Sejumlah pasien Covid-19 yang dikarantina di mes Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan Provinsi Maluku di Kota Ambon mengamuk pada Jumat (12/7/2020) malam. Mereka merusak sejumlah fasilitas dan membakar pos.
Oleh
FRANS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Sejumlah pasien Covid-19 yang dikarantina di mes Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan Provinsi Maluku di Kota Ambon mengamuk pada Jumat (12/7/2020) malam. Mereka merusak sejumlah fasilitas dan membakar pos di dalam kompleks itu. Mereka memaksa dikeluarkan dari tempat tersebut. Kasus pembakaran itu menambah panjang peristiwa pembangkangan warga kepada petugas.
Kepala Sub-Bagian Humas Polres Kota Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease Inspektur Dua Titan Firmansyah pada Sabtu (13/6/2020) mengatakan, kericuhan itu berawal dari pengumuman hasil tes usap (swab) tahap kedua bagi 26 orang yang menjalani perawatan di tempat karantina itu. Dari 26 orang, lima orang dinyatakan negatif sehingga diperbolehkan pulang.
Pos dirusak dan dibakar.
Mengetahui lima orang akan dipulangkan, ada di antara 21 pasien itu juga menuntut untuk dipulangkan. Petugas lalu menjelaskan bahwa orang yang diperkenankan pulang adalah mereka yang hasil tes usap tahap kedua menunjukkan negatif. Tahap kedua dimaksud adalah untuk yang kedua kali setelah pasien melewati pemeriksaan usap.
Kendati sudah dijelaskan, mereka masih tetap mendesak untuk keluar dari tempat perawatan itu. Mereka keluar, lalu melampiaskan kemarahan dengan merusak pos penjagaan yang ada di depan. ”Pos dirusak dan dibakar,” kata Titan. Petugas keamanan datang dan mengendalikan situasi. Mereka yang menuntut pulang itu dapat dibendung.
Ketua Harian Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Provinsi Maluku Kasrul Selang turun langsung ke lokasi tersebut dan memberikan pemahaman kepada para pasien. ”Kami menyesalkan hal itu terjadi meski kami juga memahami kondisi psikologis mereka yang masih di tempat karantina. Semuanya sudah aman dan jangan sampai terulang lagi,” ujarnya.
Berjalan lambat
Menurut informasi yang dihimpun, proses pemeriksaan tes usap di Ambon berjalan lambat lantaran minimnya tenaga di Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Kelas II Ambon. Namun, ada juga fakta lain bahwa pasien dengan latar belakang masyarakat menunggu hasil lebih dari satu pekan. Sementara itu, ada hasil tes usap keluarga pejabat sudah bisa diketahui dalam satu hari.
Dalam catatan Kompas, pembangkangan terhadap petugas terkait kasus Covid-19 di Kota Ambon marak terjadi belakangan. Pekan lalu, warga Kelurahan Silale menolak kedatangan Tim Gugus Tugas Kota Ambon yang hendak melakukan tes cepat. Mereka melakukan unjuk rasa sambil menutup akses masuk ke perkampungan. Petugas akhirnya pergi.
Perlawanan juga dilakukan oleh para pedagang di Pasar Mardika, Kota Ambon, pekan lalu. Saat itu, petugas menertibkan pedagang yang berjualan melebihi batas waktu yang ditentukan, yakni pukul 16.00 WIT. Mereka tetap berjualan dan terjadi adu mulut dengan petugas. Saat dipaksa, sejumlah pedagang bahkan menumpahkan dagangan mereka di depan aparat.
Protes yang sama dilakukan oleh sopir angkutan kota saat pemerintah menerapkan kebijakan operasi kendaraan berdasarkan pelat nomor ganjil genap. Mereka merasa sangat dirugikan lantaran sebelumnya sudah dilakukan pembatasan jumlah penumpang hingga 50 persen. Kebijakan pelat nomor ganjil genap pun dianggap tidak melalui kajian mendalam lantaran pada jalur tertentu, komposisi ganjil genap tidak seimbang.
Pengamat sosial dari Universtas Pattimura, Ambon, Josef Antonius Ufi, berpendapat, di tengah kondisi pendemik itu, masyarakat mengalami tekanan sosial dan ekonomi yang sangat besar. Jika terus ditekan dengan aturan yang dianggap tidak masuk akal, akan terjadi perlawanan. ”Semakin kuat tekanan, energi perlawanan yang timbul akan semakin besar,” ucapnya.
Menurut Josef, komunikasi publik antara pemerintah dan masyarakat menjadi kunci. Tokoh masyarakat dan tokoh agama perlu dilibatkan dalam menjaring aspirasi publik terkait kebijakan yang akan diambil. Lewat tokoh-tokoh itu pula, bisa dijadikan jembatan untuk mengomunikasikan kebijakan pemerintah kepada masyarakat.
Terkait perlawanan masyarakat atas kebijakan itu, Wali Kota Ambon Richard Louhenapessy menuturkan, setiap kebijakan akan menuai reaksi pro dan kontra. Itu hal yang wajar. Namun, ada beberapa hal yang harus dievaluasi, seperti penerapan pelat nomor ganjil genap. ”Nanti tidak pakai ganjil genap. Akan ditempel stiker A dan B agar berimbang,” katanya.