Pembehanan secara sistemik dibutuhkan untuk menjaga keberlanjutan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat. Hal itu terutama terkait dengan tata kelola program tersebut.
Oleh
Deonisia Arlinta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski berbagai polemik terus muncul, keberlanjutan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat harus tetap terjamin. Pembenahan secara sistemik pun dibutuhkan, terutama terkait tata kelola program yang diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan tersebut.
Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Tubagus Achmad Choesni mengatakan, perbaikan sistem jaminan sosial nasional perlu dilakukan secara menyeluruh dan sistemik untuk mendukung keberlanjutan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Perbaikan itu mulai dari perbaikan sistem pembiayaan, perbaikan kualitas layanan kesehatan, dan perbaikan tata kelola program.
”Kolektabilitas iuran dan penegakan kepatuhan membayar dari peserta juga perlu diperbaiki. Selain itu, transparansi data perlu kita tegakkan melalui integrasi sistem dalam program JKN ini,” ujarnya dalam konferensi pers tanpa tatap muka terkait terbitnya Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020, di Jakarta, Selasa (19/5/2020).
Kolektabilitas iuran dan penegakan kepatuhan membayar dari peserta juga perlu diperbaiki. Selain itu, transparansi data perlu kita tegakkan melalui integrasi sistem dalam program JKN ini.
Menurut Choesni, perbaikan ini salah satunya dilakukan dengan diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam aturan itu diatur besaran iuran bagi peserta program JKN-KIS.
Meski menuai perdebatan, aturan tersebut dinilai tetap harus berjalan untuk menjamin mutu dan keberlanjutan program jaminan kesehatan di Indonesia. Besarnya biaya manfaat yang dibayarkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan kini lebih besar dari jumlah iuran yang diterima. Hal ini menyebabkan terjadi defisit sehingga keberlangsungan program terganggu.
Perpres No 64/2020 diterbitkan setelah Mahkamah Agung membatalkan kenaikan iuran yang dibuat pemerintah pada 2019. Pada aturan ini, iuran JKN-KIS bagi peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja (BP) kelas satu naik dari Rp 80.000 menjadi Rp 150.000 per bulan, iuran peserta kelas dua naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 100.000 per bulan, dan iuran kelas tiga naik menjadi Rp 42.000. Aturan ini berlaku mulai 1 Juli 2020.
Namun, pada tahun 2020, peserta kelas tiga tetap membayar Rp 25.500 per bulan, sama seperti semula dengan kekurangannya Rp 16.500 akan disubsidi pemerintah. Sementara, mulai tahun 2021, iuran tersebut akan naik jadi Rp 35.000 per bulan.
”Selain berdasarkan sinkronisasi kebijakan keuangan negara, keputusan pemberian subsidi ini dipilih karena dinilai lebih adil daripada memasukkan sebagian peserta jadi peserta penerima bantuan iuran (PBI). Saya kira tidak fair kalau kita masukkan ke PBI. Itu keputusan mereka dan kalau masuk PBI, peserta itu tidak bisa meningkatkan kelas kepesertaannya ke kelas II,” tutur Choesni.
Kebutuhan kesehatan dasar
Anggota DJSN yang juga Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Ekonomi Kesehatan Mohamad Subuh menambahkan, seiring dengan perbaikan tata kelola pembiayaan, perbaikan pada tata kelola layanan kesehatan juga dilakukan. Pemerintah kini melakukan kajian terkait pemberlakuan kelas standar serta kebutuhan kesehatan dasar bagi peserta program JKN-KIS.
Kelas standar rawat inap ini diperlukan untuk mewujudkan kesetaraan layanan bagi semua peserta program jaminan kesehatan. Kajian terkait ini akan segera diselesaikan dan ditargetkan bisa selesai pada 2021.
”Untuk kebutuhan dasar kesehatan progresnya sudah mencapai 70 persen. Kita harap sebelum tahun 2021 sudah selesai. Kebutuhan dasar ini perlu dilihat dari seluruh aspek. Selain dari sisi kemampuan membayar, kita harus lihat operasionalisasi layanan yang dibutuhkan. Itu melekat dengan pembiayaan dan kesiapan seluruh komponen dari jaminan kesehatan ini,” ucap Subuh.
Terkait dengan perbaikan data atau pembersihan data (data cleansing) pada peserta PBI, anggota DJSN lainnya yang juga Staf Ahli Menteri Sosial Bidang Aksesibilitas Sosial Sonny W Manalu mengatakan, beberapa kendala dihadapi. Kementerian Sosial secara rutin melakukan pembaruan data setiap tiga bulan sekali. Namun, banyak daerah tak melaporkan data terbaru di wilayahnya.
”Setidaknya baru 300 kabupaten/kota yang melakukan update data. Ini jadi kendala utama kami karena data peserta PBI juga berdasarkan DTKS (data terpadu kesejahteraan sosial) yang dilaporkan dari daerah. Data ini memang jadi persoalan yang hakiki dalam persoalan BPJS,” kata Sonny.