Situasi pandemi Covid-19 yang penuh dengan kecemasan dan kegundahan ternyata memberi banyak wawasan baru bagi penyair Joko Pinurbo. Salah satunya adalah cara memandang persoalan kehidupan.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
”Obat tidur mengucapkan selamat tidur kepada pasien yang masih berdoa. KTP mengucapkan selamat tidur kepada calon jenazah yang masih memikirkan besok akan dikubur di mana.”
Penyair Joko Pinurbo atau biasa dipanggil Jokpin membacakan puisi berjudul ”Di Rumah Sakit” dalam diskusi virtual #TerasBentara yang digelar di Instagram Live Bentara Budaya Yogyakarta, Rabu (13/05/2020).
KTP mengucapkan selamat tidur kepada calon jenazah yang masih memikirkan besok akan dikubur di mana (Joko Pinurbo)
Saat menuliskan puisi itu, Jokpin mengaku merinding. Apalagi pada penggalan paling terakhir, ”KTP mengucapkan selamat tidur kepada calon jenazah yang masih memikirkan besok akan dikubur di mana.” Proses penulisan puisi itu memang berlangsung saat pandemi Covid-19. Inspirasi utamanya adalah informasi maraknya pasien positif Covid-19 yang meninggal dan kemudian ditolak masyarakat.
”Sudut pandang utama saya adalah jenazah. Banyak orang dirawat di rumah sakit dihantui ketakutan. Ketakutan terkena Covid-19 sampai ketakutan meninggal dan jenazahnya ditolak masyarakat,” ujarnya.
Jokpin pernah membacakan puisi ”Di Rumah Sakit” saat acara virtual ”Puisi Cinta #dirumahsaja” yang disiarkan akun Youtube ”Budaya Saya” milik Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sekitar dua minggu lalu. Di acara itu, dia hadir bersama 14 penyair lainnya.
Selama pandemi Covid-19 berlangsung, banyak kisah yang menjadi inspirasinya menulis puisi. Inspirasi tersebut dia kumpulkan, tidak langsung segera dia tuangkan ke dalam puisi. Dia menyebutnya sebagai tabungan ide.
Pandemi sebagai ujian
Menjaga tetap kreatif di saat pandemi harus Jokpin akui sebagai ujian. Menuliskan inspirasi kisah sehari-hari ke dalam puisi itu berat. Dia sendiri memikirkan banyak hal yang menyangkut kelangsungan hidup.
”Di masa pandemi, pikiran lebih fokus ke terbebas dari rasa takut berlebihan. Ada kebutuhan elementer yang harus dipenuhi. Kita memikirkan banyak hal, termasuk memikirkan saudara-saudara di kampung dan ketercukupan kebutuhan mereka,” ujarnya.
Terlepas dari tantangan itu, Jokpin menilai kondisi pandemi Covid-19 memberinya banyak wawasan baru. Salah satunya adalah cara memandang persoalan kehidupan.
Selama diskusi virtual #TerasBentara yang berlangsung hampir satu jam, dia menjawab sejumlah pertanyaan yang diajukan pembawa acara ataupun penonton Instagram Live yang hadir. Dia pun tidak segan menceritakan proses kreatif di balik setiap puisi yang dia tulis.
Misalnya, pemilihan benda-benda domestik yang hampir selalu muncul, seperti celana dan kamar mandi. Jokpin menekankan, dirinya selalu penasaran dengan peristiwa sehari-hari. Benda-benda domestik cenderung tidak dianggap puitis, tetapi baginya justru sangat melekat.
”Hal-hal sederhana bisa membawa kita ke dalam renungan absurditas hidup. Di balik kesederhanaan, ada refleksi hakikat hidup,” katanya.
Jokpin mengatakan, puisi pertama seorang penyair menjadi tonggak awal membaca arah arah karya-karya berikutnya. Dia mencontohkan, puisi pertama WS Rendra mengenai cinta remaja. Puisi-puisi berikutnya selalu konsisten terkait dengan tema cinta, termasuk cinta sosial.
Sementara dirinya, puisi pertamanya dibuat sekitar usia 15-16 tahun saat dia duduk di bangku sekolah menengah atas. Sekolahnya dekat dengan kapel, tempat ibadah bagi umat Katolik berukuran kecil. Pada jam-jam tertentu, lonceng kapel itu berbunyi dan suaranya sampai menggetarkan ruang kelas. Pengalaman itulah yang akhirnya menginspirasi dia menulis puisi ”Kamboja di Samping Gereja”.
”Sejak itu, saya banyak menulis puisi tentang realitas sehari-hari dan isu sosial,” kata Jokpin.