Tidak Bijaksana Menaikkan Iuran JKN-KIS Saat Masyarakat Kesulitan
Keputusan pemerintah menaikkan kembali iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat dinilai tidak bijaksana karena masyarakat sedang kesulitan ekonomi saat pandemi Covid-19. Ini memicu polemik baru.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan pemerintah menaikkan kembali iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat berpotensi menimbulkan polemik baru di tengah masyarakat. Selain membebani masyarakat, keputusan ini juga bisa berdampak pada penumpukan pasien di layanan rumah sakit kelas tiga karena tingginya jumlah peserta yang turun kelas.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, saat dihubungi di Jakarta, Kamis (14/5/2020), menyampaikan, keputusan kenaikan iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) tidak tepat dilakukan di tengah masa pandemi Covid-19. Dengan kondisi ekonomi masyarakat yang menurun saat ini, hal itu justu akan menambah potensi tunggakan iuran masyarkat.
”Kenaikan ini juga sangat mengejutkan karena dibuat tanpa disertai proses konsultasi publik yang memadai. Bahkan, keputusan ini terkesan sembunyi-sembunyi saat masyarakat tengah terkurung pandemi Covid-19,” ujarnya.
Sebagaimana diberitakan, pemerintah memutuskan kembali menaikkan iuran peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat mulai Juli 2020. Sebelumnya, dalam putusan pada 31 Maret 2020, Mahkamah Agung membatalkan kenaikan iuran yang dibuat pemerintah pada 2019. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Rabu (13/5/2020), di Jakarta, menjelaskan, putusan kembali menaikkan iuran Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) demi menjaga keberlanjutan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Kenaikan iuran peserta JKN-KIS ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Aturan itu dikeluarkan setelah Mahkamah Agung membatalkan kenaikan iuran yang sebelumnya diputuskan pada 2019.
Dalam aturan yang ditetapkan pada 5 Mei 2020 ini disebutkan, perubahan besaran iuran terjadi pada peserta mandiri atau peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja (BP). Untuk peserta mandiri kelas satu akan naik dari Rp 80.000 menjadi Rp 150.00 per bulan. Iuran peserta mandiri kelas dua akan naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 100.000 per bulan. Sementara iuran kelas tiga akan naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000 per bulan.
Namun, pemerintah memutuskan akan memberikan subsidi bagi peserta mandiri kelas tiga sebesar Rp 16.500 per bulan sehingga perserta cukup membayar iuran sebesar Rp 25.500. Aturan ini akan berlaku mulai 1 Juli 2020.
Rentan penumpukan pasien
Tulus menilai, keputusan ini bisa menimbulkan tingginya permintaan peserta kelas satu dan dua untuk turun kelas menjadi kelas tiga. Padahal, jika dibandingkan dengan layanan perawatan kesehatan untuk kelas tiga di rumah sakit, jumlahnya masih terbatas. Ini berpotensi menimbulkan penumpukan pasien sehingga semakin banyak peserta yang tidak terlayani dengan baik.
Data proporsi peserta dan proporsi tempat tidur perawatan yang dihimpun BPJS Kesehatan pada Oktober 2019 menunjukkan masih adanya kekurangan dalam ketersediaan tempat tidur. Proporsi peserta JKN-KIS kelas tiga sebesar 69 persen, sementara proporsi tempat tidur yang tersedia untuk perawatan kelas tiga sebanyak 53 persen. Selain itu, rasio kecukupan tempat tidur perawatan untuk kelas tiga juga masih kurang, yakni 0,8:1.000 peserta. Idealnya adalah 1:1.000 peserta.
Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Tubagus Achmad Choesni menuturkan, peraturan terkait jaminan kesehatan ditetapkan untuk memastikan keberlanjutan program JKN-KIS. Dengan berjalannya aturan tersebut, perbaikan kebijakan akan terus dilakukan seiring dengan perbaikan pengelolaan layanan kesehatan secara menyeluruh dan sistemik.
”Untuk menetapkan besaran iuran peserta ini juga kita melihat kemampuan peserta dalam membayar iuran yang disebutu dengan ability to pay. Ini utamanya pada peserta bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) kelas tiga,” ucapnya.
Menurut Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengeluaran Negara Kementerian Keuangan Kunta Wibawa Dasa, besaran iuran yang ditentukan sudah sesuai dengan perhitungan akuaria dan kemampuan membayar peserta. Apabila dibandingkan dengan perhitungan aktuaria, besaran iuran yang ditetapkan saat ini sebenarnya masih di bawah hitungan yang dilakukan.
Berdasarkan hitungan aktuaria, besar iuran peserta mandiri kelas satu sebesar Rp 286.085, kelas dua sebesar Rp 184.617, dan kelas tiga sebesar Rp 137.221. Penyesuaian iuran ini juga perlu dilakukan sesuai dengan UU SJSN yang menyebutkan besaran iuran perlu direviu secara berkala.
Koordinator Bidang Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai, perbaikan data melalui pembersihan data atau data cleansing pada peserta penerima bantuan iuran (PBI) lebih mendesak untuk dilakukan dibanding memberikan subsidi bagi peserta mandiri kelas tiga. Subsidi tersebut bisa menjadi tidak tepat sasaran karena tidak semua peserta mandiri di kelas tiga adalah kelompok masyarakat tidak mampu.
Menurut dia, jika memang masih ada masyarakat tidak mampu yang masuk dalam segmen peserta mandiri kelas tiga, mereka bisa langsung dimasukkan ke segmen peserta PBI. ”Dana subsidi bisa digunakan jika peserta aktif membayar. Lebih baik dana subsidi ini digunakan untuk menambah pembiayaan bagi peserta PBI sehingga masyarakat miskin tetap terjamin dan dana yang dialokasikan juga tetap diterima BPJS Kesehatan secara optimal,” tuturnya.
Direktur Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Fachmi Idris mengatakan, pemerintah telah berupaya memberikan dukungan bagi keberlanjutan program JKN-KIS. Setidaknya pemerintah telah menyiapkan anggaran untuk 132.600.906 perserta PBI yang terdiri dari 96,5 juta PBI dengan anggaran pemerintah pusat dan 36 juta perserta PBI dengan anggaran pemerintah daerah. Selain itu, dukungan lainnya juga diberikan melalui subsidi bagi peserta mandiri kelas tiga yang kini berjumlah sekitar21,8 juta peserta.
”Pemerintah sementara memang memutuskan untuk membiayai semua peserta mandiri kelas tiga. Secara bertahap nanti tahun 2021 subsidi akan berkurang. Di sisi lain, BPJS Kesehatan bersama Kementerian Sosial akan memastikan adanya pembenahan data. Jadi, kalau ada masyarakat mampu di kelas tiga bisa membayar secara penuh dan yang tidak mampu bisa masuk ke dalam peser PBI,” katanya.