Pesan Bertentangan dari Pemerintah Tak Efektif untuk Himpun Dukungan Normal Baru
Pola komunikasi yang inkonsisten dan kurang didukung data diyakini membuat pengambilan kebijakan normal baru oleh pemerintah tidak langsung mendapat dukungan masyarakat.
Oleh
Satrio Pangarso Wisanggeni
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pola komunikasi yang inkonsisten dan kurang didukung data diyakini membuat pengambilan kebijakan normal baru oleh pemerintah tidak langsung mendapat dukungan masyarakat. Keberadaan pendengung sisa Pemilu 2019 membuat penanganan pandemi Covid-19 menjadi terpolitisasi.
Setidaknya ini tecermin pada kondisi media sosial yang dipantau oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dan Drone Emprit selama pertengahan Mei hingga awal Juni 2020.
Dalam diskusi virtual, Selasa (9/6/2020), Ketua Dewan Pengurus LP3ES Didik J Rachbini mengatakan, karakteristik pengambilan kebijakan tanpa didukung data yang jelas terlihat sejak Presiden Joko Widodo meminta masyarakat berdamai dengan virus korona pada 7 Mei lalu. Hal ini karena pada saat itu dan hingga saat ini, jumlah peningkatan kasus positif Covid-19 masih terus meningkat setiap harinya.
Lalu, inkonsistensi sikap pemerintah juga terlihat dalam periode tersebut, kata Didik. Seperti yang terjadi pada pertengan Mei lalu. Pemerintah mengakui bahwa sedang mempersiapkan skema pelonggaran PSBB. Namun, tidak lama kemudian Presiden Jokowi membantah pemerintah melakukan pelonggaran.
”Jadi sering ada dua pernyataan bertentangan di masyarakat. Seperti mudik dan pulang kampung. Ini dapat menjadi kelemahan saat penerapan kebijakan,” kata Didik.
Polarisasi di masyarakat kian diperuncing dengan adanya sisa sukarelawan ataupun pendengung (buzzer) Pemilu 2019 pada jagat media sosial yang masih terus aktif. Hal ini membuat persoalan wabah Covid-19 yang seharusnya merupakan isu kesehatan menjadi politik.
”Seharusnya, konflik ini pascapemilu ya selesai. Karena itu, Covid-19 ini pun jadi isu politik. Kebijakan yang masuk dalam kontroversi besar, potensi gagalnya jauh lebih besar daripada suksesnya,” kata Didik.
Jadi sering ada dua pernyataan bertentangan di masyarakat. Seperti mudik dan pulang kampung. Ini dapat menjadi kelemahan saat penerapan kebijakan.
Keterbelahan atau kontroversi yang terjadi di jagat media sosial Twitter terlihat dari hasil analisis big data yang dilakukan oleh peneliti LP3ES, Muhamad Ridwan, menggunakan sistem Drone Emprit.
Ridwan menunjukkan bahwa dalam periode 15 Mei-1 Juni 2020, total ada 69.835 cuitan yang terkait kata kunci ”pelonggaran PSBB” dan ”new normal”. Dari jumlah cuitan tersebut, 49 persennya memiliki sentimen negatif, 37 persen positif, dan 14 persen netral.
Ridwan mengatakan, ada tiga isu utama yang banyak diperbincangkan oleh warganet. Pertama, pelonggaran PSBB di kurva epidemi yang masih terus meningkat. Kedua, penerapan new normal ketika zona merah masih banyak. Ketiga, pemberlakuan new normal di mana banyak kepala daerah masih harus memperpanjang PSBB.
”Perang opini publik pun terjadi sejak pemerintah melempar wacana berdamai dengan korona, pelonggaran PSBB, dan hidup new normal,” kata Ridwan.
Tidak ada ruang opini lain
Pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi, juga menemukan pola di mana isu normal baru di Twitter dibanjiri kampanye pronormal baru pasca-kunjungan Presiden Jokowi ke pusat perbelanjaan di Bekasi pada 26 Mei lalu.
Berdasarkan datanya, setiap hari selalu ada kampanye tagar yang terus dibangun dan kekuatan kampanyenya terus diupayakan untuk selalu tinggi di warganet.
”Artinya, tak ada yang bisa melawan pembangunan opini ini. Karena di sini ada kepentingan bisnis, ada kepentingan masyarakat yang sudah tidak tahan PSBB lagi, mereka semuanya mendukung (new normal). Keinginan offline dan online ini tersambung. Pembangunan opini dan narasi di sini sangat kuat,” kata Fahmi.