Video serial kisah penyintas Covid-19 yang berhasil sembuh dengan segala perjuangan yang tidak mudah. Virus ini mengubah total cara pandang dan kehidupan mereka selamanya.
Oleh
KOMPAS
·3 menit baca
Safitri, menolak menyerah dengan keadaan. Ia berjuang keras mengeluarkan ibunya, Ken Subarliyah, yang terisolasi di ruang kontainer di sebuah rumah sakit di Jakarta. Sejak diindikasi terinfeksi virus SARS-CoV-2, ibunya harus menjalani isolasi sebagai pasien dalam pengawasan (PDP). Namun, beberapa rumah sakit saat itu masih gagap menghadapi pandemi. Belum lagi persoalan fasilitas. Tak semua rumah sakit memiliki ruang isolasi memadai bagi pasien penyakit menular seperti Covid-19.
Terasing di ruang isolasi bukan sebuah pilihan. Namun, protokol kesehatan mengharuskan pasien yang terindikasi Covid-19 ”diasingkan” agar tak menularkan kepada orang lain. Berhari-hari terasing di ruang isolasi, membuat Ken merasa terbuang. Kondisi mentalnya pun langsung menurun drastis.
Perjuangan Safitri mewakili sebagian besar dari perasaan kita. Sebuah ungkapan nyata cinta seorang anak untuk ibunya. Perjuangan untuk menumbuhkan harapan, mengembalikan kehidupan. Kesabaran dan ketulusanlah yang menjadi kunci keberhasilan Safitri melewati ”drama” pandemi yang pertama kalinya ia alami.
Safitri bukan satu-satunya yang mengalami ”drama” pandemi. Penyintas Covid-19 asal Makassar, Sulawesi Selatan, Chika Mailoa, menghadapi persoalan yang tak jauh berbeda. Dua kali positif Covid-19, bukan persoalan mudah bagi ibu dua anak ini. Hasil tes usap (swab), Chika dan ibunya positif Covid-19 dan harus menjalani isolasi di rumah sakit.
Tidak ada pilihan lain baginya selain menguatkan diri. Turbulensi batin ini dengan sadar Ia pahami. Chika tidak saja berjuang untuk sembuh, ia harus menyelamatkan mental kedua orangtuanya yang mulai menurun. Belum lagi ia harus mengelola perasaan dan pikiran bagi dua buah hatinya yang telah lama tersekat jarak.
Beruntunglah, situasi sulit itu tidak menjadi mimpi buruk bagi Chika. Justru sebaliknya, dukungan dari lingkungan sosial berdatangan tanpa dikira. Uluran tangan, doa dan pesan-pesan yang menguatkan, kerap diterimanya sebagai obat penyemangat yang jauh lebih ampuh dari suntikan vaksin.
Menjauhkan diri dari tekanan memang obat yang paling ampuh melawan Covid-19, setidaknya untuk menggandakan kekebalan tubuh, selama vaksin belum ditemukan. Prinsip ini pula yang dipegang erat-erat oleh Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi. Positif Covid-19 dan tak sadarkan diri selama 14 hari.
Tersadar dari ”tidur panjang” Budi Karya memahami situasi yang dialaminya merupakan sebuah pesan perenungan. Pesan yang melarungkan batinnya pada sebuah tujuan untuk mendekatkan diri pada keluarga dan suatu perbuatan baik. Dengan segera ia bangkit, melepaskan semua tekanan dan menjalani sisa pemulihan dengan penuh sukacita.
Terlepas dari jerat maut, Covid-19 dialami pula penyintas lainnya, Bernardus Djonoputro, atau yang akrab dipanggil Bernie. Kondisi fisiknya sempat kritis dan masuk ruang perawatan instensif. Ia tak sadarkan diri selama empat jam, dan dokter mendiagnosis peluang hidupnya berkisar 50:50. Tubuhnya menolak selang ventilator, napasnya semakin pendek.
Namun, lagi-lagi, semangat hidup Bernie begitu tinggi. Meski napasnya pendek akibat paru-parunya berkabut, ia merasakan kehidupan itu masih bersamanya. Kali ini, ia lolos dari jerat Covid-19, meski tubuhnya sempat dibuat lemah tak berkutik.
Kisah para penyintas Covid-19 ini hanyalah empat dari ribuan pasien yang dirawat ataupun positif terinfeksi virus SARS-CoV-2 di seluruh Nusantara. Pandemi memang belum menampakkan ujungnya, tetapi cuplikan kisah mereka bisa menjadi jejak penyemangat yang baik untuk mengajari cara bertahan dari serangan virus yang mematikan.