Bisa Picu Gelombang Kedua Epidemi, Hindari Relaksasi PSBB Prematur
Relaksasi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang prematur dapat memicu gelombang kedua epidemi. Seharusnya pelonggaran pembatasan sosial baru bisa dilakukan ketika sudah tidak ada penambahan kasus harian.
JAKARTA, KOMPAS — Opsi untuk memulai relaksasi atau pelonggaran pembatasan sosial berskala besar sedang dipertimbangkan pemerintah. Salah satu opsi adalah pelonggaran dimulai 1 Juni 2020. Padahal, sebelum membahas relaksasi, banyak hal masih menjadi pekerjaan rumah untuk memperlambat proses penyebaran Covid-19 di Indonesia.
Relaksasi pembatasan sosial yang prematur dapat memicu gelombang kedua epidemi.
Beredar di media sosial dalam dua hari terakhir sejak Kamis (7/5/2020) sebuah kajian awal skema skenario pemulihan ekonomi yang disiapkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto tampak sebagai presenter skema tersebut dalam sebuah foto layar konferensi video.
Dalam skema tersebut, terlihat bahwa ada lima fase relaksasi atau pelonggaran kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang dimulai pada 1 Juni 2020.
Fase 1 (dimulai pada 1 Juni)
Dalam fase ini, industri dan jasa bisnis ke bisnis (B2B) dapat beroperasi dengan social distancing. Toko, pasar, dan mal belum boleh beroperasi kecuali untuk toko penjual masker dan alat kesehatan. Sementara itu, kegiatan masyarakat masih harus dibatasi; olahraga luar ruangan belum diperbolehkan.
Fase 2 (dimulai 8 Juni)
Dalam fase ini, toko, pasar, dan mal diperbolehkan untuk beroperasi kecuali sektor usaha dengan kontak fisik, seperti salon dan spa. Usaha yang beroperasi diwajibkan untuk mengikuti protokol pembatasan jarak. Jumlah pelanggan di dalam toko pun harus dibatasi agar tidak terlalu penuh.
Fase 3 (dimulai 15 Juni)
Dalam fase ini, toko, pasar, dan mal tetap beroperasi seperti pada fase 2. Namun, pembukaan salon, spa dan sektor usaha lainnya dapat dipertimbangkan dengan protokol kesehatan yang ketat.
Pembukaan museum dan pertunjukan budaya diperbolehkan, tetapi tidak boleh ada kontak fisik. Sekolah mulai dibuka, tetapi dengan sistem shift sesuai dengan jumlah kelas. Dalam fase ini, kegiatan olahraga luar ruangan dapat dilakukan.
Fase 4 (dimulai 6 Juli)
Dalam fase ini, pembukaan kegiatan ekonomi seperti pada fase sebelumnya. Namun, akan ada evaluasi tambahan untuk menentukan pembukaan sejumlah sektor usaha lainnya. Perjalanan ke luar kota dapat dilakukan dengan pembatasan jumlah penerbangan.
Fase 5 (20 dan 27 Juli)
Dalam fase ini, evaluasi untuk fase 4 dilakukan. Kegiatan ekonomi dan kegiatan sosial berskala besar dapat dipertimbangkan untuk dilakukan.
”Akhir Juli-awal Agustus diharapkan sudah membuka seluruh kegiatan ekonomi. Selanjutnya akan dilakukan evaluasi berkala, sampai vaksin bisa ditemukan disebarluaskan,” demikian yang tertulis dalam skema tersebut.
Baca juga : Puluhan Vaksin Covid-19 dalam Pengembangan, Kapan Akan Siap?
Sekretaris Kemenko Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan, memang betul skema itu adalah hasil kajian dari pihaknya. Skema tersebut merupakan kajian awal kebijakan pemerintah dan menjadi alternatif usulan dan akan segera dimatangkan, lalu diumumkan kepada masyarakat.
Kajian ini, lanjut Susiwijono, adalah bentuk antisipasi upaya yang diperlukan pascapandemi. ”Dalam waktu dekat, Kemenko Perekonomian akan melakukan finalisasi atas kajian tersebut dan disampaikan kepada masyarakat,” ujarnya.
Masih banyak tugas
Kepala Departemen Epidemiologi Universitas Indonesia Tri Yunis Miko mengatakan, seharusnya pelonggaran pembatasan sosial baru bisa dilakukan ketika sudah tidak ada penambahan kasus harian.
Padahal, menurut Tri, Indonesia saat ini masih pada posisi kurva meningkat, belum melandai atau bahkan menurun. ”Nol tiap harinya. Kalau masih di atas sepuluh saja, itu tidak aman. Wabah bisa meningkat lagi,” katanya.
Jumlah testing yang dilakukan Indonesia juga masih sangat rendah. Secara total, menurut agregator data Ourworldindata.org, Indonesia baru menguji 0,34 per 1.000 orang. Korea Selatan melakukan sebanyak 12,54 per 1.000 orang, sedangkan Malaysia pada angka 6,86 per 1.000 orang.
Menurut Tri, idealnya, otoritas menguji setiap kontak dari setiap kasus positif. Secara rata-rata, satu kasus positif bisa bersentuhan dengan 10-40 orang.
Hingga Jumat, 8 Mei, sudah 13.112 kasus positif yang terkonfirmasi. Berarti minimal, menurut dia, seharusnya pemerintah sudah menguji paling tidak sepuluh kali lipat dari angka tersebut: 130.000. Data terbaru, pemerintah baru menguji 103.361 orang.
”Iya kalau cuma bersentuhan dengan 10 orang. Kalau 30 bagaimana? Bisa 300.000 orang lebih,” kata Tri.
Selain itu, menurut Tri, seharusnya ada beberapa indikator yang bisa dipantau untuk menentukan apakah Indonesia sudah melakukan upaya yang cukup guna memperlambat penyebaran virus.
Sejumlah indikator tersebut antara lain tingkat kepatuhan isolasi dari lebih dari 13.000 kasus positif, tingkat pelacakan kontak yang dilakukan petugas, berapa persen orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP) yang mematuhi isolasi mandiri, hingga tingkat pergerakan masyarakat dalam PSBB.
”Kalau ternyata dari indikator-indikator ini kepatuhannya kurang dari 50 persen, ya, berarti penyebaran akan bertambah,” ujar Tri.
Penerapan pembatasan sosial yang terlalu singkat atau dicabut secara prematur dinilai tidak akan dapat mengatasi penyebaran wabah dengan tuntas. Bahkan, selepas pencabutan pembatasan sosial yang prematur dapat memunculkan puncak kasus kedua.
Penelitian yang dilakukan oleh Kiesha Prem, Yang Liu, dan kawan-kawan di Pusat Pemodelan Matematika Penyakit Infeksi (CMMID) University of London menunjukkan bahwa kebijakan lockdown di Wuhan telah secara efektif membuat kurva penularan lebih landai.
Namun, pencabutan kebijakan pembatasan sosial secara prematur justru akan memperumit keadaan. Pencabutan prematur akan memicu munculnya puncak kedua penyebaran wabah.
Baca juga : PSBB 14 Hari di Jakarta Tak Akan Cukup Hentikan Wabah Covid-19
”Kalau pembatasan ini dicabut pada Maret, puncak kedua diproyeksikan akan muncul pada akhir Agustus. Kejadian ini dapat dihindari dan ditunda lebih lama hingga dua bulan apabila pembatasan baru dicabut pada April,” tulis Prem dan Liu dalam artikelnya pada jurnal medis The Lancet yang diterbitkan pada 25 Maret 2020.
Tiga fase AS
Beberapa negara pun sudah menyiapkan exit strategy dari lockdown. Pemerintah Amerika Serikat juga menyiapkan rencana ini dalam tiga fase pembukaan kembali lockdown.
Dalam panduan yang disebut Opening Up America Again atau Membuka Kembali Amerika, Presiden Donald Trump meluncurkan tiga fase pelonggaran lockdown yang memungkinkan negara bagian dan otoritas lokal membuka kembali kegiatan ekonomi, sekaligus menjaga kesehatan warga.
Dalam dokumen yang diluncurkan pada 16 April 2020 itu, setiap negara bagian atau wilayah yang berkeinginan untuk memulai pelonggaran lockdown harus terlebih dahulu memenuhi kriteria transisi untuk masuk dalam fase pelonggaran.
Rangkaian kriteria ini disebut gating criteria atau kriteria pembatas. Setiap transisi antarfase akan menggunakan kriteria ini sebagai indikator dan prasyarat.
Salah satu kriteria adalah penurunan jumlah laporan pasien dengan gejala mirip flu dan Covid-19 selama 14 hari berturut-turut. Kedua, terjadinya penurunan jumlah kasus positif Covid-19 juga selama 14 hari berturut-turut. Panduan ini tidak menggunakan tanggal yang spesifik.
Salah satu kriteria adalah penurunan jumlah laporan pasien dengan gejala mirip flu dan Covid-19 selama 14 hari berturut-turut. Kedua, terjadinya penurunan jumlah kasus positif Covid-19 juga selama 14 hari berturut-turut. Perlu diperhatikan, panduan ini tidak menggunakan tanggal yang spesifik.
Apabila seluruh persyaratan terpenuhi, pemerintah negara bagian ataupun otoritas lokal kota baru bisa masuk ke fase pertama pelonggaran.
Fase satu
Fase satu ini memperbolehkan individu yang sehat untuk bekerja. Namun, perusahaan tetap diminta sebisa mungkin menggunakan skema kerja dari rumah. Namun, kelompok masyarakat rentan diminta untuk tetap berada di rumah. Masyarakat juga diminta untuk tidak berkerumun lebih dari 10 orang.
Dalam fase pertama ini, sekolah juga belum boleh beroperasi. Kunjungan ke panti jompo atau rumah sakit juga masih dilarang. Restoran, bioskop, dan rumah ibadah diperbolehkan beroperasi dengan pemberlakuan pembatasan jarak yang ketat.
Pemerintah negara bagian dan otoritas lokal diperbolehkan untuk melanjutkan ke fase kedua asalkan memenuhi gating criteria atau kriteria pembatas dan tidak ada rebound kasus.
Fase dua
Dalam fase dua, masyarakat rentan masih diminta untuk tetap di rumah. Sementara warga lainnya diperbolehkan beraktivitas normal asal menghindari untuk berkerumun lebih dari 50 orang.
Sekolah mulai dapat dibuka dalam fase ini. Restoran dan bioskop dapat beroperasi dalam protokol pembatasan jarak yang lebih longgar.
Fase tiga
Apabila rebound gelombang tidak terjadi dan memenuhi kriteria pembatas lagi, pelonggaran dapat dilanjutkan ke fase terakhir, fase tiga. Dalam fase ini, masyarakat rentan dapat memulai aktivitas normal, tetapi harus meminimalisasi kondisi dengan kerumunan yang padat.
Tempat-tempat keramaian diperbolehkan beroperasi dengan pembatasan sosial ringan. Perkantoran dapat memulai kondisi bekerja yang normal.
Uji universal mingguan
Sementara itu, di Inggris, sebanyak 34 pakar kesehatan masyarakat dan epidemiolog dari berbagai perguruan tinggi dan lembaga riset mengirimkan surat terbuka kepada pemerintahan Perdana Menteri Boris Johnson untuk mempertimbangkan skema uji universal mingguan (universal weekly testing).
Pada prinsipnya, seluruh penduduk diuji sepekan sekali. Apabila di satu wilayah seluruh penduduknya menunjukkan hasil negatif, lockdown bisa langsung dihentikan dengan segera di wilayah tersebut.
Dari kalkulasi yang dilakukan, total biaya yang dibutuhkan adalah 14 miliar pound sterling atau sekitar Rp 258,96 triliun per tahun untuk melakukan universal weekly testing ini kepada 67 juta penduduk negara tersebut.
”Ini tidak seberapa dibandingkan dampak ekonomi yang terjadi akibat lockdown,” tulis Julian Peto dan kawan-kawan. Peto adalah profesor epidemiologi dari London School of Hygiene and Tropical Medicine, Inggris.
Untuk diketahui, pada pertengahan Maret lalu, Pemerintah Inggris sepakat untuk mengucurkan bail out sebesar 350 miliar pound sterling guna menyelamatkan ekonomi negara itu.