Pemulung Lebih Takut Kelaparan Ketimbang Virus Korona
Dulu, para pemulung leluasa blusukan ke kampung-kampung untuk memburu barang bekas. Kini, saat pandemi Covid-19, mereka sulit bergerak, sampah sedikit, harga jual hasil pulungan turun. Mereka bertahan dengan segala cara.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
·7 menit baca
Wabah Covid-19 telah memberikan dampak yang signifikan bagi semua elemen masyarakat, termasuk para pemulung yang menjadi salah satu kelompok masyarakat paling rentan terpapar virus. Perilaku higienisitas yang tidak bisa mereka terapkan karena harus bersentuhan dengan sampah atau barang bekas rumah tangga, lalu penghasilan juga turun drastis karena ketiadaan pihak yang membeli barang hasil ”buruan” mereka.
Waktu menunjukkan sekitar pukul 13.30, Sabtu (9/5/2020), Asep (45) berjalan lesu sembari memanggul karung setinggi 1,5 meter yang baru terisi kurang dari setengah kapasitas karung itu. Di dalam karung itu hanya terisi belasan botol plastik dan dua kardus bekas. Akibat sedikitnya barang yang bisa ia dapatkan, siang itu, Asep yang biasa berkeliling dengan berjalan kaki di sekitar wilayah Cinere, Depok, Jawa Barat, memilih untuk pulang lebih cepat daripada biasanya.
”Sudah sebulan terakhir barang susah saya dapatkan karena beberapa jalan di perumahan ditutup, jadi saya hanya berharap dari langganan yang biasa menyisihkan barang-barangnya untuk saya ambil. Kalau sudah terkumpul, saya juga kesulitan untuk menjualnya karena banyak bos (pengepul) yang tutup,” ujar Asep, bapak empat anak, sembari menyeka keringat di keningnya dengan masker kain yang ia gunakan untuk menutup mulut dan hidungnya.
Asep bersama istri dan empat anaknya tinggal di sebuah tempat tinggal berdinding dan beralaskan papan tripleks di wilayah perkampungan Cinere, Depok. Ia mengontrak rumah semipermanen itu dengan harga Rp 450.000 per bulan. Kawasan tempat tinggalnya merupakan wilayah yang ditinggali para pemulung yang kondisinya serupa dengan Asep dan keluarga. Di wilayah itu tinggal 25 kepala keluarga.
Kesulitan yang dialami Asep sekitar sebulan sejak wabah Covid-19 merebak di Tanah Air membuat jerih payahnya sehari-hari terasa sia-sia. Sudah ada lima karung penuh berisi botol plastik dan tumpukan ratusan botol plastik lain di sudut halaman rumahnya yang dibiarkan memenuhi pekarangan depan. Dalam kondisi normal, Asep biasa menjual botol plastik itu seharga Rp 2.000 per kilogram (kg), tetapi kini tidak ada pengepul yang membeli botol plastik.
Selain itu, botol kaca yang biasa digunakan untuk minyak wangi, juga tidak laku. Padahal, harga barang itu sudah turun dari Rp 800 per kg menjad Rp 500 per kg. Satu-satunya barang yang masih bisa dijual ialah kardus yang juga mengalami penurunan harga dari Rp 1.200 per kg menjadi Rp 800 kg. Namun, lanjut Asep, untuk mendapatkan kardus sangat sulit karena industri rumahan banyak yang tutup.
”Biasanya, kami bisa dapat Rp 30.000 sampai Rp 50.000 per hari, sekarang jumlah itu hanya bisa didapatkan setelah seminggu keliling. Untuk menyambung hidup, kami terpaksa menggunakan uang tabungan setahun sebanyak Rp 2,5 juta yang sebenarnya kami siapkan untuk mudik ke kampung di Rangkas Bitung, Banten,” kata Asep yang sering dibantu kedua anak tertuanya untuk memulung.
Kondisi keluarga Asep semakin sulit seiring anak sulungnya harus dirumahkan. Sang anak sejak tiga bulan lalu bekerja di industri boga rumahan dengan gaji Rp 500.000 per bulan. Akan tetapi, wabah Covid-19 membuat usaha itu tutup hingga waktu yang tidak ditentukan. Alhasil, uang tabungan itu menjadi satu-satunya harapan bagi keluarga Asep bertahan hidup, terutama untuk makan sehari-hari dan membayar biaya sewa tempat tinggalnya.
Kondisi serupa juga dialami Teteh (34), yang biasa memulung di kawasan perumahan dan perkampungan di wilayah Pagedangan dan Cicalengka, Tangerang, Banten. Sudah dua pekan barang bekas yang ia kumpulkan, seperti botol plastik, kardus, dan kemasan karton, masih tertahan di tempat tinggalnya. Biasanya, ujarnya, setiap satu minggu pengepul akan datang dan mengambil barang bekas itu.
Dari hasil menjual barang bekas itu, ia mendapatkan sekitar Rp 50.000 per minggu. Uang itu ia gunakan untuk makan bersama kedua anak dan suaminya. Teteh menjadi tulang punggung keluarga itu karena sang suami sakit sehingga tidak bisa beraktivitas normal, sedangkan anak sulungnya harus diberhentikan dari pekerjaannya karena tempat ia bekerja ditutup akibat Covid-19.
”Sekarang semakin susah karena harga barang bekas turun dan tidak ada yang mau ambil. Akhirnya, saya menerima kerjaan dari tetangga dan langganan untuk bersih-bersih rumah,” kata Teteh yang bermukim di Kampung Cicalengka, Tangerang.
Tak hanya Asep dan Teteh, Sri (54) juga harus mengalami masa yang paling sulit sejak mulai mengumpulkan barang bekas di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, pada 1989. Pasalnya, Sri kesulitan menjual barang yang telah ia kumpulkan. Di kondisi normal, ia bisa mendapatkan hingga 2 kg barang bekas per hari dengan pemasukan uang hingga Rp 50.000.
Namun, sejak dua bulan terakhir, tidak ada lagi pengepul yang mau menerima barang bekas yang ia kumpulkan dari gunungan sampah di TPST Bantargebang. Satu-satunya barang bekas yang masih bisa dijual adalah botol kaca yang dihargai Rp 800 per kg. Harga itu turun Rp 100 dibandingkan dalam keadaan normal.
”Kami tidak bisa berharap dari mulung lagi di atas (gunungan sampah). Saya dan anak saya mulai jualan jajanan dan es di depan tempat tinggal untuk kebutuhan hidup sehari-hari,” kata Sri yang tinggal di kawasan Ciketing Udik, Bekasi.
Di dalam tempat tinggal yang berbahan papan tripleks berukuran 3 meter x 5 meter, Sri tinggal bersama suami dan tiga anaknya. Selain Sri, suami dan anak-anaknya juga sehari-hari mengumpulkan sampah di kawasan penampungan sampah terbesar di Indonesia itu.
Adapun untuk menjaga kebersihan diri, Asep dan Teteh yang sehari-hari berkeliling di perumahan warga selalu berupaya mencuci tangan ketika melewati rumah yang menyediakan air dan sabun cuci tangan. Mereka juga hampir setiap hari menerima pemberian masker kain dari warga perumahan.
Sebelumnya, Asep dan Teteh juga sering menutup hidup dan mulutnya dengan kain. Namun, mereka mengakui sulit untuk benar-benar menjaga kebersihan tangan karena harus mengais sampah.
Di sisi lain, Sri juga selalu menggunakan penutup hidup dan mulut karena harus ”melawan” aroma tak sedap di TPST Bantargebang. Ia mengungkapkan, dirinya juga sering menemukan masker dan sarung tangan.
”Dulu kami selalu bawa pulang atau pakai langsung sarung tangan dan masker yang masih kelihatan bagus. Kalau sekarang, kami lebih waspada jadi masker dan sarung tangan yang didapatkan di tumpukan sampah dicuci dulu dan direndam di air sebelum digunakan,” kata Sri.
Untuk menyambung hidup masyarakat yang terdampak Covid-19, pemerintah telah mengeluarkan dana bantuan sosial. Sri menjadi segelintir pemulung di TPST Bantargebang yang telah menerima bantuan sembako. Sejak Covid-19, ia baru menerima satu kali bantuan lewat ketua rukun tetangga (RT) berupa 5 kg beras, 15 mi instan, 1 kaleng ikan sarden, dan 1 kg minyak goreng.
”Bantuan itu tidak cukup untuk hidup seminggu, mas. Kami sadar belum semua pemulung di Bantargebang ini dapat bantuan, jadi yang sudah dapat bantuan akan saling berbagi,” kata Sri.
Adapun Asep dan Teteh baru didata oleh ketua RT di lingkungan mereka. Bantuan sembako yang mereka dengar belum pernah mereka terima. ”Sudah sebulan lalu ketua RT datang untuk data kartu keluarga, tetapi sampai sekarang belum ada yang datang lagi,” kata Asep.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pelapak dan Pemulung Indonesia (APPI) Bagong Suyoto, kondisi pemulung semakin sulit di tengah pandemi karena harga barang yang terus turun bahkan hingga 50 persen. Selain itu, bekerja di kawasan tercemar sampah serta hidup dalam kondisi tempat tinggal yang padat dan kumuh membuat ketentuan jarak sosial mustahil diterapkan.
”Sulit sekali untuk meminta mereka (pemulung) berdiam di gubuk mereka untuk alasan kesehatan. Tidak bekerja satu hari saja akan menyulitkan mereka untuk membeli kebutuhan pokok, apalagi saat ini barang bekas juga sulit dijual,” kata Bagong.
Ia memperkirakan terdapat sekitar 1 juta pemulung di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Khusus di TPST Bantargebang terdapat 6.000 pemulung. Bagong mengungkapkan, pekan lalu sudah ada bantuan dari pemerintah yang hadir di Bantargebang lewat ketua RT, tetapi bantuan itu hanya untuk 1.000 orang pemulung.
Oleh karena itu, Bagong berharap pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadikan para pemulung sebagai prioritas dalam kebijakan jaring pengaman sosial. Ia menekankan, para pemulung itu sudah mengharapkan bantuan dari pemerintah agar mereka dapat merasakan perhatian dari negara terhadap kondisi mereka.
”Dibandingkan Covid-19, keluarga pemulung lebih takut mengalami busung lapar akibat kelaparan,” tuturnya.