Waspadai Peningkatan Kasus Covid-19 akibat Pelonggaran PSBB
Meskipun sejumlah daerah mengalami penurunan angka reproduksi Covid-19, kebijakan pelonggaran pembatasan sosial diminta memperhatikan berbagai indikator lainnya, seperti kemampuan fasilitas kesehatan setempat.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelonggaran pembatasan sosial berskala besar atau PSBB diyakini akan diikuti dengan lonjakan kasus. Untuk itu, meskipun sejumlah daerah telah mengalami penurunan angka reproduksi Covid-19, kebijakan pelonggaran juga diminta memperhatikan berbagai indikator lainnya, seperti kemampuan fasilitas kesehatan setempat. PSBB pun sebaiknya bisa diterapkan kembali apabila kondisi kembali di luar kendali.
Di Jakarta, tingkat penyebaran Covid-19 dipercaya terus menurun dalam 14 hari terakhir. Hal ini berdasarkan hasil estimasi Tim Fakultas Kesehatan Masyarajat Universitas Indonesia (FKM UI) terhadap angka reproduksi efektif (Rt) Covid-19 di wilayah Ibu Kota yang terus menurun.
Angka R dalam epidemiologi mengacu pada tingkat reproduksi sebuah virus. Apabila R berada pada angka 2, artinya satu orang terinfeksi dapat menularkan ke dua orang lainnya. Lalu, dua orang tersebut masing-masing bisa menularkan ke dua orang lainnya.
Apabila R kurang dari 1, artinya satu orang yang terinfeksi belum tentu menularkan ke 1 orang lainnya. Untuk itu, bisa disebut bahwa penyebaran kian kecil dari waktu ke waktu.
Angka median Rt untuk Jakarta diyakini terus menurun, dari 1.09 pada 18 Mei hingga menjadi 1.00 pada 31 Mei. ”Ini artinya bisa ada transisi pengurangan (PSBB),” kata epidemiolog dan pakar biostatistika FKM UI, Pandu Riono, Selasa (2/6/2020) siang.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam wawancara khusus dengan harian Kompas menyatakan baru akan memulai masa transisi apabila Rt di bawah 1.
Angka Rt juga menjadi salah satu indikator yang digunakan oleh Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil untuk mengevaluasi penyebaran Covid-19 di tingkat kelurahan/desa. Secara total, Kamil mengatakan, 15 kabupaten/kota di Jabar siap masuk kondisi normal baru.
Hari ini, Selasa, Ridwan Kamil bahkan mengatakan, angka Rt telah mencapai 0,68. ”Semoga terus menurun,” ujarnya melalui akun Twitter resminya, @ridwankamil.
Pengurus Pusat Bidang Politik dan Kesehatan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarat Indonesia (IAKMI) Syahrizal Syarif menilai, kebijakan pelonggaran PSBB tidak boleh semata-mata berdasarkan angka reproduksi efektif (Rt), tetapi juga pertimbangan kemampuan tes dan kesiapan fasilitas kesehatan menerima peningkatan kasus karena pelonggaran.
Setiap pelonggaran kebijakan pembatasan sosial diduga kuat akan berimplikasi langsung pada peningkatan kasus. Untuk itu, para peneliti dari Imperial College London, Inggris, mengusulkan penerapan relaksasi dan penegakan PSBB secara bergantian hingga vaksin ditemukan.
Melalui model kebijakan ini, jumlah peningkatan kasus parah Covid-19 ke ICU rumah sakit rujukan dapat dijadikan patokan. Apabila dalam sepekan jumlah pasien positif yang memerlukan perawatan intensif melebihi 100 pasien, kebijakan pembatasan sosial harus diterapkan.
”Sebaliknya, ketika peningkatan jumlah pasien yang dirawat kurang dari 50, pembatasan sosial bisa dilonggarkan,” tulis Neil Ferguson, Daniel Laydon, Gemma Nedjati-Gilani, dan kawan-kawan dari Imperial College London Covid-19 Response Team.
Melalui pemodelan yang mereka lakukan, pencegahan penyebaran dan pemulihan ekonomi dapat optimal diraih dengan rancangan skema khusus.
Melalui model kebijakan ini, jumlah peningkatan kasus parah Covid-19 ke ICU rumah sakit rujukan dapat dijadikan patokan. Apabila dalam sepekan jumlah pasien positif yang memerlukan perawatan intensif melebihi 100 pasien, kebijakan pembatasan sosial harus diterapkan.
Skema yang dimaksud adalah penerapan PSBB dan relaksasinya secara berselang-seling, di mana durasi PSBB didesain dua kali lebih lama dibandingkan dengan waktu relaksasi.
Artinya, begitu jumlah kasus menurun hingga di bawah 50, relaksasi diterapkan. Lalu, apabila terjadi lonjakan hingga 100, pembatasan sosial diterapkan kembali hingga jumlah kasus bisa di bawah 50.
Dalam model yang mereka ciptakan ini, diketahui bahwa durasi pemberlakuan PSBB paling tidak harus dua kali lebih lama dibandingkan dengan masa relaksasi agar efektif. Misalnya, apabila membutuhkan waktu dua bulan untuk menurunkan angka kasus, masa relaksasinya adalah satu bulan.
Pandangan serupa disampaikan Pandu bahwa pemberlakuan kembali PSBB yang ketat sebaiknya dilakukan kembali apabila benar terjadi lonjakan kasus pascarelaksasi. ”Bila diperlukan, perlu diketatkan lagi,” ujar Pandu.
Pandu pun mengatakan, Rt bukan satu-satunya indikator untuk mempertimbangkan pelonggaran pembatasan sosial. Menurut FKM UI, indikator lain yang perlu dijadikan patokan dalam bidang epidemiologi adalah tren jumlah pasien dalam pengawasan (PDP), kasus positif, dan kematian.
Pada bidang kesehatan publik, indikator yang digunakan adalah tren jumlah tes PCR dan proporsi pergerakan orang. Lalu di bidang fasilitas kesehatan, dua indikator yang dipakai adalah jumlah ventilator dan jumlah perlengkapan APD.