Pusat Penelitian Penyakit Menular dan Alergi (NIAID) Amerika Serikat menyatakan bahwa uji klinik terbaru terhadap penggunaan remdesivir menunjukkan adanya percepatan pemulihan terhadap pasien Covid-19.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·4 menit baca
WASHINGTON, KAMIS — Uji klinik penggunaan obat remdesivir menunjukkan waktu pemulihan yang lebih cepat bagi pasien Covid-19. Obat ini disebut akan menjadi standar perawatan bagi pasien Covid-19.
Pusat Penelitian Penyakit Menular dan Alergi (NIAID) Amerika Serikat menyatakan bahwa uji klinik terbaru terhadap penggunaan remdesivir menunjukkan adanya percepatan pemulihan terhadap pasien Covid-19.
Hasil awal penelitian yang melibatkan 1.063 pasien di sejumlah negara ini ini menunjukkan bahwa pasien yang mendapatkan dosis remdesivir membutuhkan waktu 31 persen lebih cepat dibandingkan pasien yang mendapatkan plasebo.
”Waktu median pemulihan bagi mereka yang mendapatkan remdesivir adalah 11 hari. Sementara mereka yang mendapatkan plasebo 15 hari,” demikian pernyataan NIAID.
Waktu median pemulihan bagi mereka yang mendapatkan remdesivir adalah 11 hari. Sementara mereka yang mendapatkan plasebo 15 hari.
Direktur NIAID Anthony Fauci berbicara kepada media dari White House mengatakan, dengan adanya temuan ini, pihaknya akan mempertimbangkan remdesivir sebagai standar perawatan (standard of care) bagi pasien Covid-19.
Remdesivir yang dikembangkan oleh Gilead Sciences adalah obat antiviral spektrum lebar yang diberikan kepada pasien dengan cara infus setiap hari selama 10 hari berturut-turut.
Sebelumnya, obat ini pernah diujikan kepada orang dengan Ebola dan telah menunjukkan hasil yang menjanjikan terhadap MERS dan SARS pada uji preklinik pada binatang.
Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) juga mengatakan telah berdiskusi dengan Gilead untuk meningkatkan produksi obat tersebut. Namun, FDA menolak berkomentar mengenai apakah akan segera memberikan persetujuan penggunaan obat tersebut.
Presiden AS Donald Trump berharap FDA segera memberikan cap persetujuan penggunaan remdesivir dalam keadaan darurat. ”Kami ingin semuanya aman, tetapi juga ingin melihat persetujuan yang cepat,” kata Trump.
Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menolak berkomentar secara spesifik mengenai temuan NIAID. Direktur Program Kedaruratan WHO Mike Ryan mengatakan, seringkali lebih dari satu penelitian dibutuhkan untuk menentukan efikasi sebuah obat.
”Akan tetapi, kami berharap (remdesivir) dan obat-obat lainnya dapat membantu kita semua untuk melawan Covid-19,” kata Ryan.
Remdesivir yang dikembangkan oleh Gilead Sciences adalah obat antiviral spektrum lebar yang diberikan kepada pasien dengan cara infus setiap hari selama 10 hari berturut-turut.
Gilead juga mengatakan, saat ini pihaknya sedang menunggu hasil dari uji klinik yang dilakukannya yang akan menentukan apakah pemberian dosis selama lima hari memiliki efikasi yang sepadan dengan 10 hari.
”Kami berharap dari studi itu akan memberikan informasi apakah pemberian dosis lima hari memiliki keamanan dan efikasi yang sama dengan 10 hari. Kami berharap penelitian ini akan selesai pada akhir Mei kelak,” tulis Gilead dalam pernyataan resminya.
Sebelumnya, obat ini pernah diujikan kepada orang dengan Ebola dan telah menunjukkan hasil yang menjanjikan terhadap MERS dan SARS pada uji preklinik terhadap binatang.
Remdesivir di Wuhan
Di sisi lain, uji klinis penggunaan remdesivir di Wuhan, China, yang didanai Chinese Academy of Medical Sciences Emergency Project of COVID-19 terhadap 237 pasien menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan antara mereka yang mendapatkan remdesivir dan kelompok kontrol yang mendapatkan plasebo.
Akan tetapi, ada temuan bahwa ada fenomena percepatan pemulihan bagi para pasien yang mendapatkan remdesivir. Fenomena ini dalam uji klinik ini disebut hasilnya tidak berbeda signifikan secara statistik. Untuk itu, perlu ada studi lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar.
”Dalam studi ini, remdesivir secara statistik tidak memiliki keuntungan bagi pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit. Namun, diketahui bahwa muncul adanya percepatan pemulihan. Ini perlu konfirmasi dengan studi yang lebih besar,” tulis Yeming Wang dan kawan-kawan dalam artikel yang diterbitkan jurnal medis The Lancet pada Rabu (29/4/2020).
Remdesivir adalah satu dari 22 obat antiviral yang sedang diuji untuk perawatan pasien Covid-19 berdasarkan hasil pemantauan Milken Institute, sebuah lembaga penelitian kesehatan masyarakat di AS.
Obat lain yang juga diharapkan dapat membantu proses perawatan pasien Covid-19 adalah obat buatan Jepang, favipiravir atau dikenal dengan merek dagang Avigan.
Berdasarkan catatan Milken Institute, saat ini sedang berlangsung sembilan uji klinik di Jepang, China, dan AS untuk menguji keamanan dan efikasi obat yang awalnya dikembangkan untuk flu tersebut.
Satu studi yang sudah selesai uji klinisnya dilakukan oleh Pusat Nasional Pengembangan Bioteknologi China. Studi ini dipublikasikan pada 15 April 2020 lalu. Studi ini membandingkan efikasi favipiravir dengan obat umifenovir atau dikenal dengan Arbidol terhadap 240 pasien Covid-19.
Hasil penelitian ini menunjukkan favipiravir tidak secara signifikan mempercepat pemulihan pasien Covid-19 dibandingkan Arbidol setelah diberi dosis selama 10 hari. Hasil penelitian ini belum mendapat penelaahan sejawat atau peer review.
Kombinasi obat Lopinavir dan Ritonavir atau biasa dikenal dengan merek dagang Kaletra dan Aluvia juga ditemukan tidak berhasil mempercepat pemulihan pasien Covid-19.
Hal ini berdasarkan temuan studi yang dilakukan oleh sejumlah peneliti yang didanai Major Projects of National Science and Technology on New Drug Creation and Development China yang dipublikasikan dalam jurnal medis New England Journal of Medicine pada 18 Maret 2020.