Jangan Hamil Dulu Selama Pandemi
Kehamilan merupakan sumber kebahagiaan bagi sebagian besar pasangan suami-istri. Namun, kehamilan yang berlangsung selama pandemi Covid-19 ini bisa jadi sumber masalah bagi ibu ataupun jabang bayi.
Kehamilan merupakan sumber kebahagiaan bagi sebagian besar pasangan suami-istri. Namun, kehamilan yang berlangsung selama pandemi Covid-19 ini bisa jadi sumber masalah bagi ibu ataupun jabang bayi.
Imbauan untuk tetap di rumah selama masa pembatasan sosial berskala besar dikhawatirkan akan meningkatkan jumlah kehamilan di Indonesia pada sembilan bulan ke depan. ”Korona negatif, istri positif” menjadi candaan yang banyak beredar di media sosial sejak kebijakan bekerja, belajar, dan beribadah di rumah diberlakukan mulai pertengahan Maret 2020 lalu.
Manusia adalah makhluk seksual, punya dorongan seksual, butuh hubungan seksual, dan menginginkan kepuasan seksual. Meningkatnya intensitas pertemuan suami-istri dan kejenuhan yang melanda akibat terbatasnya aktivitas selama tinggal di rumah saja berpeluang menambah frekuensi hubungan suami-istri hingga meningkatkan potensi kehamilan.
”Jika pasangan usia subur rutin berhubungan suami-istri 2-3 kali seminggu tanpa menggunakan kontrasepsi, peluang untuk hamil mencapai 15 persen,” kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo di Jakarta, Senin (4/5/2020).
Baca juga: Angka Kehamilan Diperkirakan Melonjak Selama Pandemi Covid-19
Memang dengan banyaknya aktivitas di rumah tidak otomatis akan meningkatkan dorongan hubungan intim. Banyak faktor bisa mengurangi intensitas hubungan suami-istri, seperti kesibukan bekerja, kelelahan mengurus rumah tangga, hingga stres yang menyertai. Beberapa faktor itulah yang diduga memicu turunnya tingkat kesuburan masyarakat dari 2,6 anak per perempuan usia subur sejak dekade 2000-an menjadi 2,4 anak pada tahun 2018.
Meski demikian, kekhawatiran terjadinya kehamilan tanpa perencanaan selama masa pandemi Covid-19 cukup beralasan. Secara nasional, pelayanan keluarga berencana pada Februari dan Maret 2020 mengalami penurunan untuk semua jenis kontrasepsi antara 35-48 persen.
Jika pasangan usia subur rutin berhubungan suami-istri 2-3 kali seminggu tanpa menggunakan kontrasepsi, peluang untuk hamil mencapai 15 persen.
Direktur Bina Kesertaan Keluarga Berencana Jalur Swasta BKKBN Widwiono dalam webinar menyambut Hari Bidan Internasional, Selasa (5/5/2020), menyebut penurunan itu terjadi karena kaum ibu takut pergi ke bidan atau fasilitas kesehatan lain karena khawatir tertular Covid-19. Namun, ketidakhadiran kaum ibu ke pusat layanan kesehatan itu juga sesuai imbauan tenaga kesehatan agar tak pergi ke fasilitas kesehatan kecuali kondisi darurat.
Di sisi lain, bidan maupun tenaga kesehatan sengaja membatasi layanan untuk mencegah penularan penyakit. Sebagian karena mereka berusia lebih dari 60 tahun sehingga berisiko besar terhadap Covid-19. Sementara yang lain karena keterbatasan alat pelindung diri (APD) yang dimiliki saat itu. Kini, BKKBN telah memberikan bantuan APD untuk bidan dalam jejaring mereka.
Risiko tertular
Ada banyak alasan untuk menunda kehamilan selama masa pandemi. Seseorang yang hamil muda umumnya akan mengalami mual, muntah, dehidrasi hingga terbatasnya asupan makanan. Kondisi itu akan membuat ibu hamil menjadi lemah dan bisa menurunkan daya tahan tubuhnya.
”Kondisi lemah selama awal kehamilan itu merupakan kondisi normal, hukum alam, agar tubuh ibu tidak menolak janin yang terbentuk sebagai benda asing,” kata Hasto.
Baca juga: Menjaga Kesehatan Perempuan Hamil
Menurunnya daya tahan tubuh ibu hamil dikhawatirkan membuat mereka lebih rentan terpapar virus SARS-CoV-2 pemicu penyakit Covid-19. Meski demikian, Sekretaris Jenderal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia Budi Wiweko menegaskan, ”Sampai saat ini tidak ada bukti yang menunjukkan ibu hamil lebih rentan tertular Covid-19 dibandngkan dengan populasi umum,” tuturnya.
Saat tubuh lemah atau hamil, berobat ke bidan, dokter atau tenaga kesehatan lainnya biasanya akan dilakukan. Namun, dalam kondisi tidak normal seperti saat ini, memeriksakan diri ke tenaga kesehatan atau berkunjung ke fasilitas kesehatan bukan pilihan banyak orang karena adanya risiko tertular Covid-19.
Ibu hamil bisa saja berkonsultasi dengan dokter di layanan kesehatan daring yang kini banyak tersedia. Namun, layanan kesehatan daring itu tetap memiliki keterbatasan karena hanya dilakukan berdasarkan wawancara, tanpa ada pemeriksaan fisik langsung.
Sementara untuk mengakses layanan dokter atau bidan langsung juga tidak mudah. Saat ini, banyak dokter dan bidan sudah mengembangkan konsultasi melalui media sosial terlebih dahulu. Pasien yang tidak menunjukkan tanda kedaruratan, umumnya akan diminta tetap di rumah.
Keterbatasan layanan itu bisa menimbulkan persoalan baru pada ibu hamil, seperti stres dan kecemasan. Kondisi itu bisa berpengaruh pada janin yang dikandungnya. Persoalannya, ”Selama dua bulan pertama adalah fase penting pembentukan janin karena di masa itu semua organ penting tubuh mulai terbentuk,” tambah Hasto yang juga konsultan obstetri dan ginekologi.
Baca juga: Hidup Sehat untuk Kehamilan Berkualitas
Menyebarnya virus SARS-CoV-2 yang tidak selalu menimbulkan gejala juga menimbulkan kekhawatiran tentang dampaknya pada janin. Infeksi virus itu dikhawatirkan bisa memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin.
Meski demikian, Budi menegaskan hingga kini belum ada bukti bahwa penyakit Covid-19 bisa memicu teratogenik atau perkembangan sel yang tidak normal hingga bisa menyebabkan kerusakan embrio. ”Namun, bukti menunjukkan kemungkinan virus dapat ditularkan secara vertikal (dari ibu ke janin),” katanya.
Selain itu, lanjut Hasto, 5-12,5 persen kehamilan akan berakhir dengan keguguran. Jika terjadi keguguran, tentu ibu hamil membutuhkan pelayanan kesehatan. Meski sebagian orang yang keguguran tidak perlu dikuret karena semua janinnya sudah keluar dan tidak ada jaringan janin yang tertinggal di dalam rahim, tetapi untuk memastikan kondisi itu mereka tetap butuh pemeriksaan dokter.
Pada masa sulit ini, untuk mengakses layanan darurat pun tidak mudah. Sejumlah rumah sakit menerapkan prosedur pemeriksaan gejala Covid-19 untuk semua calon pasien guna menekan penularan penyakit, baik kepada tenaga kesehatan maupun pasien lain. Layanan kepada pasien yang tak memiliki gejala Covid-19 pun biasanya dilakukan tenaga kesehatan menggunakan APD lengkap yang bisa membuat sebagian pasien tak nyaman.
Baca juga: Mencegah Kehamilan Tak Diinginkan Saat Pandemi
Dengan berbagai keterbatasan itu, Hasto meminta masyarakat mempertimbangkan diri untuk tidak hamil dulu. ”Jangan hamil dulu. Hamil di masa pandemi bisa menimbulkan banyak masalah. Karena itu, mencegah kehamilan tak diinginkan dan menunda kehamilan saat ini lebih utama,” tambahnya.
Potensi terjadinya kehamilan tak diinginkan saat ini cukup besar akibat banyaknya kasus putus alat kontrasepsi. Kehamilan tak diinginkan berisiko besar pada kesehatan ibu dan janin, meningkatkan risiko bayi lahir prematur atau berat badan rendah, memperbesar risiko anak tengkes, hingga memengaruhi tumbuh kembang anak.
Mereka yang tidak menginginkan kehamilan, tetapi tidak menggunakan alat kontrasepsi saat berhubungan, sebenarnya bisa menggunakan alat kontrasepsi darurat (alkondar) untuk mencegah kehamilan. Namun, alkondar ini hanya efektif digunakan 3 hari setelah berhubungan suami-istri.
Pil yang juga disebut morning-after pill ini bekerja menghambat pelepasan sel telur dan mencegah perlekatan sel telur yang sudah dibuahi ke dinding rahim. Pil ini di Indonesia hanya bisa diakses melalui resep dokter. Selain itu, penggunaan pil ini juga masih menimbulkan pro-kontra karena dipersepsikan sebagian kalangan sebagai obat aborsi. Padahal, alkondar secara medis bukan obat aborsi dan tidak akan mengakhiri kehamilan yang terjadi.
Telanjur hamil
Kalaupun sudah telanjur terjadi kehamilan selama masa pandemi, lanjut Hasto, memastikan ibu hamil, khususnya yang belum punya pengalaman hamil agar tetap sehat, gembira dan tidak stres menjadi keharusan. Dukungan suami dan keluarga akan sangat berarti.
”Ibu hamil tidak perlu cemas karena yang dibutuhkan hanya kehati-hatian dan tahu caranya menghadapi kendala yang terjadi,” katanya.
Untuk menghindari risiko keguguran, ibu hamil muda disarankan banyak beristirahat, berhenti melakukan hubungan suami-istri lebih dulu, serta banyak mengonsumsi vitamin, tablet tambah darah, dan asam folat. Jika muncul mual dan muntah, mengonsumsi minuman jahe sangat disarankan. Saat merasa gerah, Hasto menyarankan ibu hamil untuk mengonsumsi es krim.
Baca juga: Hamil dan Menyusui di Masa Pandemi Covid-19
Sementara untuk ibu hamil pada usia kehamilan 4-5 bulan, disarankan tidak perlu kontrol setiap bulan, terlebih jika kehamilan berlangsung normal. Kementerian Kesehatan pun menyarankan pemeriksan kehamilan (antenatal care) sekurang-kurangnya empat kali, yaitu satu kali pada kehamilan trimester pertama (kurang dari 14 minggu), sekali di trimester kedua (14-28 minggu) dan dua kali di trimester ketiga (lebih dari 28 minggu).
Untuk usia kehamilan 7-8 bulan, istirahat ibu menjadi penting. Menurut Hasto, ibu dengan kehamilan besar disarankan tidur miring ke kiri karena pembuluh darah besar ada di sebelah kanan. Jika ibu yang hamil besar tidur miring ke kanan, maka pembuluh darah besar akan terimpit hingga membuat janin seperti tercekik.
”Selama ini muncul kesalahan persepsi, saat ibu tidur miring ke kiri biasanya akan membuat janin bergerak-gerak sehingga dianggap menyiksa janin. Padahal, itu justru menandakan janin dalam keadaan senang,” katanya.
Namun, bagi pasangan usia subur yang masih tetap ingin memiliki momongan, waktu pandemi ini bisa dimanfaatkan untuk melakukan persiapan diri hingga anak yang dilahirkan nanti sehat dan berkualitas.
Untuk suami, persiapan mendapatkan janin yang sehat setidaknya dibutuhkan waktu minimal 75 hari sebelum kehamilan terjadi. Waktu yang panjang itu bisa digunakan untuk mempersiapkan sperma yang berkualitas dengan cara banyak mengonsumsi zink (seng), zat gizi mikro yang berperan penting bagi pertumbuhan, perkembangan serta menjaga kesehatan jaringan tubuh.
Sementara bagi calon ibu, Hasto menyarankan untuk mengonsumsi asam folat demi mencegah kecacatan janin minimal satu bulan sebelum hamil. Pemeriksaan laboratorium sebelum kehamilan juga bisa dilakukan untuk mengecek kerentanan tubuh saat memiliki bayi.
Selain asam folat, ibu hamil di Indonesia umumnya memiliki banyak persoalan gizi, seperti kekurangan zat besi yang memicu anemia, hingga kekurangan energi dan protein. Semua persoalan gizi itu bisa memengaruhi kesehatan fisik dan otak janin. Tak hanya itu, defisiensi berbagai sat gizi itu juga bisa mengancam nyawa ibu dan bayi saat proses persalinan.