Virus korona baru penyebab Covid-19 yang bersirkulasi di Indonesia telah bermutasi dari leluhurnya di Wuhan, China. Informasi tentang mutasi virus ini penting untuk menyusun diagnostik, molekuler, ataupun antibodi.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Virus korona baru penyebab Covid-19 yang bersirkulasi di Indonesia telah bermutasi dari leluhurnya di Wuhan, China. Tiga spesimen virus yang berhasil diurutkan keseluruhan genomnya oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman ini juga menunjukkan bahwa virus ini telah beredar di sejumlah negara lain sebelum tiba di Indonesia.
Data urutan keseluruhan genom (full genome) SARS-CoV-2 dari tiga isolat dari pasien di Indonesia telah didaftarkan Eijkman di platform Global Initiative on Sharing All Influenza Data (GISAID), situs daring yang menjadi wadah bagi para ilmuwan di seluruh dunia menyimpan dan berbagi informasi tentang virus yang tengah mewabah, sejak awal pekan ini.
”Dari tiga sampel tersebut, secara evolusi, semua transmisinya berasal dari China dan bermutasi sepanjang migrasinya sebelum tiba di Indonesia. Sama seperti manusia, virus terus berevolusi. Tapi bedanya, virus berevolusi jauh lebih cepat dibandingkan manusia,” kata Pradiptajati Kusuma, peneliti postdoktoral dari Lembaga Eijkman, di Jakarta, Kamis (7/5/2020).
Dari tiga sampel tersebut, secara evolusi, semua transmisinya berasal dari China dan bermutasi sepanjang migrasinya sebelum tiba di Indonesia. Sama seperti manusia, virus terus berevolusi.
Berdasarkan analisis GISAID, Pradiptajati menyimpulkan, tiga sampel virus tersebut mengalami kisah perjalanan berbeda. Untuk sampel EIJK2444, virus dipastikan pernah bermigrasi dari China, menuju Australia, lalu ke Jepang, sebelum ke Indonesia. Untuk sampel EIJK0317, virus bermigrasi dari China, menuju Inggris, kemudian Amerika Serikat, Uni Emirat Arab sebelum tiba di Indonesia. Virus ini sudah ada di Indonesia sejak awal Maret lalu.
Adapun untuk sampel EIJK0141, awalnya berjalan dari China, menuju Inggris, kemudian Amerika Serikat, dan berakhir di Indonesia. ”Ketiga virus ini kemungkinan sudah ada di Indonesia sejak akhir Februari atau awal Maret 2020,” ujarnya.
Sebagai catatan, Lembaga Eijkman baru terlibat melakukan pemeriksaan Covid-19 sejak minggu kedua Maret 2020. Menurut Pradiptajati, untuk melihat kapan Covid-19 sudah beredar di Indonesia, harus melihat sampel-sampel lain, terutama yang diperiksa lebih awal oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan.
”Apabila sampel dari pasien-1 di Indonesia bisa diurutkan genomnya, ini bisa menjadi patokan awal, termasuk untuk diketahui apakah saat itu sudah terjadi penularan domestik atau impor dari luar,” ujarnya.
Kepala Lembaga Biologi Eijkman Amin Soebandrio mengatakan, dari kajian awal, SARS-CoV-2 yang ada di Indonesia tidak masuk dalam tiga kelompok besar yang dipetakan sebelumnya oleh GISAID. ”Masuknya kategori other (lain) sehingga kemungkinan ada kelompok baru dari Asia Tenggara. Ada kemungkinan terjadi mutasi ketika di Indonesia atau juga di perjalanan,” ujarnya.
Kajian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui apakah hal itu memengaruhi struktur protein virus tersebut dan fungsinya. ”Walaupun sudah ada kajian di luar ada strain virus korona lebih mematikan dibandingkan yang lain, tetapi kita belum tahu yang ada di Indonesia ini,” katanya.
Menyusun diagnostik
Informasi tentang mutasi virus penting untuk menyusun diagnostik, baik molekuler maupun antibodi, selain juga dalam mendesain vaksin. ”Seperti kita ketahui, ada beberapa virus amat mudah bermutasi, misalnya virus influenza, sehingga vaksinnya harus diperbarui tiap enam bulan sekali. Kita belum tahu kecepatan mutasi virus korona ini. Namun, jika seperti influenza, akan merepotkan,” kata Amin.
Selain akan melakukan pengurutan keseluruhan genom sejumlah sampel lain, menurut Amin, dibutuhkan data tentang perjalanan klinis pasien, termasuk rentang usia yang bersangkutan. Untuk tahu karakter virusnya, perlu melihat kaitannya dengan perjalanan penyakitnya, seberapa cepat menjadi berat atau sebaliknya, apakah dampaknya ringan dan bisa sembuh sediri.
Amin menambahkan, dampak infeksi Covid-19 ini sangat dipengaruhi dosis keterpaparannya, karakter virus atau virulensinya, dan kondisi pasien. ”Rumusnya dosis dikali virulensi dibagi kekebalan,” katanya.
Dia mencontohkan, sekalipun seseorang tidak memiliki penyaki penyerta, tetapi jika tiap hari terpapar dengan virus yang memiliki virulensi tinggi, seseorang bisa terdampak parah, bahkan menyebabkan kematian. Kelompok berisiko ini, misalnya, tenaga kesehatan yang merawat pasien Covid-19 ataupun orang-orang yang bekerja di dalam ruangan tertutup dengan orang yang telah terinfeksi sebelumnya.