dan perempuan.
Masih pada sumber data yang sama menunjukkan sebanyak 12,19 persen sekolah dasar (SD) tidak memiliki jamban. Ini berarti jika jumlah SD di Indonesia sebanyak 147.503, 17.983 SD belum memiliki jamban. Jenjang pendidikan yang paling tinggi persentasenya tidak memiliki jamban adalah SMK (14,08 persen) dan SMA (13,21 persen).
Sanitasi yang sehat dan bersih juga disuarakan oleh orangtua kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Dari angket/jajak pendapat yang dilakukan komisioner Bidang Pendidikan KPAI, Retno Listyarti, baru-baru ini terkait pembukaan sekolah di masa normal baru, 66 persen persen orangtua menyatakan keberatan sekolah dibuka pada tahun 2020.
”Salah satu alasan penolakan membuka sekolah karena infrastruktur sekolah, seperti wastafel, belum tersedia sesuai jumlah siswa yang belajar, tidak ada sabun dan air, tidak ada tisu, serta kondisi jamban yang kotor dan sedikit,” ujar Retno.
Kesediaan sarana sanitasi yang bersih dan sehat di sekolah tentu saja memerlukan intervensi pemerintah, terutama pemerintah daerah di sekolah masing-masing. Sebab, tanpa sanitasi yang bersih di sekolah, anak-anak berpotensi terpapar virus dan kuman selama berada di sekolah.
Siswi paling rentan
Buruknya sanitasi di sekolah, terutama sarana jamban, bukan hanya soal kebersihan semata. Sebab, jamban yang bersih, dengan air yang mengalir, serta terpisah antara laki-laki dan perempuan, memengaruhi perkembangan kesehatan reproduksi anak-anak perempuan. Jamban yang buruk di sejumlah sekolah menyulitkan siswa perempuan, yang memiliki siklus menstruasi setiap bulan.
Temuan studi Manajemen Kebersihan Menstruasi yang dilakukan Yayasan Plan Internasional Indonesia dan The Smeru Research Institute pada 2018 di SD dan SMP di DKI Jakarta, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat menemukan 33 persen di sekolah-sekolah tersebut tidak memiliki jamban yang terpisah untuk siswa laki-laki dan perempuan.
Akibatnya, hanya 21 persen dari siswa perempuan yang mengganti pembalut ketika sedang menstruasi. ”Itu artinya ada 79 persen siswi tidak pernah mengganti pembalut saat di sekolah. Bayangkan kalau mereka berada di sekolah sampai delapan jam, tidak pernah ganti pembalut,” ujar Silvia Devina, Water, Sanitation, Hygiene, and Early Childhood Development Advisor Plan International Indonesia.
Bayangkan kalau mereka berada di sekolah sampai delapan jam, tidak pernah ganti pembalut.
Dari studi tersebut, para siswi mengakui rata-rata mereka baru mengganti pembalut saat pulang ke rumah. Jika rumahnya dekat dengan sekolah, mereka akan pulang sebentar pada jam istirahat.
”Karena jamban tidak dipisah dan jumlahnya tidak banyak, siswa perempuan tidak nyaman ketika mau mengganti pembalut. Beberapa meminta temannya menemani dan menjaga di balik pintu, apalagi tidak semua jamban sekolah ada pintu,” katanya.
Padahal, sekolah harusnya menyediakan fasilitas sanitasi yang higienis. Ninuk Widyantoro, psikolog dari Yayasan Kesehatan Perempuan (lembaga sosial yang peduli terhadap kondisi kesehatan reproduksi perempuan), mengingatkan agar sekolah jangan meremehkan fasilitas jamban. Jika ingin anak-anak perempuan tumbuh sehat dan kesehatan reproduksinya terawat, sekolah harus menyediakan jamban yang bersih.
Maka, sanitasi yang bersih dan sehat merupakan kewajiban semua sekolah yang tidak bisa ditawar lagi di tengah situasi pandemi Covid-19 yang tidak bisa ditebak kapan berakhirnya. Mari lindungi anak-anak Indonesia.