Keluarga saat ini menjadi episentrum stres akibat Covid-19. Untuk mengatasinya, semua pihak perlu bahu-membahu untuk memperkuat ketahanan keluarga agar mampu mengatasi berbagai persoalan selama pandemi ini.
Oleh
M Zaid Wahyudi
·4 menit baca
Keluarga menjadi episentrum atas stres yang dialami masyarakat akibat pandemi Covid-19 dan pembatasan sosial yang menyertainya. Namun, banyak keluarga tak memiliki akses untuk melepas sejanak, apalagi menyelesaikan beban psikologis yang mereka alami. Kehadiran pemerintah di tengah keluarga Indonesia untuk menjaga kesehatan mental mereka penting.
Setiap anggota keluarga, baik bapak, ibu, anak, maupun anggota keluarga lain, membawa beban masing-masing akibat pandemi Covid-19. Namun, pemberlakuan bekerja, belajar, dan beribadah di rumah membuat mereka berkumpul di satu tempat yang sering kali terbatas 24 jam penuh selama berminggu-minggu. Paparan informasi terkait Covid-19 yang tidak bertanggung jawab makin memperparah stres mereka.
”Saat satu orang anggota keluarga mengalami stres, stres individu itu bisa menjadi stres kolektif atau stres satu keluarga,” kata Direktur Pusat Kajian Keluarga dan Kelanjutusiaan (CeFAS) Universitas Respati Indonesia yang juga Ketua Umum Ikatan Praktisi dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI) Sudibyo Alomoeso di Jakarta, Jumat (15/5/2020).
Namun, hingga kini bantuan pemerintah untuk keluarga guna mengatasi dampak korona umumnya masih berupa kebutuhan pokok atau biaya kesehatan bagi yang dinyatakan positif korona. Belum ada bantuan psikologis meski persoalan itu telah mengancam ketahanan keluarga.
Terlebih, stres keluarga itu bisa merambat menjadi stres kelompok masyarakat yang lebih luas. Jika hal ini terus berkembang, stres ini bisa melebar ke berbagai persoalan lain, baik soal ketimpangan ekonomi hingga SARA yang bisa memicu persoalan sosial politik lebih besar dan berdampak pada ekonomi dan ketahanan bangsa.
Sebelumnya, psikolog anak dan keluarga di Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang juga Ketua Ikatan Psikolog Klinis Indonesia Wilayah Jakarta, Anna Surti Ariani, mengusulkan untuk diperbanyak lembaga konseling keluarga yang bisa memberikan bantuan mengatasi konflik dalam keluarga. Sertifikasi perkawinan yang pernah didengungkan pemerintah juga perlu segera diwujudkan.
Selama pandemi ini, sejumlah psikolog telah memberikan layanan telekonseling secara percuma kepada masyarakat melalui sejumlah media sosial. Tak hanya menjaring segala keluh kesah masyarakat, mereka juga menemukan besarnya dampak Covid-19 pada kesehatan mental hingga bisa memicu keretakan keluarga.
Namun, lembaga konseling itu tentu memiliki keterbatasan karena hanya sebagian kecil keluarga yang bisa mengaksesnya. Jumlah psikolog atau konselor keluarga juga terbatas. Jangkauan media sosial juga terbatas. Selain itu, belum ada lembaga yang menyertifikasi ahli keluarga untuk menjadi konselor profesional.
Karena itu, dosen ilmu keluarga dari Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Institut Pertanian Bogor, Diah Krisnatuti, mengatakan, kader kesehatan yang dimiliki pemerintah bisa dimanfaatkan untuk menjadi penasihat keluarga. Namun, mereka perlu dibekali dengan keterampilan tambahan untuk bisa memberi nasihat tentang urusan keluarga.
”Selama ini banyak kader kesehatan yang mengelola posyandu, tetapi mereka juga menjadi kader untuk berbagai program pemerintah yang lain,” katanya.
Saat ini setidaknya terdapat 1,2 juta kader Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Kader posyandu pun diperkirakan jumlahnya lebih dari 1 juta orang. Mereka bisa saja orang yang sama. Meski tidak digaji, kegigihan mereka melayani masyarakat dan membantu menyukseskan program-program pemerintah telah teruji.
Pemanfaatan kader kesehatan itu dinilai Diah sebagai solusi murah, mudah, dan cepat untuk mengatasi dampak Covid-19 bagi ketahanan keluarga. Posisi kader yang ada di tengah masyarakat langsung membuat hubungan psikologis antara kader dan masyarakat sangat kuat, khususnya kaum ibu. Mereka lebih mudah menceritakan persoalan yang mereka hadapi kepada kader, bahkan untuk persoalan yang bersifat pribadi.
Selama ini, kader banyak menjadi rujukan untuk bertanya tentang persoalan kesehatan ibu dan anak, pemilihan kontrasepsi, hingga membuat soal bantuan sosial yang diberikan pemerintah. Selain pelatihan tentang keluarga, kader juga perlu diberi panduan soal ke mana mereka harus merujuk persoalan keluarga yang tidak bisa mereka tangani, baik di tingkat desa/kelurahan maupun kecamatan.
”Kekuatan masyarakat sipil perlu dioptimalkan dalam menghadapi pandemi Covid-19 karena jika hanya mengandalkan kekuatan pemerintah, pasti tidak akan bisa,” tambah Diah.
Kekuatan masyarakat sipil lain yang bisa diberdayakan untuk mengatasi dampak pandemi adalah tokoh agama. Selama ini, tokoh agama banyak menjadi rujukan terkait persoalan-persoalan keluarga. Namun, mengakses tokoh agama juga tidak mudah bagi sebagian masyarakat.
Sudibyo menilai pemerintah bisa memanfaatkan media televisi atau radio yang ada untuk memberikan layanan psikologi promotif keluarga selama pandemi. Selama ini, layanan psikologi itu hanya melalui media daring atau media sosial yang tidak bisa menjangkau masyarakat di pelosok yang tidak menggunakan telepon pintar atau di daerah yang susah sinyal.
Saat ini, pemerintah baru memanfaatkan TVRI untuk proses pembelajaran bagi siswa sekolah. Layanan psikologi promotif untuk semua anggota keluarga yang sebenarnya juga bisa dilakukan melalui televisi belum dilakukan pemerintah. Padahal, setiap kelompok populasi dengan umur berbeda menghadapi persoalan yang berbeda pula terkait Covid-19.
”Dalam masa bencana ini, pemerintah seharusnya bisa memaksa semua televisi dan radio untuk memberikan layanan konseling psikologis dan keluarga dari para ahli,” ujarnya. Masyarakat pun seharusnya bisa berinteraksi untuk mencurahkan persoalan yang mereka hadapi, baik melalui fasilitas percakapan maupun telepon.
Upaya itu diharapkan menjadikan pemerintah benar-benar hadir di tengah keluarga untuk menghadapi bencana yang terjadi. Dengan demikian, usaha pemerintah membantu masyarakat selama pandemi tidak hanya yang bersifat fisik dan ekonomi, tetapi juga menyasar kesehatan mental mereka.