Kenaikan Iuran Bukan Solusi Atasi Sengkarut BPJS Kesehatan
Setelah Mahkamah Agung membatalkan kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional, pemerintah kembali mengeluarkan aturan baru yang menyatakan akan menaikan iuran peserta mandiri, khususnya peserta kelas satu dan kelas dua.
Oleh
Deonisia Arlinta
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Setelah besaran iuran peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat dinaikkan pada Januari 2020, gugatan muncul sehingga putusan terkait kenaikan iuran tersebut dibatalkan. Namun belum genap satu bulan berjalan, pemerintah kembali mengeluarkan aturan baru yang menyatakan akan menaikan iuran peserta mandiri, khususnya peserta kelas satu dan kelas dua.
Kenaikan iuran peserta mandiri atau peserta bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) kelas satu dan kelas dua itu diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam aturan yang ditetapkan pada 5 Mei 2020 itu tertulis iuran peserta mandiri kelas satu akan disesuaikan menjadi Rp 150.000 dan kelas dua menjadi Rp 100.000 pada 1 Juli 2020.
“Perpres ini bisa dilawan lagi oleh masyarakat. Mereka tetap saja memiliki peluang untuk menggugat kenaikan ini ke Mahkamah Agung. Kan, repot sekali urusannya. Dinaikkan, lalu digugat. Gugatan menang, ganti perpres dan naikkan lagi. Nanti digugat lagi, mungkin menang. Lalu pemerintah ganti perpres, iuran dinaikkan lagi,” ujar Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Saleh Partaonan Daulay, di Jakarta, Rabu (13/5/2020).
Menurut dia, keputusan untuk menaikkan iuran pada segmen peserta mandiri ini bukan solusi untuk menyelesaikan masalah defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Banyak masalah lain lebih kompleks yang harus diselesaikan, seperti masalah pendataan kepesertaan, fraud dan kecurangan, pelayanan kesehatan belum merata, serta kepatuhan masyarakat dalam membayar iuran.
Koordinator Bidang Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menambahkan, kenaikan iuran peserta JKN-KIS merupakan keniscayaan yang harus dilakukan untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan. Namun, persoalan lebih fundamental untuk memastikan keberlanjutan program ini ialah perbaikan data kepesertaan.
Perpres ini bisa dilawan lagi oleh masyarakat. Mereka tetap saja memiliki peluang untuk menggugat kenaikan ini ke Mahkamah Agung. Kan, repot sekali urusannya.
“Pemerintah seharusnya bisa menyelesaikan akar masalah. Data sangat menentukan, namun dibiarkan tidak ter-update. Saya tidak melihat cleansing data dilakukan setiap bulan seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 76 tahun 2015,” tuturnya.
Timboel menambahkan, jika cleansing data pada data peserta penerima bantuan iuran (PBI) berjalan, masyarakat yang tidak mampu yang masuk di peserta mandiri kelas 3 bisa didaftarkan langsung ke segmen PBI. Sementara, peserta yang mampu tak perlu diberikan subsidi. Dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial pun mengatur pemerintah hanya menanggung iuran bagi warga miskin.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tertulis, besaran iuran peserta mandiri kelas 3 mulai Juli 2020 akan menjadi Rp 42.000. Namun, pemerintah akan memberikan bantuan subsidi Rp 16.500 sehingga peserta kelas tiga cukup membayar Rp 25.500. Subsidi ini akan diberikan sepanjang 2020, sementara mulai 2021 subsidi akan berkurang menjadi Rp 7.000 sehingga iuran yang perlu dibayar peserta menjadi Rp 35.000.
“Di tengah pandemi ini, pekerja informal yang banyak terdaftar di peserta mandiri kelas satu dan kelas dua dalam keadaan amat sulit ekonominya. Kondisi ini bisa memicu terjadi tunggakan karena besarnya kenaikan iuran yang diberlakukan. Masih banyak cara mengatasi defisit, bukan dengan menaikkan iuran apalagi di tengah resesi ekonomi saat ini,” kata Timboel.
Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf menuturkan, secara rinci jumlah peserta mandiri yang terdaftar dalam program JKN-KIS sebanyak 35.143.158 orang. Dari jumlah itu, sekitar 61 persen atau 21.641.470 orang masuk sebagai peserta mandiri kelas 3. Setidaknya, tiap bulan pemerintah akan memberi subsidi lebih dari Rp 346 miliar bagi semua peserta mandiri kelas tiga.
“Pemerintah telah menyiapkan anggaran yang cukup besar untuk menanggung subsidi bagi kelas tiga peserta mandiri. Pemerintah akan membayar Rp 16.500 per jiwa per bulan dari peserta kelas tiga segmen ini,” tuturnya.
Biaya surplus
Timboel menuturkan, dana jaminan sosial dalam program JKN-KIS seharusnya tetap bisa mengalami surplus tanpa harus menaikan iuran perserta mandiri. Berdasarkan hitungan yang dalam Rencana Kerja dan Anggaran Tahunun (RKAT) BPJS Kesehatan tahun 2020, target penerimaan yang bisa didapatkan BPJS Kesehatan sekitar Rp 137 triliun.
Namun, setelah ada putusan Mahkamah Agung yang membatalkan kenaikan iuran peserta mandiri, target penerimaan berubah jadi Rp 132 triliun. Jumlah penerimaan itu masih ditambah dengan Rp 3 triliun dari alokasi APBN untuk Covid-19 dan pajak rokok dari pemerintah daerah yang mencapai Rp 5 triliun.
Sementara itu dari analisa beban biaya, Timboel mengatakan, beban biaya pada 2019 sejumlah Rp 108 triliun. Jika ada kenaikan sekitar 10 persen pada 2020, beban biaya akan menjadi Rp 118,8 triliun. Dari beban itu akan bertambah jadi Rp 133,3 triliun apabila ditambah dengan utang BPJS Kesehatan ke rumah sakit pada 2019 sebesar Rp 15 triliun.
“Dari analisa biaya ini saja seharusnya BPJS bisa surplus di 2020 sebesar Rp 1,7 triliun. Itu pun surplus bisa lebih besar bila BPJS mau serius mengawasi fraud di rumah sakit dan mengawasi puskesmas dan klinik untuk menekan angka rujukan ke rumah sakit. Belum lagi kalau BPJS mampu menagih utang iuran dari peserta yang satu bulan nilainya Rp 3,4 triliun. Jadi tanpa harus dinaikkan iuran peserta mandiri, dana jaminan sosial JKN tetap bisa surplus,” ujarnya.