Hari Keluarga Internasional 15 Mei 2020 diperingati di tengah pandemi Covid-19. Ketahanan keluarga diuji oleh berbagai masalah yang rentan muncul saat semua orang berkumpul di rumah saja.
Oleh
TIM KOMPAS
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 memaksa masyarakat tinggal di rumah. Sebenarnya ini momen untuk meningkatkan hubungan antaranggota keluarga. Namun, tinggal bersama dalam waktu lama di tengah wabah penyakit juga rentan memicu berbagai masalah. Semua itu perlu dipetakan dan diantisipasi bersama.
Survei daring Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), April-Mei 2020, terhadap lebih dari 20.000 keluarga, yang terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera, menunjukkan, hampir 95 persen keluarga stres akibat pandemi dan pembatasan sosial yang diterapkan guna mencegah penyebaran Covid-19.
Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN M Yani di Jakarta, Kamis (14/5/2020), mengatakan, tak hanya ancaman penyakit yang menimbulkan stres pada masyarakat, tetapi juga dampak ekonomi.
”Masyarakat stres, sedih, cemas, sulit tidur, memengaruhi nafsu makan, menimbulkan rasa putus asa, hingga ada yang punya pikiran bunuh diri,” ucapnya.
Survei itu sejalan dengan data swaperiksa Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia yang dirilis akhir April. Sebanyak 63 responden cemas, berpikir sesuatu yang buruk akan terjadi, khawatir berlebih, mudah marah, dan sulit bersantai. Ada 66 responden yang juga mengaku depresi, sedangkan 80 persen responden mengaku mengalami gejala stres pascatrauma psikologis.
Adapun Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sejak 1 Januari hingga 12 Mei 2020 menerima laporan 1.201 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 1.526 kasus kekerasan terhadap anak. Dari jumlah ini, 1.213 perempuan menjadi korban. Mayoritas kasus berupa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), yakni 730 kasus. Jumlah anak korban kekerasan mencapai 1.669 orang dan 350 anak di antaranya mengalami KDRT.
Sebelum kebijakan pembatasan sosial, 1 Januari-28 Februari, Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA) menerima 900 laporan kekerasan terhadap perempuan dan 1.197 kasus kekerasan terhadap anak. Saat pembatasan sosial berskala besar diterapkan, 29 Februari-12 Mei, tren jumlah laporan agak menurun, 301 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 329 kasus anak.
”Mungkin korban sulit melapor karena ada protokol kesehatan. Kebijakan diam di rumah bisa saja membuat korban tak bisa mengakses layanan,” ujar Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Pribudiarta Nur Sitepu.
Menurut psikolog anak dan keluarga di Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, yang juga Ketua Ikatan Psikolog Klinis Indonesia Wilayah Jakarta Anna Surti Ariani, dari telekonseling oleh sejumlah psikolog ataupun pantauan psikolog puskesmas langsung ke masyarakat, belakangan ini ditemukan beragam masalah keluarga, dari yang ringan hingga berat. Berkurangnya penghasilan, kehilangan pekerjaan, kesibukan yang meningkat akibat bekerja, sekolah, dan beribadah di rumah, hingga perubahan peran membuat banyak anggota keluarga menghadapi masalah baru.
Terpusatnya aktivitas harian di rumah membuat sikap anggota keluarga yang selama ini tak terperhatikan menjadi terlihat. Tanpa komunikasi baik, hal itu rentan memicu pertikaian. Masalah ringan yang tak diselesaikan memicu pertengkaran besar, bahkan mengarah ke perceraian. Kondisi lebih buruk terjadi jika ada anggota keluarga sakit atau meninggal meski bukan akibat
Covid-19.
Anna menambahkan, laporan psikolog di puskesmas dan memantau orang dalam pemantauan dan pasien dalam pengawasan yang dirawat di rumah menggambarkan, persoalan lebih rumit terjadi dalam masyarakat menengah bawah yang tinggal di rumah petak. Bersama dalam waktu lama di ruang sempit membuat mereka menghadapi beban ganda pemicu stres.
Tinggal di rumah saja juga menekan anak-anak. Retno Listyarti, anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia, mengatakan, pada 16 Maret hingga 13 Mei, komisi itu menerima 259 pengaduan terkait pembelajaran jarak jauh (PJJ), keluarga dan pengasuhan alternatif (42 kasus), sosial dan anak dalam situasi darurat (1), anak berhadapan dengan hukum (7), kesehatan dan napza (2), serta perdagangan orang dan eksploitasi anak (2 kasus).
”Kekerasan psikis dialami jutaan anak selama pembelajaran di rumah lantaran PJJ tak berjalan sebagaimana mestinya,” ujar Retno.
Kondisi serupa terjadi di dunia internasional. Menurut Direktur Regional Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Eropa Hans Kluge, yang dihubungi secara daring dari Kopenhagen, Denmark, stres dan kecemasan akibat pembatasan kehidupan sosial menjadikan ketidakpastian, pemisahan, dan ketakutan. Negara Belgia, Bulgaria, Perancis, Irlandia, Rusia, Spanyol, dan Inggris melaporkan kenaikan KDRT. Ada kenaikan 60 persen panggilan darurat oleh perempuan korban kekerasan dari pasangan mereka pada April 2020 dibandingkan dengan April 2019.
Pada 6 April 2020, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres, menulis di Twitter, ”perdamaian bukan hanya tiadanya perang. Banyak perempuan yang menjalani karantina wilayah untuk mencegah #COVID19 menghadapi kekerasan di tempat yang seharusnya paling aman: di rumah mereka sendiri.”
”Hari ini saya memohon perdamaian di rumah di seluruh dunia. Saya mendesak semua pemerintah memprioritaskan keamanan perempuan di masa pandemi ini,” tambah Guterres kala itu.
Badan Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) memperkirakan akan ada 31 juta kasus kekerasan domestik di dunia jika karantina wilayah berlangsung hingga enam bulan. Untuk setiap perpanjangan penutupan wilayah selama tiga bulan, akan ada 15 juta kasus kekerasan berbasis jender.
Menurut psikolog asal London, Lucy Atcheson, karantina wilayah dan berada di rumah bagi sebagian orang memperuncing perbedaan serta konflik. ”Hal ini bagaikan menempatkan semua masalah ke dalam penggorengan dan memanaskannya,” ujarnya.
Karantina wilayah juga memicu perceraian. Mengutip informasi dari media lokal di China, akhir Maret 2020, The New York Times melaporkan bahwa permohonan perceraian meningkat di dua provinsi di China, yaitu Sichuan dan Shanxi. Kota Dazhao di Provinsi Sichuan, misalnya, menerima hampir 100 permohonan cerai dalam kurang dari tiga pekan.
Berbagai masalah dalam keluarga itu perlu mendapat perhatian serius pada Hari Keluarga Internasional yang diperingati setiap 15 Mei. Pada momen ini, keluarga ditantang untuk menjaga ketahanannya.
Sekretaris Pengurus Pusat Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama yang juga psikolog keluarga Alissa Wahid mendorong semua anggota keluarga, terutama orangtua, mencermati kondisi masing-masing, lebih memahami pola-pola anggota keluarga, terutama bagi orangtua agar memahami pasangan masing-masing. Ini penting agar masing-masing tidak saling menuntut dalam situasi kenormalan baru ini.
”Penting memahami diri sendiri, mengelola diri sendiri, memahami orang lain, juga mengelola hubungan dengan orang lain. Semua itu perlu diasah, dipahami bahwa situasi saat ini sedang penuh tekanan untuk semua orang. Terutama ini bagi orangtua karena kadang-kadang orantua merasa anak itu hak milik,” kata Alissa.