Melindungi Nyawa Lebih Utama, Rizki di Tangan Yang Kuasa
Bagi masyarakat kecil dengan penghasilan harian, pandemi Covid-19 memaksakan dilema: apakah mereka akan tinggal di rumah agar tak tertular virus korona baru, atau keluar untuk bekerja agar punya penghasilan untuk makan?
Oleh
Muhammad Ikhsan Mahar
·2 menit baca
Pandemi Covid-19 yang telah memasuki bulan kedua mulai memberikan dampak bagi sejumlah keluarga yang mengalami penurunan pendapatan. Alhasil, keluarga terdampak wabah harus mencari cara untuk memenuhi kebutuhan bulanan.
Mimi (48) merasakan dampak Covid-19 telah menghentikan aktivitas hariannya untuk berjualan kue basah dan makanan ringan lainnya. Sebelum bulan puasa, biasanya Mimi berjualan di kawasan Serpong, Tangerang, Banten, setiap pagi. Berbagai jenis makanan ringan, antara lain onde-onde, risol, kue sus, dijajakan setiap pagi.
Adapun khusus di bulan Ramadhan, makanan ringan itu ditambahkan hidangan berbuka, seperti bubur sumsum, kolak pisang, dan es pacar cina. Waktu berjualan pun dilaksanakan selepas salat Ashar di sekitar Jalan Raya Serpong. Tetapi, setelah kasus positif Covid-19 terjadi di Tanah Air, dia memilih untuk mematuhi aturan pemerintah untuk berdiam di rumah dan membatasi aktivitas di luar rumah.
Atas dasar itu, penghasilan harian di kisaran Rp 50.000 hingga Rp 80.000 hilang. Padahal, Mimi adalah tulang punggung keluarga karena sang suami telah pensiun dari aktivitas sebagai pegawai swasta di kawasan Slipi, Jakarta Barat, beberapa tahun lalu.
”Memang masih ada teman-teman yang berjualan di pinggir jalan, tetapi saya tidak mau ambil risiko. Kesehatan lebih utama, kalau rejeki saya yakin sudah diatur Allah,” kata Mimi, Kamis (14/5/2020) lalu, di Tangerang.
Akibat ketiadaan penghasilan harian, Mimi pun selama hampir dua bulan terakhir menggantungkan hidup dari uang tabungan selama ini untuk memenuhi kebutuhan pangan dan membayar keperluan lain, seperti tagihan listrik dan BPJS.
”Uang makan yang terpaksa harus dikurangi. Menu tahu dan tempe menjadi pilihan supaya tetap bisa membayar kebutuhan lain,” katanya, yang kini bermukim bersama suami dan dua anaknya.
Guru honorer
Tidak hanya Mimi, Ajiz (29) yang berprofesi sebagai guru honorer di Makassar, Sulawesi Selatan, juga harus menyiasati berkurangnya pendapatan. Bersama istrinya, Ajiz mencoba beradaptasi untuk menyiasati pos pendapatan yang berkurang.
Selain mengajar di salah satu pesantren di Sulawesi Selatan dan bimbingan belajar. Kini, ia hanya mengajar secara daring untuk muridnya di pesantren, sedangkan pusat bimbingan belajar sedang tidak melaksanakan aktivitas belajar-mengajar.
”Pendapatan berkurang, apalagi tunjangan hari raya kemungkinan juga tidak dapat. Meski demikian, saya masih bersyukur karena masih menerima gaji bulanan,” kata Ajiz.