Perlukah Paspor Imunitas Covid-19?
Pemberian paspor imunitas Covid-19 dinilai tak tepat. WHO menyatakan, tidak ada bukti bahwa mereka yang telah terinfeksi akan menjadi kebal. Bahkan, dikhawatirkan sertifikat ini dapat terus memicu penyebaran virus.
Pembatasan sosial, terlebih lagi lockdown, kendati terbukti sukses memperlambat penyebaran Covid-19, memiliki dampak sosial dan ekonomi yang begitu besar.
Setelah pertumbuhan kasus harian mulai menurun di sejumlah negara menyusul penerapan pembatasan sosial, kini para pemimpin dunia perlu mencari kebijakan yang tepat yang dapat membuka kembali aktivitas publik, tetapi juga menekan penyebaran.
Salah satu skema yang banyak dibicarakan adalah immunity passport atau paspor kekebalan. Secara prinsip, hanya individu yang memegang ”paspor kekebalan” inilah yang diperbolehkan kembali beraktivitas publik.
Pada umumnya, paspor kekebalan ini menggunakan hasil tes antibodi sebagai dasar penerbitannya.
Melalui tes antibodi—sejenis dengan tes cepat yang digelar di Jakarta dan Jawa Barat—akan terlihat apakah seseorang telah terpapar Covid-19. Sebab, sebuah antibodi spesifik Covid-19 akan otomatis terbangun di dalam tubuh seseorang yang telah terinfeksi penyakit itu.
Jadi, dengan asumsi bahwa setiap orang yang sudah terinfeksi Covid-19 telah kebal, mereka bisa memulai kembali bekerja atau bepergian. Paspor kekebalan akan menjadi dokumen penanda yang mereka pegang.
Chile, Inggris, hingga Amerika
Sejumlah pejabat di beberapa negara telah menyatakan ketertarikan untuk menerapkan kebijakan ini. Deputi Menteri Kesehatan Chile Paula Daza mengatakan pada Selasa pekan lalu kepada Washington Post, pihaknya akan memberikan sebuah kartu—baik fisik maupun digital—bagi 4.600 warganya yang sudah sembuh dari Covid-19.
Pemegang kartu ini diperbolehkan untuk keluar dari karantina dan berbagai larangan lain. Bagi yang lain, tes antibodi akan digunakan untuk menentukan apakah seseorang dianggap telah kebal.
Langkah serupa sedang dipertimbangkan oleh Kementerian Kesehatan Inggris, menurut laporan surat kabar The Telegraph.
Menteri Kesehatan Inggris Matthew Hancock mengatakan pada awal April ini bahwa pemerintah mempertimbangkan sebuah sertifikat yang memungkinkan orang yang lolos tes antibodi untuk kembali bekerja seperti normal.
Pemerintah Amerika Serikat pun menilik opsi kebijakan ini. Pada beberapa pekan lalu, dilaporkan CNN, Direktur Institute Penyakit Menular dan Alergi AS Anthony Fauci mengonfirmasi hal ini.
Pemberian sertifikat kekebalan ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk menyalakan kembali roda ekonomi AS. Warga yang dianggap sudah kebal diperkenankan untuk kembali bekerja dan beraktivitas normal.
Tidak sama
Meski demikian, langkah kebijakan ini dinilai tidak tepat. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, tidak ada bukti bahwa mereka yang telah terinfeksi akan menjadi kebal. Bahkan, dikhawatirkan pemberian sertifikat ini dapat terus memicu penyebaran virus.
”Warga yang berasumsi mereka telah imun karena memiliki antibodi akan cenderung mengabaikan nasihat untuk tetap melakukan pembatasan fisik. Dengan demikian, penerapan sertifikat semacam ini meningkatkan risiko berlanjutnya penularan,” tulis WHO dalam keterangan resminya pada Minggu, 26 April 2020.
Perlu diperhatikan bahwa keberadaan antibodi tidak serta-merta menunjukkan keberadaan kekebalan yang dapat melindungi individu dari virus.
Sembuh dari Covid-19 tidak lantas berarti imunitas tubuh terhadap virus penyebabnya, SARS-CoV-2, sudah otomatis terbangun.
”Sembuh dari Covid-19 tidak membentuk kekebalan permanen,” kata Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Syahrizal Syarif, Selasa (28/4/2020) siang.
Untuk itu, menurut Syahrizal, tidak ada cara lain selain masyarakat tetap diminta menjaga jarak fisik hingga tidak ada lagi penyebaran Covid-19 atau mencapai akhir pandemi.
Bahkan, untuk memastikan tidak ada transmisi, Syahrizal meminta masyarakat untuk tetap memakai masker enam bulan pascapandemi berakhir.
Daniel Altmann dan Rosemary Boyton dari Imperial College London serta Daniel Douek dari Pusat Riset Vaksin AS mengatakan, 10-20 persen pasien yang terinfeksi dan memiliki gejala Covid-19 belum tentu memiliki antibodi yang memadai untuk melawan virus korona apabila kembali terpapar.
”Perlu diperhatikan bahwa keberadaan antibodi tidak serta-merta menunjukkan keberadaan kekebalan yang dapat melindungi individu dari virus,” kata Altmann dan kawan-kawan dalam artikelnya yang dipublikasikan oleh jurnal medis ternama The Lancet, Senin (27/4/2020).
Seperti yang sudah diketahui, kasus reinfeksi SARS-CoV-2 pada pasien yang sudah sembuh dari Covid-19 dilaporkan di beberapa negara.
Pada 10 April, Korea Selatan melaporkan ada 91 pasien Covid-19 yang mengalami reinfeksi penyakit tersebut. Di Guangdong, China, dan Osaka, Jepang, peristiwa serupa pun terjadi.
TTidak akurat
Selain itu, tes antibodi yang digunakan sebagai indikasi kekebalan pun tidak betul-betul akurat.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Panel Nasional Penasihat Uji Covid Kementerian Kesehatan Inggris yang dipublikasikan pada 20 April lalu berkesimpulan bahwa penggunaan tes antibodi secara cepat dengan strip lateral flow tidak memadai untuk menilai kondisi antibodi secara individual.
Strip lateral flow adalah alat sederhana yang dapat menguji keberadaan suatu zat dalam sebuah sampel cairan. Alat ini yang digunakan untuk tes cepat atau rapid test antibodi yang dilakukan di sejumlah daerah di Indonesia. Alat test pack kehamilan adalah salah satu contoh strip lateral flow.
Ditemukan bahwa sensitivitas atau kemampuan mendeteksi kebenaran keberadaan antibodi menggunakan tes antibodi berkisar 55-70 persen dibandingkan dengan tes real time polymerase chain reaction (RT-PCR), yang dianggap sebagai pembanding paling akurat.
Dengan angka ini, peneliti berkesimpulan, ada kemungkinan terjadinya 10-19 kasus positif palsu (false positive) per 1.000 tes atau 1-1,9 persen. Positif palsu merujuk pada mereka yang dianggap positif, atau memiliki antibodi, padahal sebetulnya tidak.
”Sampel yang tergolong false positive ini bisa dianggap sebagai mereka yang sebetulnya belum memiliki antibodi, tetapi sudah diperbolehkan beraktivitas normal di tengah publik,” tulis Derrick Crook dan kawan-kawan.
Tes antibodi, kata pakar biologi molekuler Adelaide University, Fatwa Adikusuma, lebih tepat untuk melihat penyebaran di tingkat populasi, bukan untuk diagnosis individual.
Baca juga : Mengungkap Penyebaran Covid-19 di Jakarta dan Jabar melalui Antibodi Warga
Apabila hasil tes antibodi tidak bisa akurat memperlihatkan kekebalan di setiap individu, data statistik tingkat penyebaran di sebuah populasi bisa digunakan untuk merancang kebijakan.
”Jadi, misalnya yang di Jakarta, katanya, 4 persen positif (dari hasil rapid test). Bagaimana menginterpretasikan data itu kalau kita tidak tahu akurasi alatnya? Kalau ternyata false positive alat itu 4 persen, bisa jadi angka 4 persen dari hasil total rapid test itu salah,” tutur Fatwa.
”Herd immunity”
Korelasi antara keberadaan antibodi dan kekebalan yang belum dapat dipastikan ini juga berimplikasi pada sulitnya menentukan tingkat kekebalan komunitas atau herd immunity populasi terhadap Covid-19.
Apabila ambang batas herd immunity dicapai, dipercaya sebuah penyakit menular akan berhenti penyebarannya. Pada Covid-19, sejumlah pakar sepakat angka ambang batasnya adalah sekitar 60 persen populasi.
Syahrizal mengatakan, kekebalan komunitas yang sesungguhnya baru akan terjadi dengan adanya vaksin. Sembuh dari infeksi tidak akan membentuk kekebalan pada populasi terhadap Covid-19.
Tanpa ada vaksin yang efektif dan aman, menurut Syahrizal, kekebalan terhadap Covid-19 tidak akan dapat benar-benar diraih. ”Jika sembuh, belum ada kekebalan. Hanya saja, apabila terinfeksi, gejalanya akan ringan,” ucapnya.
Herd immunity adalah sebuah konsep yang merujuk pada sebuah bentuk proteksi tidak langsung dari infeksi penyakit menular terhadap suatu populasi karena sebagian besar orang dalam populasi tersebut sudah kebal terhadap penyakit itu.
Kekebalan tubuh dapat terbentuk baik secara alami maupun buatan. Proses alami artinya orang yang terinfeksi virus dan berhasil melawan penyakit itu akan menjadi imun atau kebal. Secara buatan artinya melalui proses vaksinasi.
Baca juga : ”Herd Immunity” dan Penanggulangan Covid-19
Apabila sebuah populasi sudah mencapai ambang herd immunity, orang yang belum mendapat vaksin ataupun belum pernah terinfeksi juga akan terlindung dari penyakit tersebut.
”Dengan banyaknya orang yang sudah kebal terhadap penyakit tersebut, kawanan yang sudah kebal itu menjadi benteng penyebaran penyakit. Dengan demikian, penyebaran penyakit akhirnya terhenti,” kata Beben Benyamin, dosen senior di Australian Centre for Precision Health University of South Australia (Kompas, 13/4/2020).