Pergi Sunyi dalam Ketidakpastian
Ratusan jenazah dikuburkan dalam sunyi. Perjalanan terakhir mereka ke peristirahatan terakhir hanya ditemani beberapa petugas berpakaian hazmat.
Jenazah A (60), mantan pejabat salah satu lembaga negara di Jakarta yang meninggal pada Selasa (24/3/2020), diantar langsung oleh petugas yang mengenakan alat pelindung diri lengkap dari rumah sakit di Jakarta Selatan menuju Tempat Pemakaman Umum Pondok Ranggon, Jakarta Timur.
Tidak lebih dari empat jam setelah kematiannya, jenazah A sudah disemayamkan di liang lahad sedalam 1,5 meter. Selain berbalut kafan, tubuhnya juga dibungkus dan ditempatkan di dalam material tahan air. Hal ini sesuai dengan protokol penanganan jenazah pengidap Covid-19.
U, saudara kembar A, bulan lalu mengungkapkan, A memang menjadi pasien terduga pengidap Covid-19. Beberapa hari sebelum meninggal, A menunjukkan gejala terinfeksi virus SARS-CoV-2, di antaranya demam dan sesak napas.
Hasil pemeriksaan rontgen pun memperlihatkan flek atau infeksi pada paru-parunya. Meski belum ada kepastian tubuhnya terinfeksi virus korona baru, A dirawat di rumah sakit selama empat hari.
Selama itu pula, dokter memperlakukannya dengan prosedur Covid-19. Ia ditempatkan di dalam ruang isolasi. Menurut U, tidak pernah ada tes terkait Covid-19 yang dijalani A.
Meski demikian, pihak rumah sakit dan Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta memberikan surat kematian yang menyebutkan penyebab kematian karena infeksi Covid-19. Jenazah A juga dikebumikan dengan tata cara Covid-19 di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Pondok Ranggon.
Pihak rumah sakit tempatnya dirawat menyatakan tidak bisa mengonfirmasi surat kematian ataupun riwayat penanganan medis almarhum A. Sebab, seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, riwayat medis pasien wajib dirahasiakan.
Gugus Tugas Covid-19 Pusat dan DKI Jakarta juga tak memberikan konfirmasi dengan alasan mereka tidak membahas kasus satu per satu.
Ketua Gugus Tugas Penanganan Covid-19 DKI Jakarta Catur Laswanto pun menolak menjawab saat dikonfirmasi tentang kasus kematian A. ”Kalau detail teknis, jangan tanyakan ke saya dong, itu terlalu teknis,” kata Catur saat ditemui di Balai Kota DKI Jakarta, pertengahan bulan lalu.
Baca juga: Korban Jiwa Terkait Covid-19 di Indonesia Jauh Lebih Besar
Namun, dugaan itu menguat setelah beberapa hari kemudian, istri A juga menunjukkan gejala Covid-19, seperti demam dan sesak napas. Ia pun menjalani tes reaksi rantai polimerase (PCR) yang hasilnya menyatakan positif terinfeksi Covid-19. Setelah menjalani perawatan, kondisi istri A kini terus membaik dan diperbolehkan pulang dalam beberapa hari ke depan.
”Meski belum sempat dites, saya meyakini saudara saya meninggal karena infeksi Covid,” ujar U.
Semasa hidupnya, A merupakan pejabat salah satu institusi negara. Pada awal Maret, dia diketahui menghadiri acara otomotif di Senayan. Dari acara otomotif tersebut, setidaknya tiga orang meninggal dengan gejala gangguan pernapasan seperti Covid-19.
Tak tercatat
Juru bicara pemerintah untuk Covid-19, Achmad Yurianto, menjelaskan, pasien diduga Covid-19 yang meninggal tetapi belum sempat dites tidak dicatat sebagai meninggal akibat Covid-19.
Walaupun semasa hidupnya pasien itu memperoleh penanganan Covid-19 dan dikebumikan dengan tata cara Covid-19, tanpa hasil tes PCR, dia tak dicatat meninggal akibat Covid-19.
”Kalau ada pasien meninggal belum ada konfirmasi positif, ya, kami enggak akan catat. Kami hanya catat yang sudah positif hasil dari tes PCR,” kata Yurianto.
Ia juga membenarkan bahwa ada sejumlah orang meninggal yang dikuburkan dengan protokol Covid-19 meski statusnya belum pasti terinfeksi. Langkah itu ditempuh untuk mengantisipasi penularan.
Kasus meninggal tanpa kepastian status juga terjadi pada ratusan warga DKI Jakarta lainnya. Kepala Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta Suzi Marsitawati mengatakan, hingga 6 April, ada 639 orang yang meninggal dan dimakamkan dengan protokol Covid-19.
Sebagian dari mereka adalah orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP) yang tengah menunggu hasil pemeriksaan. Sayangnya, tak ada data berapa orang yang kemudian positif Covid-19.
Baca juga: IDI Minta Transparansi Data Pasien untuk Mempercepat Deteksi Wabah
Di Kabupaten Bekasi, hingga 4 April, ada empat warga yang mengalami hal serupa. Juru Bicara Pusat Informasi dan Koordinasi Covid-19 Kabupaten Bekasi Alamsyah mengatakan, keempat orang yang dimaksud sebelumnya dirawat di sejumlah rumah sakit dengan status PDP. Sampel usap (swab) dari setiap pasien sudah diambil untuk diuji secara real time polymerase chain reaction (RT-PCR).
Akan tetapi, mereka sudah meninggal sebelum hasil tes itu keluar. Waktu kematiannya berdekatan, yaitu 1 orang pada 31 Maret, 2 orang pada 1 April, dan 1 orang pada 2 April. Untuk mengantisipasi potensi penularan, semua jenazah dimakamkan sesuai protokol penderita Covid-19.
”Hasil laboratorium yang sudah ada baru untuk PDP yang meninggal pada 31 Maret, ia negatif Covid-19. Sementara itu, tiga orang lainnya belum ada hasilnya, rata-rata satu minggu,” ujar Alamsyah saat dihubungi Kompas bulan lalu.
Tak tercatatnya jumlah kematian terduga Covid-19 dalam data resmi berpotensi mendistorsi persoalan sehingga dikhawatirkan tidak akurat dalam langkah penanganannya. Selain itu, penelusuran kontak juga menjadi kurang optimal.
Test cepat
Selain kasus kematian tanpa kepastian hasil pemeriksaan, sejumlah warga yang dinyatakan positif Covid-19 hasil pemeriksaan cepat (rapid test) juga tidak masuk dalam pemetaan kasus secara nasional.
”Kami hanya mencatat kasus positif hasil tes PCR karena rapid test itu, kan, masih screening. WHO juga tidak mungkin tanya berapa kasus terduga di Indonesia, pasti kasus yang terkonfirmasi. Kami punya datanya, tetapi tidak dirilis,” tutur Yurianto.
Sejumlah warga yang dinyatakan positif Covid-19 hasil pemeriksaan cepat (rapid test) juga tidak masuk dalam pemetaan kasus secara nasional.
Sementara itu, hasil pemeriksaan PCR membutuhkan waktu lama, setidaknya tujuh hari. Salah satunya L (23), karyawan swasta di Jakarta, harus menunggu 11 hari untuk memperoleh kepastian.
Ia dinyatakan positif Covid-19 setelah mengikuti pemeriksaan cepat pada 30 Maret. Sesuai ketentuan, hasil tersebut harus ditindaklanjuti dengan pemeriksaan PCR. ”Saya tes swab di Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan, Jakarta Pusat, pada 31 Mei. Lalu, hasilnya saya terima pada 11 April, saya dinyatakan negatif,” kata L.
Akan tetapi, pergerakan orang-orang yang berstatus positif Covid-19 hasil pemeriksaan cepat relatif tidak terkendali secara sistematis. L mengatakan, selama menunggu hasil pemeriksaan PCR, ia diminta untuk mengisolasi diri secara mandiri karena tidak menunjukkan gejala apa pun.
Selama itu pula, ia masih tinggal di rumah indekos dan memenuhi segala kebutuhannya sendiri, termasuk untuk keluar rumah membeli bahan makanan. Selama masa isolasi mandiri, L berkali-kali terpaksa ke warung di sekitar tempatnya indekos untuk membeli makanan.
L mengakui, sejak mendapatkan hasil pemeriksaan cepat, pihak Dinas Kesehatan DKI Jakarta meminta identitas termasuk nomor ponselnya agar keberadaannya bisa dipantau.
Namun, tidak ada fasilitas apa pun yang diberikan atau ditawarkan. ”Hanya ada pihak yang menghubungi beberapa hari sekali, menanyakan bagaimana kabar dan kondisi saya,” ujar L.
Associate Professor Sosiologi Bencana Nanyang Technological University (NTU) Singapura Sulfikar Amir mengatakan, pasien yang positif dari hasil tes massal cepat seharusnya beristirahat dan mengarantina dirinya sendiri paling tidak 14 hari. Tak hanya menjaga agar daya tahan tubuhnya tidak menurun, tetapi juga agar dia tidak menjadi penular bagi orang di sekitarnya.
Meskipun tidak menunjukkan gejala, pasien positif hasil tes cepat bisa menjadi pembawa virus atau carrier apabila bertemu orang lain. ”Virus Covid-19 itu menyebar secara eksponensial. Dengan mengarantina dirinya, dia sedang melindungi dirinya dan lingkungannya,” kata pakar epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono.
Beragam celah meluasnya Covid-19 masih terbuka sejak awal pandemi hingga saat ini, dari tes yang tak dilakukan, waktu tunggu hasil yang lama, hingga kurangnya pengawasan orang dalam isolasi mandiri. Entah sampai kapan.