Pengujian Setengah Hati di Awal Pandemi
Pengujian spesimen Covid-19 tak pernah optimal sejak awal pandemi hingga sekarang. Pada bulan pertama pandemi, pengujian spesimen tak optimal karena banyak laboratorium yang kapasitasnya tidak dipakai maksimal.
JAKARTA, KOMPAS — Pengujian spesimen berjalan begitu lamban di awal pandemi Covid-19. Selama bulan pertama penanganan pandemi di Indonesia, Maret hingga awal April, kapasitas laboratorium pun ternyata tak dimanfaatkan maksimal untuk pengujian.
Pemeriksaan yang terkesan setengah hati di awal pandemi ini berdampak pada pemetaan yang gagal karena tak bisa menyajikan penyebaran sesungguhnya.
Mengacu pada data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang dipublikasikan situs www.covid19.kemkes.go.id, pada Jumat (3/4/2020), terdapat 7.425 spesimen yang sudah diperiksa. Jika pencatatan dimulai sejak 1 Maret, artinya selama 34 hari rata-rata hanya 218 spesimen yang berhasil diperiksa per hari. Jumlah ini hanya separuh dari kapasitas laboratorium Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kemenkes.
Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto, saat ditemui di Jakarta, Minggu, 5 April, mengatakan, kapasitas pemeriksaan Balitbangkes mencapai 500 spesimen per hari. Kerja laboratorium sudah berlangsung sebelum dua kasus positif pertama diumumkan, yaitu 2 Maret.
Dalam telekonferensi rapat kerja bersama Komisi IX DPR, Kamis, 2 April, Kepala Balitbangkes Siswanto menyatakan, kapasitas pemeriksaan Balitbangkes dalam sehari adalah 400 spesimen.
Sejak pertengahan Maret, terdapat dua laboratorium yang bisa melakukan pengujian Covid-19 dengan metode reaksi rantai polimerase (PCR). Lembaga Biologi Molekuler Eijkman mulai memeriksa sampel virus korona baru sejak 16 Maret. Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio mengatakan, pada Maret, dengan dua mesin PCR, Eijkman mampu memeriksa 180 spesimen per hari.
Selanjutnya, Eijkman menambah satu mesin PCR sehingga kapasitas tes harian mencapai 270 spesimen. ”Sampai 4 April, kami sudah memeriksa lebih kurang 2.500 spesimen dengan hasil positif sekitar 10 persen,” kata Amin.
Baca juga : Percepat Penapisan Covid-19
Dengan pertambahan ini, seharusnya kapasitas pemeriksaan Covid-19 dengan metode PCR bisa digenjot menjadi setidaknya 680 spesimen per hari sepanjang dua pekan terakhir Maret. Akan tetapi, hasilnya tak mengalami penambahan berarti, yaitu masih berkisar rata-rata 250 orang per hari. Penambahan signifikan baru terlihat pada pekan pertama April seiring dengan pertambahan jumlah laboratorium yang ditunjuk untuk dapat memeriksa Covid-19.
Tergantung kiriman
Yurianto menyanggah anggapan bahwa pengujian lamban. Menurut dia, spesimen yang diperiksa Balitbangkes sudah sesuai dengan jumlah sampel yang dikirim oleh rumah sakit.
”Litbangkes hanya memeriksa spesimen yang dikirim rumah sakit. Kalau yang dikirim banyak, ya, yang dikerjakan banyak. Tetapi kalau yang dikirim sedikit, yang dikerjakan juga sedikit,” ujarnya.
Pernyataan Yurianto didukung Gugus Tugas Covid-19 di daerah yang menyatakan mengalami hambatan mengambil spesimen. Juru Bicara Pusat Informasi dan Koordinasi Covid-19 Kabupaten Bekasi Alamsyah, misalnya, mengakui dalam sehari hanya mampu mengumpulkan sekitar 50 sampel dari orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP) yang ada di seluruh rumah sakit sekabupaten. Sebab, jumlah petugas hanya 10 orang.
Sepanjang awal Maret, Balitbangkes merupakan otoritas tunggal yang diberikan mandat untuk memeriksa spesimen virus korona baru dan mengumumkan hasilnya. Meski beberapa pekan setelahnya pemerintah menunjuk sejumlah laboratorium lain untuk melakukan pemeriksaan RT-PCR, hasilnya masih harus dikonfirmasi oleh Balitbangkes sebelum bisa diyakini sebagai data yang sahih.
Hal itu didasarkan pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/182/2020 tentang Jejaring Laboratorium Pemeriksaan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Artinya, sepanjang awal Maret, laboratorium pemeriksa dan pemerintah daerah tak bisa menyatakan sendiri data hasil pemeriksaan tanpa dikonfirmasi oleh Balitbangkes. Panjangnya rantai pemeriksaan ini menjadi salah satu faktor rendahnya data yang dirilis sepanjang Maret.
Pemerintah memperbaiki mekanisme pemeriksaan spesimen virus korona baru. Melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 01.07/Menkes/214/2020 tentang Jejaring Laboratorium Pemeriksaan Covid-19, jumlah laboratorium pemeriksa ditambah menjadi 48 unit yang tersebar di 34 provinsi.
Regulasi yang ditandatangani pada 19 Maret 2020 itu mengatur ihwal desentralisasi pengumuman hasil pemeriksaan. Semua laboratorium dapat langsung memberikan hasil pemeriksaannya ke rumah sakit pengirim spesimen tanpa harus diperiksa ulang oleh Balitbangkes.
Tiga pekan setelahnya, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menerbitkan Surat Edaran Nomor HK.02.01/Menkes/234/2020 tentang Pedoman Pemeriksaan Uji RT-PCR SARS-CoV-2 bagi Laboratorium di Lingkungan Rumah Sakit dan Laboratorium Lain yang Melakukan Pemeriksaan Covid-19. Dalam edaran, semua laboratorium rumah sakit milik pemerintah, badan usaha milik negara (BUMN), TNI/Polri; laboratorium klinik pemerintah dan swasta; laboratorium virologi/bakteriologi kementerian/lembaga; serta laboratorium lembaga riset perguruan tinggi diperbolehkan untuk menguji RT-PCR virus korona jenis baru asalkan memenuhi persyaratan.
Baca juga : Keterlambatan Pemeriksaan Covid-19 Ganggu Layanan Rumah Sakit
Terendah
Pada Sabtu, 4 April, untuk pertama kalinya jumlah spesimen terperiksa meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan tren rata-rata pemeriksaan pada bulan pertama, yaitu 561 sampel. Bahkan, 11 hari berturut-turut setelahnya, pertambahan jumlah sampel per hari selalu di atas 1.000 spesimen, bahkan pernah mencapai 7.293 spesimen pada Minggu, 12 April. Hanya ada satu hari yang jumlah pertambahannya 316 spesimen, yaitu pada Senin, 13 April.
Totalnya, hingga Rabu, 15 April, sudah ada 33.001 spesimen yang diperiksa. Meski meningkat pesat dibandingkan kinerja pemeriksaan virus korona baru pada satu bulan pertama, jumlah ini masih termasuk yang terendah di dunia. Mengacu pada data worldometers.info, sampai Rabu, Indonesia baru memeriksa 132 spesimen per 1 juta penduduk.
Kendati jumlah laboratorium ditambah, hasilnya belum optimal. Sebab, dari 48 laboratorium yang terdaftar dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 01.07/Menkes/214/2020, belum semua beroperasi. Sebagian masih perlu melengkapi peralatan, sedangkan sebagian lain harus melatih petugas untuk menggunakan teknologi pemeriksaan RT-PCR.
Presiden Joko Widodo menargetkan, ke depan akan ada 78 laboratorium pemeriksa. Namun, dari total yang ditargetkan, hingga pertengahan April baru 32 laboratorium yang telah bekerja. Belum lagi kondisi alat yang sebagian tak lagi memadai.
Kepala Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) Jakarta pada Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Naning Nugrahini mengungkapkan, kapasitas tes di laboratoriumnya berkisar 200-300 spesimen per hari. Sebanyak dua mesin PCR yang dimiliki tidak mampu bekerja lebih dari itu.
Baca juga : Saatnya Melakukan Pemeriksaan secara Masif
”Kapasitas bisa ditingkatkan dengan penggunaan mesin PCR baru. Mesin PCR kami sudah kuno, bahkan yang satu sudah discontinue (berhenti diproduksi) sehingga tidak bisa dipacu,” ujar Naning.
Lambatnya kerja mesin berakibat pada antrean pemeriksaan yang panjang. Hingga Jumat (10/4/2020) malam, kata Naning, sampel yang sudah dilakukan RT-PCR baru 5.779 sampel. Sementara itu, masih ada 7.794 sampel yang menunggu di tahap preparasi dan 5.846 sampel yang menunggu di tahap ekstraksi. Padahal, BBTKLPP Jakarta telah mengoptimalkan penerimaan spesimen hingga 24 jam per hari. Para petugas bekerja tujuh hari dalam sepekan.
Lambatnya pemeriksaan juga dipengaruhi ketersediaan reagen yang digunakan untuk ekstraksi RNA (ribonucleic acid) dalam menguji sampel virus korona baru. Pengadaannya terkendala karena harus diimpor.
Akibatnya, pemeriksaan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran UI sempat terhenti karena kehabisan reagen. Reagen tambahan yang datang pada Senin, 13 April, pun jumlahnya terbatas sehingga tes yang dilakukan disesuaikan jumlah reagen yang tersedia (Kompas, 15/4/2020).
Lambatnya pemeriksaan juga dipengaruhi ketersediaan reagen yang digunakan untuk ekstraksi RNA (ribonucleic acid) dalam menguji sampel virus korona baru. Pengadaannya terkendala karena harus diimpor.
Krisis jumlah reagen juga pernah terjadi di Eijkman. Amin Soebandrio mengatakan, sejak ditunjuk untuk pemeriksaan RT-PCR, pengadaan reagen dilakukan secara swadaya sehingga jumlahnya terbatas. Penambahan persediaan reagen untuk tiga bulan ke depan baru dilakukan setelah mendapatkan bantuan dana yang disalurkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Dampaknya, waktu tunggu hasil pemeriksaan RT-PCR jauh dari standar, yaitu 2 x 24 jam. Contohnya, di Kabupaten Bekasi, karena petugas laboratorium tengah mengikuti pelatihan RT-PCR, dinas kesehatan masih merujuk spesimen PDP ke beberapa laboratorium, di antaranya BBTKLPP Jakarta, Bandung, dan Balitbangkes. ”Rata-rata (hasilnya ada setelah) satu minggu,” kata Alamsyah.