Kurva Epidemi Tidak Akurat Persulit Perancangan Penanganan Wabah
Tidaklah tepat menggunakan data kurva kasus terkonfirmasi harian yang disampaikan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 semata-mata untuk menggambarkan tingkat penyebaran pandemi tersebut di Indonesia.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rendah dan lambatnya tingkat pengujian menjadi penyebab utama penampilan data kurva epidemi di Indonesia tidak representatif terhadap kondisi aktual. Diperlukan kehati-hatian agar langkah yang diambil selanjutnya oleh pemerintah tidak keliru.
Tidaklah tepat menggunakan data kurva kasus terkonfirmasi harian yang disampaikan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 semata-mata untuk menggambarkan tingkat penyebaran pandemi tersebut di Indonesia.
Tanggal pengumuman kepada publik yang menjadi basis waktu grafik ini tidak menunjukkan waktu sesungguhnya infeksi Covid-19 setiap individu terjadi pada tanggal tersebut. Waktu tersebut hanya menunjukkan berapa jumlah sampel positif yang selesai diuji pada hari tersebut.
Misalnya, pada Senin (11/5/2020), disebut ada 233 kasus positif terkonfirmasi. Namun, tidak dapat diketahui secara persis kapan 233 individu tersebut diambil sampelnya. Terlebih lagi kapan mereka terinfeksi.
”(Angka) yang dimumkan itu hanyalah laporan hasil laboratorium, bukan perkembangan kasus,” kata epidemiolog dan pakar biostatistik Universitas Indonesia, Pandu Riono, saat dihubungi dari Jakarta, Senin (11/5/2020).
Pandu menyampaikan, menurut dia, ada jeda antara pengambilan sampel dan publikasi yang cukup panjang dan bervariasi, dari 2 hari hingga seminggu atau lebih.
Secara terpisah, pengurus pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Syahrizal Syarif mengungkapkan bahwa ia mendapatkan laporan bahwa penumpukan hasil lab dapat terjadi hingga sepuluh hari.
”Jadi, tidak bisa jadi patokan kapan penyebarannya naik atau turun,” kata Syahrizal yang juga epidemiolog di Fakultas Kesehatan Masyarakat UI.
(Angka) yang dimumkan itu hanyalah laporan hasil laboratorium, bukan perkembangan kasus
Para peneliti dari Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU) melalui The Conversation, pada akhir pekan lalu, juga telah menyatakan hal yang sama bahwa jumlah kasus terkonfirmasi harian tidak bisa dipahami sebagai tingkat penyebaran setiap harinya.
”Idealnya, kurva epidemi menggunakan patokan tanggal orang terinfeksi, bukan tanggal mulai bergejala, apalagi tanggal kasus dilaporkan oleh otoritas,” tulis Elyazar, salah seorang peneliti EOCRU, bersama Karina Dian Lestari, Lenny Lia Ekawati, dan Rosa Nora Lina.
Namun, untuk mendapatkan waktu terinfeksi, perlu ada penyelidikan epidemiologi. Idealnya, penyelidikan semacam ini sudah dilakukan oleh Kemenkes pada kasus-kasus pertama di Indonesia. Setiap kasus positif harus ditelusuri kapan dan di mana sekiranya individu tersebut terpapar virus.
Namun, karena penyelidikan epidemiologi tersebut membutuhkan sumber daya yang besar, dapat digunakan patokan waktu lain, seperti waktu bergejala atau menggunakan tanggal pengambilan sampel.
Sayangnya, hingga kini, pemerintah tidak menggunakan kedua indikator tersebut untuk setiap kasus.
Tingkat pemeriksaan yang rendah
Tingkat pemeriksaan yang rendah juga mengurangi integritas kurva epidemi milik Gugus Tugas. Semakin banyak pemeriksaan terhadap orang yang berisiko tertular Covid-19, maka semakin baik kurva epidemi menjelaskan realitas yang sedang terjadi.
Pandu menilai, Gugus Tugas seharusnya bisa meningkatkan jumlah pengujian dari kondisi saat ini.
Berdasarkan data KawalCovid19 yang mengacu pada Kementerian Kesehatan, selama sepekan terakhir jumlah tes harian bervariasi berkisar 3.078-9.301 kasus per hari dengan rata-rata 6.356 kasus per hari.
Idealnya, menurut Pandu, jumlah tes harus lebih banyak daripada angka pasien dalam pengawasan (PDP) dan angka orang dalam pemantauan (OD). Hal ini untuk mengurangi adanya antrean penumpukan uji lab.
”Kemarin ada lonjakan sampai 500 kasus per hari itu dari penumpukan,” kata Pandu.
Apabia jumlah tes memadai, menurut Syahrizal, hasil pengujian per hari tidak akan stagnan di angka 300-500 saja. Jumlahnya bisa jadi lebih banyak, tetapi ketika penyebaran menyempit, angkanya akan juga turun.
”Kurva kita tidak akan memuncak karena angka maksimalnya itu dibatasi oleh kemampuan tes kita. Angka kasus per hari itu gambaran kemampuan deteksi kita, bukan transmisi di lapangan,” kata Syahrizal.
Peneliti biostatistik EOCRU, Iqbal Elyazar, bersama para peneliti EOCRU lainnya, sebagaimana ditulis di The Conversation, pun berpendapat sama. Jumlah tes di Indonesia masih terlalu sedikit untuk bisa menggambarkan kondisi di lapangan dengan akurat.
Ia membandingkan jumlah tes Indonesia dengan Vietnam, sesama negara berkembang tetapi sudah mengklaim berhasil mengendalikan Covid-19.
Kurva kita tidak akan memuncak karena angka maksimalnya itu dibatasi oleh kemampuan tes kita. Angka kasus per hari itu gambaran kemampuan deteksi kita, bukan transmisi di lapangan.
Vietnam secara rerata telah memeriksa 2,2 orang per 1.000 penduduknya dengan tes polymerase chain reaction (PCR). Sementara Indonesia hanya 0,2 orang per 1.000.
Dengan parameter lain, untuk menemukan 1 kasus positif Covid-19, Vietnam melakukan 8.000 tes. Sementara Indonesia, dari 7 orang yang diperiksa, 1 kasus positif langsung ditemukan.
”Dengan kata lain, (di Indonesia) masih banyak orang yang terinfeksi, tetapi belum diperiksa,” kata Iqbal.
Keterbukaan data
Pandu, yang juga telah membuat berbagai pemodelan penyebaran Covid-19 di Indonesia, memahami bahwa data yang dimiliki Indonesia tidaklah sempurna.
Oleh karena itu, penting bagi perancang kebijakan untuk tidak serta-merta menelan data ini. Ketidaksempurnaan tersebut perlu dipahami.
”Sebagai epidemiolog, kita harus bisa memanfaatkan data yang terbatas ini dan memikirkan cara strategis, supaya kita tetap bisa menggambarkan kurva pandemi,” kata Pandu.
Namun, alangkah baiknya jika pemerintah sebagai sumber data dapat mengeluarkan data dan kurva yang lebih akurat. EOCRU berharap pemerintah dapat mengeluarkan kurva epidemi yang akurat untuk setiap provinsi dan kabupaten/kota.
Menurut Iqbal, data tersebut sudah tersedia di rekam medis serta sistem informasi fasilitas kesehatan dan laporan pemeriksaan laboratorium yang siap dianalisis.
Pemerintah perlu secara terbuka dan transparan menyampaikan data jumlah pemeriksaan PCR dan lamanya waktu pemeriksaan untuk setiap provinsi dan kabupaten/kota untuk menaikkan kepercayaan publik terhadap kurva epidemi yang akan dikeluarkan pemerintah.
”Kita semua tentu ingin pandemi ini segera berakhir. Kabar baik yang ditunjang dengan alat ukur yang valid, akurat, dan tepercaya, akan memberikan harapan. Hal itulah yang kini mungkin absen di Indonesia,” kata Iqbal.
Peningkatan jumlah tes juga menjadi langkah yang harus diprioritaskan dan tidak bisa ditawar, kata Syahrizal. Tanpa data tidak ada patokan yang bisa digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan.