Sumbatan Birokrasi Menghadang Informasi Pandemi
Di tengah pandemi yang belum teratasi, ada orang-orang yang peduli dengan ketersediaan informasi. Mereka berjuang agar sumbatan birokrasi tidak menghalangi transparansi data.
Data dan informasi menjadi pegangan pertama dalam menanggulangi meluasnya Covid-19. Beberapa orang berani bersuara untuk menggugat penyampaian data yang dinilai tak transparan ataupun mendedikasikan waktu dan ketekunan mengkaji validitas informasi tanpa imbalan materi.
”Sampai saat ini kami kesulitan mendapatkan akses informasi untuk menentukan permukiman mana yang terpapar virus #Covid-19 sehingga perlu dilakukan dekontaminasi. Semua tertutup atas nama UU medis. Kunci melawan wabah ini adalah keterbukaan informasi.”
Demikian cuitan Tim Reaksi Cepat Badan Penanggulangan Bencana Daerah DI Yogyakarta (TRC BPBD DIY) di akun Twitter @TRCBPBDDIY pada Sabtu (28/3/2020). Pada tanggal yang sama, akun tersebut kembali mengunggah cuitan yang memohon Kementerian Kesehatan dan dinas-dinas di DI Yogyakarta untuk membuka informasi terbatas sebagai bahan penyusunan rencana aksi penanggulangan Covid-19.
Komandan TRC BPBD DI Yogyakarta Wahyu Pristiawan mengatakan, cuitan-cuitan tersebut pada intinya bukan untuk menjatuhkan, melainkan sebagai upaya membuka sumbatan birokrasi. Transparansi data amat penting di saat genting. Data tersebut dibutuhkan untuk melakukan rencana aksi setiap hari. ”Sejak twit-twit itu, sumbatan-sumbatan karena birokrasi terkait data Covid-19 mulai terbuka. Koordinasi semakin baik,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (7/4/2020).
Baca juga : Penularan Lokal Picu Lonjakan Kasus Positif Covid-19 di Bali
[video width="1920" height="1080" mp4="https://kompas.id/wp-content/uploads/2020/04/TRC-BPBD-DIY-soal-sumbatan-data-di-awal.mp4"][/video]
Cuitan-cuitan itu cukup menjadi istimewa karena datang dari bagian tim dalam pemerintah daerah sendiri. Dua cuitan itu merupakan satu dari sederet cuitan pada 27-28 Maret 2020 dari akun @TRCBPBDDIY yang mendesak keterbukaan data penyebaran Covid-19. Begitu besar sumbatan alur data waktu itu sehingga tim yang berada di bagian lembaga pemerintah daerah pun kesulitan mengaksesnya.
Dalam cuitan berikutnya disebutkan bahwa TRC BPBD DI Yogyakarta akhirnya berusaha menghimpun data secara mandiri untuk mengatasi sulitnya data resmi diperoleh. Sepanjang Maret, data penderita positif, pasien dalam pengawasan (PDP), serta orang dalam pengawasan (ODP) tak bisa secara cepat diperoleh petugas di lapangan.
Adanya sentralisasi data pasien positif di Kementerian Kesehatan membuat data positif harus dikonfirmasi dulu ke pusat sebelum bisa diteruskan ke daerah. Birokrasi ini membuat informasi vital lambat diterima di daerah. Padahal, tim di lapangan ibarat tengah berlomba dengan kecepatan penyebaran penyakit. Ibarat berperang, tanpa data yang cepat dan valid, mereka tak tahu lokasi musuh.
Semakin cepat data bisa diterima dan ditindaklanjuti, interaksi orang yang kemungkinan terpapar semakin cepat bisa dibatasi. Satu orang yang terpapar Covid-19 bisa berinteraksi dengan belasan, bahkan puluhan orang tanpa ada pencegahan.
Baca juga : Informasi Penting yang Perlu Diketahui Seputar Covid-19
Sebagai bagian dari tim yang bergerak di bawah pemerintah, dibutuhkan keberanian untuk menyuarakan gugatan itu. Pilihan itu tak terelakkan saat para petugas yang langsung menghadapi risiko di lapangan tak punya pilihan lain. Dari distribusi alat pelindung diri (APD) hingga pemetaan penyebaran penyakit di daerah bergantung pada data tersebut.
Menurut Pristiawan, di saat tanggap darurat Covid-19 ini, tidak mungkin lagi menerapkan alur birokrasi normal yang begitu panjang dalam menghadapi bahaya yang begitu mengancam ini. ”Kalau dalam alur normal, pembagian APD membutuhkan formulir dan persyaratan serta persetujuan. Kalau situasi darurat, tidak bisa lagi birokrasi seperti itu diterapkan. Akses tenaga kesehatan terhadap APD harus dipermudah,” tuturnya.
Awalnya, pembagian APD masih diterapkan sesuai birokrasi normal sehingga kurang efektif. Padahal, APD amat diperlukan tenaga kesehatan dan tim di lapangan.
Setelah cuitan itu, pertemuan digelar dan diputuskan bahwa seluruh pembagian APD yang awalnya berada di bawah Dinas Kesehatan DI Yogyakarta dialihkan di bawah koordinasi Gugus Tugas Covid-19 sehingga bisa dibagikan dengan lebih efektif.
Baca juga : Transparansi Data Menumbuhkan Partisipasi Warga
Menurut Koordinator Posko Pendukung Operasi Gugus Tugas Covid-19 DI Yogyakarta Indrayanto, secara ideal, gugus tugas Covid-19 di daerah mempunyai kewenangan mengelola data pasien positif, PDP, dan ODP sendiri. Dengan demikian, langkah cepat dan efektif bisa langsung diterapkan.
Panjangnya alur data pasien positif ini merupakan dampak dari Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/182/2020 tentang Jejaring Laboratorium Pemeriksaan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Artinya, sepanjang awal Maret, laboratorium pemeriksa ataupun pemerintah daerah tak bisa menyatakan sendiri data hasil pemeriksaan tanpa dikonfirmasi oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes).
Panjangnya rantai pemeriksaan ini menjadi salah satu faktor rendahnya data yang dirilis sepanjang Maret. Aturan ini akhirnya direvisi beberapa kali sehingga akhirnya lebih banyak laboratorium di daerah dapat menguji dan membuka data secara langsung pada pemerintah di daerah.
Jernihkan informasi
KawalCovid19.id menjadi portal sumber informasi mengenai Covid-19 di luar sumber resmi pemerintah. Kanal ini bahkan sudah ada sebelum pemerintah meluncurkan portal khusus Covid-19. Misinya satu, menjernihkan informasi dan menyampaikan data sehingga tidak ada lagi wacana yang memandang remeh atau informasi menyesatkan terkait penyakit yang begitu cepat menular itu.
Baca juga : Transparansi Data Covid-19 Semakin Mendesak
[video width="640" height="360" mp4="https://kompas.id/wp-content/uploads/2020/04/Koordinator-KawalCovid19.id-2.mp4"][/video]
Situs ini berawal dari KawalPemilu.org yang saat Pemilu 2018 menjadi rujukan informasi pemilihan saat itu. Koordinator sukarelawan KawalCovid19.id, Elina Ciptadi, mengatakan, di awal, para sukarelawan merupakan orang-orang Indonesia yang tengah bermukim di luar negeri, seperti Singapura, Amerika Serikat, dan Australia.
Para sukarelawan adalah orang-orang yang mencintai data. Mereka sudah mulai menganalisis data sejak kemunculan Covid-19 di Wuhan. Mereka juga membahas soal perkembangan penyakit baru itu di negara tempat mereka bermukim.
Awalnya, mereka tak berencana membuat situs data mengenai Covid-19 sebab masih ada anggapan penyakit itu hanya timbul di daerah beriklim sejuk. Namun, kemudian Singapura mulai melaporkan adanya kasus Covid-19. Sementara itu, di Indonesia, banyak berita dan informasi beredar. Namun, akurasinya diragukan.
”Justru di Indonesia kabar yang beredar soal negara tropis tak kena, Indonesia dilindungi doa, hingga soal makan nasi kucing,” kata Elina.
Hingga akhir Februari, belum terlihat adanya tanda-tanda sumber informasi yang valid di Indonesia. Bahkan, lebih banyak misinformasi dan hoaks yang beredar. Kementerian Komunikasi dan Informatika sudah terlihat berusaha menangkal hoaks, tetapi kecepatan hoaks ini rupanya tak tertandingi.
Pada 1 Maret 2020, para sukarelawan KawalPemilu.org memutuskan meluncurkan media sosial terkait data dan informasi yang akurat yang juga akan menangkal hoaks yang beredar. Tanpa diduga, sehari sesudah diluncurkan, pada 2 Maret 2020, kasus pertama diumumkan.
Saat itu, belum ada satu portal informasi dari pemerintah soal Covid-19. Informasi dari pemerintah baru terdapat di kanal Kementerian Kesehatan yang bercampur dengan informasi-informasi lain.
Selain informasi Covid-19 di Indonesia, situs ini juga menganalisis data dan informasi dari negara-negara lain yang sudah mengalami pandemi lebih awal. Di situs itu terdapat sejumlah analisis terkait informasi yang beredar soal Covid-19 juga keberhasilan dan analisis penanganan dari negara lain yang diharapkan bisa menjadi acuan kebijakan pemerintah di Indonesia.
Saat ini, dari sekitar 20 orang, jumlah sukarelawan KawalCovid19.id terus berkembang menjadi 700 orang dalam satu bulan. Mereka terdiri atas beragam profesi, seperti ahli epidemiologi, jurnalis, penulis, dan dokter. ”Ahli sejarah sampai ahli khusus yang menangani wabah, semua ada di sini,” ujar Elina.
Baca juga : Pentingnya Transparansi dan Sinkronisasi Data Covid-19
[video width="640" height="360" mp4="https://kompas.id/wp-content/uploads/2020/04/Koordinator-Kawalcovid19-1.mp4"][/video]
Menurut Elina, di tengah kondisi sekarang, kepemimpinan pemerintah soal data yang tepercaya dan transparan sangat dibutuhkan. Semakin transparan data yang diumumkan pemerintah, semakin besar pula kepercayaan publik terhadap keseriusan pemerintah dalam menangani masalah.
Data bukan obat Covid-19. Namun, ibarat perang, data yang transparan menjadi senjata pertama untuk melihat ”musuh” dan menerapkan strategi yang tepat dan efektif.