Kesadaran untuk mengembangkan pangan lokal perlu terus dipupuk dari tingkat daerah hingga pusat. Pengembangan pangan lokal memiliki banyak peluang, seperti agrobisnis, pariwisata, dan ketahanan pangan.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Indonesia adalah negara yang kaya dengan keanekaragaman hayati. Sayangnya, ironi masih terjadi karena masalah gizi buruk masih ada, ketahanan pangan Indonesia belum merata dan beberapa jenis pangan masih bergantung pada impor.
Mengutip data Badan Ketahanan Pangan (BKP) pada 2019, Indonesia memiliki 100 jenis sumber karbohidrat, 100 jenis kacang-kacangan, 250 jenis sayuran, dan 450 jenis buah-buahan. Ini karena Indonesia memiliki kondisi geografis yang berbeda-beda.
”Indonesia memiliki berbagai jenis pangan lokal, seperti ubi kayu, jagung, sagu, pisang, dan kentang. Akan tetapi, volume impor produk pangan terus meningkat dari tahun ke tahun,” kata Manajer Program Pertanian Yayasan Kehati Puji Sumedi dalam webinar bertajuk Tak Kenal Maka Tak Bangga: Mengenal Sumber Pangan Lokal dan Makanan Tradisional Indonesia di Jakarta, Kamis (21/5/2020).
Untuk itu, lanjutnya, kesadaran untuk mengembangkan pangan lokal perlu terus dipupuk dari tingkat daerah hingga pusat. Pengembangan pangan lokal memiliki banyak peluang, seperti agrobisnis, pariwisata, revitalisasi nilai lokal dan sistem ketahanan pangan, serta perbaikan ekologi dan ekonomi komunitas lokal.
Beruntung, sejumlah pemerintah daerah dan komunitas lokal mulai menyadari pentingnya pengembangan pangan lokal. Mereka mendorong kesadaran masyarakat untuk memproduksi tanaman pangan lokal sekaligus menciptakan produk baru
Kepala Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara, Serny Maria Lalu mencontohkan, pemerintah daerah setempat telah mempromosikan agar warga melakukan program Two Days No Rice atau Dua Hari Tanpa Makan Nasi. Sebagai gantinya, warga dapat mengonsumsi pangan lokal di Sangihe, seperti sagu, talas, singkong, dan ubi jalar.
”Setiap hari Selasa dan Jumat kami tidak mengonsumsi beras, tetapi hanya makan makanan lokal. Ini juga berdasarkan pertimbangan di Sangihe kami tidak punya lahan untuk sawah serta nenek moyang kami mengonsumsi umbi dan sagu,” kata Serny.
Sangihe juga pernah meraih rekor Muri karena menampilkan 250 jenis makanan olahan dari sagu pada 2014. Dari sagu, warga dapat mengolahnya menjadi tepung serta berbagai jenis makanan, seperti mi, bakso, kue, dan puding.
Esti Novi Andyarini, anggota Biodiversity Warriors di Sidoarjo, mengatakan, telah mengembangkan tepung dari biji nangka bersama tim-nya.Tepung ini telah diperkenalkan kepada warga setempat sebagai alternatif makanan pengganti tepung gandum atau tepung beras.
”Tepung ini kami berikan kepada anak balita kurang gizi, tetapi bisa juga dikonsumsi masyarakat dewasa. Tepung ini bisa diolah menjadi pancake atau donat. Ini juga bisa meningkatkan ekonomi masyarakat,” ujarnya.
Butuh kebanggaan
Chef Ragil Imam Wibowo, pemilik Nusa Indonesian Gastronomy, berpendapat, ada beberapa cara yang bisa dilakukan guna mempromosikan makanan tradisional dan mencegah kepunahan pangan lokal. Namun, cara yang paling efektif adalah untuk terus mengonsumsi makanan tersebut. ”Sering makan makanan tradisional akan membuat makanan itu terus ada. Kebanggaan itu perlu,” tuturnya.
Ia melanjutkan, pihak terkait di industri makanan juga perlu memperbaiki representasi visual makanan tradisional untuk menarik minat. Pemerintah juga perlu mendorong penjenamaan dan promosi makanan Indonesia menjadi lebih baik di mata nasional dan internasional. Apalagi, negara seperti Singapura dan Thailand mendapat pendapatan tambahan berkat promosi makanan lokal.
Pegiat gastronomi dan penulis buku kuliner, Kevindra Soemantri, menambahkan, anak muda yang melek teknologi dapat berkontribusi dalam memopulerkan makanan tradisional Indonesia. Apalagi, anak muda saat ini sangat memperhatikan isu humanisme, sosial, dan keberlanjutan lingkungan. ”Namun, konten mereka harus memiliki story telling untuk menunjukkan potensi makanan,” katanya.
Kevindra melanjutkan, pembuat konten harus menyadari seluruh sisi makanan melalui riset. Mereka harus mengetahui kaitan antara makanan, masyarakat, budaya, sejarah, inovasi, dan dampak sosial. Dengan demikian, konten tersebut akan kaya dengan cerita sehingga menjadi menarik.