Beban Berlipat Penyintas Disabilitas Mental Saat Pandemi Covid-19
Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, memperingatkan dunia bahwa berbagai macam kondisi akibat Covid-19 seperti interaksi sosial yang berkurang, rasa takut, gelisah dan kesulitan ekonomi, telah menimbulkan tekanan psikologi.
“Awal April ketika pasien positif Covid-19 mulai banyak, saya mengalami stres yang luar biasa. Saya tidak mau keluar dari kamar, tidur terus-menerus, tidak makan, dan mulai berpikir untuk lebih baik mati saja daripada hidup begini terus...”
Demikian diceritakan Astrid (42), seorang penulis lepas asal Semarang, Jawa Tengah, yang hidup dengan disabilitas mental Bipolar II. Kondisi emosinya bisa berubah drastis dari sangat senang menjadi terpuruk dan depresif.
Ia yang sehari-hari harus terus menjaga keseimbangan mental untuk menjalani hidup kini mendapat tekanan lebih berat dalam bentuk pandemi Covid-19.
“Dalam episode depresi, saya sangat terpuruk. Semuanya gelap. Merasa tak berguna, tak berdaya, hanya menjadi beban bagi orang tua saya, dan selalu punya pikiran ingin mati. Sedangkan saat bahagia, saya penuh semangat, kreativitas meningkat, ingin hidup selama-lamanya. Saya merasa sangat cerdas, sangat powerful,” kata Astrid kepada Kompas pekan lalu.
Pandemi Covid-19 yang sudah melanda dunia paruh pertama 2020 jelas tidak mempermudah tantangan yang dihadapi Astrid dan masyarakat dengan gangguan jiwa lainnya dalam kehidupan sehari-hari.
Begitu juga dengan kebijakan pembatasan sosial yang menjadi satu-satunya cara memperlambat penyebaran penyakit yang belum mengenal obat dan vaksin.
Rasa kesepian akibat kehilangan support system—alias kerabat dekat yang menjadi sumber dukungan sosial—hingga tidak dapat bertemu psikiater untuk konsultasi rutin menjadi tantangan terbesar. Pada diri Vina Sianipar (33), #dirumahaja pun sedikit memicu klaustrofobia yang dimilikinya.
“Yang mengganggu keseimbangan mental saya adalah tidak bertemu support system terdekat seperti keluarga, sahabat, dan tentunya dokter saya untuk sesi cognitive behavioural theraphy. Saya seringkali merasa sendiri,” ujar Vina, penyintas Bipolar II yang menjadi salah satu pendiri laman edukasi kesehatan mental Get Happy bersama pasangan suami-istri Caecilia Tedjapawitra dan Andre Adianto. Caecilia sendiri memiliki kondisi mood mudah berfluktuatif dan kencenderungan menuju borderline personality disorder (BPD).
Caecilia mengatakan, sempat merasa marah ketika fase karantina dan pembatasan sosial mulai dilakukan. “Beberapa pekan pertama isolasi itu saya mengalami kepanikan. Tetapi setelah itu kami mulai berproses untuk berdamai dengan realita baru,” kata Caecilia.
Awal April ketika pasien positif Covid-19 mulai banyak, saya mengalami stres yang luar biasa. Saya tidak mau keluar dari kamar, tidur terus-menerus, tidak makan, dan mulai berpikir untuk lebih baik mati saja daripada hidup begini terus
Mengabaikan pemberitaan Covid-19 pun menjadi hal yang Vina lakukan. Berita tentang Covid-19 menjadi trigger (pemicu) kecemasa. Ia menjadi sering merasa cemas, was-was, merasa terisolasi, dan gila kebersihan (hygiene freak), kata dia.
Astrid pun demikian. “Jangankan ODGJ seperti saya, orang normal pun jika terus-terusan terpapar berita negatif, pasti akan stress, cemas, dan bahkan bisa jadi depresi,” ujarnya.
Keberadaan teknologi, sekadar percakapan pesan instan melalui Whatsapp pun membantu Astrid dan Vina berkonsultasi dengan psikiater yang sudah menjadi kebutuhannya. “Bertemu terapis secara rutin memang sudah merupakan keharusan, jika ingin memiliki kehidupan yang bisa dikatakan relatif stabil,” kata Astrid.
Astrid memahami di saat kondisi kelam seperti ini, sangat mudah untuk putus asa, namun menurutnya cara yang bisa dilakukan adalah berusaha untuk tetap bertahan dan perlahan menerima keadaan.
“Seperti halnya saya harus menerima bipolar disorder sebagai bagian hidup saya, saya juga harus menerima pandemi ini sebagai bagian hidup saya saat ini. Mau tidak mau, saya harus berusaha to stay alive dalam ketidakpastian ini,” kata Astrid.
Baca juga: Berbagi Energi Positif Saat Pandemi
Ketidakpastian
Ketakutan mengahadapi ketidakpastian keadaan memang menjadi faktor utama penyebab tekanan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pengajar Fakultas Psikologi Universitas Negeri Surakarta (UNS) Mohammad Abdul Hakim terhadap 1.319 orang responden setelah mengalami satu bulan pembatasan fisik pada awal April 2020 lalu.
Dalam penelitian itu, Hakim mengidentifikasi empat sumber tekanan yang muncul karena pandemi Covid-19. Pertama, adalah ketakutan terhadap infeksi penyakit. Kedua, ketakutan kekurangan memnuhi kebutuhan pokok dasar.
Ketiga, tekanan untuk menyesuaikan perilaku dan kebiasaan; seperti mengenakan masker dan tidak boleh berjabat tangan. Terakhir, larangan untuk berkumpul. “Bagi masyarakat Indonesia, larangan dilarang berkumpul itu ternyata signifikan dampaknya,” kata Hakim.
Penelitian itu juga menunjukkan bahwa sebagian besar orang (65 persen) memiliki ketahanan (resiliensi) terhadap tekanan akibat Covid-19, namun lebih dari seperempat responden terancam jatuh ke dalam kondisi stres akut.
Hakim menyebut stres akut ini merupakan dampak jangka menengah pandemi covid-19 terhadap kesehatan mental. Dalam kondisi stres akut ini, manusia akan merasa tegang, mudah marah, merasa kewalahan (overwhelmed) dan tidak berdaya. “Kondisi ini bahkan bisa bertahan beberapa pekan,” kata Hakim.
Apabila kondisi ini tidak ditangani dengan benar, orang dalam kondisi stres akut ini bisa jatuh dalam kondisi post-traumatic stress disorder (PTSD).
Orang yang memiliki PTSD ini artinya lebih dari enam bulan mengalami disorientasi waktu, mood yang negatif, bahkan kelak apabila kondisi sudah terkendali, ia akan sering mengalami kilas balik peristiwa traumatis dalam mimpi.
“Hal ini menjadi problem yang sangat serius bagi mereka yang sudah memiliki existing psychological problems. Mereka akan kesulitan mengatasi stress akut akibat pandemi ini,” kata Hakim.
Gejala lain PTSD yang akan muncul antara lain mengembangkan ketakutan yang yang tidak nyata; seperti takut keluar rumah dan bertemu orang asing.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Kamis (14/5/2020) kemarin pun memperingatkan dunia bahwa berbagai macam kondisi akibat Covid-19—interaksi sosial yang berkurang, rasa takut dan gelisah, dan kesulitan ekonomi—telah menimbulkan tekanan psikologis.
Baca juga: WHO Peringatkan, Krisis Kesehatan Mental Mengancam Dunia
Psikolog yang juga pendiri Into The Light, komunitas advokasi pencegahan bunuh diri, Benny Prawira Siauw mengatakan, pandemi ini memiliki implkasi terhadap kesehatan mental yang berlipat pada masyarakat. Mulai dari ketakutan terhadap infeksi hingga sosial-ekonomi.
"Akhirnya, itu pressure-nya itu multilayer, berlapis-lapis. Ada kondisi-kondisi sosial ekonomi yang tidak bisa dikenalikan tetapi ada yang tidak bisa," kata Benny.
Krisis 1998 berulang
Gangguan mental akibat krisis skala besar seperti pada pandemi Covid-19 ini bukan menjadi kejadian baru di Indonesia. Di tengah krisis moneter 1997–1998, surat kabar ini pun melaporkan bahwa ada peningkatan jumlah penderita penyakit gangguan jiwa pada periode tersebut.
Hampir ada peningkatan sebesar 30 persen jumlah penderita gangguan jiwa berdasar catatan Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung antara Januari 1997 dan Desember 1997.
"Umumnya penderita baru gangguan jiwa berasal dari kelompok masyarakat berekonomi menengah ke atas karena mereka takut akan kehidupannya di masa mendatang bila terjadi perubahan," jelas dr Teddy Hidayat Sekretaris Medikal Fungsional Psikitatri RS Hasan Sadikin Bandung pada saat itu.
Ia mengatakan, gangguan jiwa terjadi karena adanya perubahan. "Setiap perubahan membutuhkan suatu adaptasi. Bila adaptasi tidak berhasil, dapat menimbulkan gangguan jiwa," kata dr Teddy (Kompas, 17/2/1998)
Kondisi ini juga bukan situasi yang unik di Indonesia. Beberapa bulan sebelumnya, Kompas juga melaporkan bahwa masyarakat Thailand juga mengalami kondisi yang sama. Kementerian Kesehatan Thailand pada saat itu dalam periode Juli–September 1997 juga mengumumkan bahwa terjadi 13 kasus bunuh diri dengan motif kesulitan ekonomi (Kompas, 27/10/1997).
Tips
Hal-hal sederhana seperti bersenda gurau melalui video call, reuni virtual dengan kawan-kawan lama, menggalang dana bantuan bersama kolega kantor, ternyata menjadi amunisi utama melawan tekanan akibat pandemi covid-19 ini.
Itu semua adalah berbagai wujud dari social support, kata Hakim. Social support merujuk pada kemampuan untuk memiliki orang laun yang bisa dijadikan sandaran.
“Ini mungkin berkah kita di Indonesia, karena karaktristik social support yang tinggi tampak sekali. Setiap ada peristiwa buruk secara kolektif, seperti di tsunami Aceh, gempa Bantul, selalu muncul gerakan-gerakan masyarakat yang menimbulkan dukungan sosial,” kata Hakim.
Social support yang kental di Indonesia bahkan dapat sedikit memperlunak dampak penanganan pemerintah terhadap Covid-19 yang kacau-balau, kata Hakim.
Benny mengatakan, salah satu taktik untuk menjaga kesehatan mental di kondisi saat ini adalah merayakan dan bersyukur atas setiap hal kecil yang bisa dilakukan.
Dengan merayakan setiap hal kecil, maka kita akan mengingat setiap perasaan bahwa kita sesungguhnya masih berdaya. “Kalau bisa ditulis dalam buku catatan, jadi bisa mengingatkan kita terus, menjadi reminder,” kata Benny.
Benny dan Hakim pun mengapresiasi peluncurkan layanan psikologi nasional untuk kesehatan jiwa (Sejiwa) yang dilakukan oleh Kantor Staf Presiden. Layanan ini dapat diakses melalui telepon 119 extension 8.
Berdamai
Belajar berdamai dengan kondisi menjadi kunci ketenangan yang dimiliki oleh Caecilia sekarang. Ia melakukannya dengan meditasi dan mendengarkan musik. Memahami bahwa seluruh dunia juga mengalami hal yang sama juga dapat menolong mengurangi perasaan ‘merasa sendiri’.
“Saya merasa seluruh dunia juga sama moodnya—berbarengan dengan tujuh miliar manusia lainnya. Ini bikin lebih gampang berdamai dengan realita. Karena jadi merasa tidak sendiri,” kata Caecilia.
Vina juga menyarankan untuk terus menjaga kontak sosial melalui teknologi. Hal ini dapat menjaga dirinya tetap waras karena tidak terjebak dengan isi kepalanya sendiri. “Kemudian sadari hal-hal yang dapat memicu kecemasan-kecemasan itu. Lalu hindari hal-hal tersebut,” kata Vina.
Namun ketika rasa cemas sudah membuat diri kewalahan dan membuat jatuh ke dalam lubang depresi, Astrid berharap kita tidak patah arang. Lakukan hal yang paling mudah dilakukan dahulu, seperti bernafas. Kemudian baru bergerak ke hal-hal yang lebih besar. Ini adalah pelajaran yang ia dapatkan dengan hidup bersama Bipolar.
“Tetap bernafas, tetap berjuang untuk tetap hidup. Tak perlu memaksakan diri untuk produktif, bertahan saja itu sudah cukup,” pungkasnya.