Di tengah kecemasan menyaksikan rekan yang gugur hingga risiko terinfeksi virus, para tenaga kesehatan tak gentar berjuang menangani Covid-19.
Oleh
EREN MARSYUKRILLA
·3 menit baca
Di tengah kecemasan menyaksikan rekan yang gugur hingga risiko terinfeksi virus, para tenaga kesehatan tak gentar berjuang menangani Covid-19. Kerja keras mereka memantik dukungan moral publik hingga bantuan perlengkapan pelindung.
Maret lalu, media sosial ramai dengan kisah seorang perawat pasien Covid-19 di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta, dilarang pulang oleh pemilik rumah sewanya karena dikhawatirkan menularkan virus korona baru. Ada pula kisah seorang dokter spesialis paru di China, sadar akan membawa potensi penularan Covid-19, ia mengisolasi diri di dalam garasi agar tak berinteraksi dengan keluarga saat pulang ke rumah.
Belakangan, kisah perjuangan tenaga medis banyak terungkap dan mengaduk simpati publik. Penolakan dan kekhawatiran akan keberadaan mereka tergerus besarnya jasa mereka sebagai pejuang kemanusiaan.
Terkait hal itu, hasil jajak pendapat Kompas menggambarkan, mayoritas responden (81,6 persen) menerima keberadaan tenaga kesehatan di lingkungannya. Dukungan dan penerimaan sosial yang positif itu sekaligus wujud dukungan psikis kepada tenaga medis.
Dukungan juga ditunjukkan pemerintah. Di Jakarta, misalnya, pemerintah provinsi menyediakan empat hotel sebagai tempat tinggal sementara bagi tenaga medis. Hampir semua responden (98,1 persen) sepakat pemerintah mesti menyediakan tempat tinggal khusus bagi tenaga medis hingga pandemi usai.
Kekurangan APD
Selama wabah, para petugas kesehatan bekerja lebih keras hingga lebih dari 15 jam per hari. Itu membuat mereka kelelahan dan imun tubuh rendah sehingga rentan terpapar virus. Tak sedikit dokter dan perawat gugur saat melawan Covid-19.
Ikatan Dokter Indonesia mencatat, setidaknya 30 dokter meninggal akibat Covid-19. Adapun Persatuan Perawat Nasional Indonesia menyebut, 14 perawat gugur akibat terinfeksi virus korona baru.
Kematian para tenaga medis itu memberikan peringatan akan bahaya korona sekaligus menguak gagapnya layanan kesehatan menghadapi wabah. Hasil jajak pendapat Kompas menunjukkan, lebih dari 77 persen responden menilai perhatian pemerintah untuk melindungi tenaga medis belum optimal.
Salah satu penyebab tenaga medis berguguran ialah minimnya alat pelindung diri (APD). Sejumlah langkah dilakukan pemerintah guna mencukupi kebutuhan APD. Pekan terakhir Maret lalu, pemerintah menerima puluhan ton bantuan alat kesehatan, termasuk APD, dari China. Upaya lain ialah memberdayakan usaha mikro, kecil, dan menengah, serta kerja sama badan usaha milik negara dan swasta untuk meningkatkan kapasitas produksi APD.
Meski demikian, mayoritas responden (68,1 persen) tak puas dengan langkah pemerintah itu. Apresiasi datang dari 12,7 persen responden yang puas terhadap kinerja pemerintah menyediakan APD.
Simpati warga
Ketiadaan APD memunculkan simpati warga. Publik kian memahami APD jadi kebutuhan mutlak bagi keselamatan tenaga medis. Terkait hal itu, 45,9 persen responden pernah berpartisipasi dalam gerakan sosial bagi tenaga medis.
Gerakan sosial muncul amat masif diinisiasi tokoh masyarakat, seniman, organisasi masyarakat, hingga perseorangan. Selain membantu materi, panggilan menjadi sukarelawan penanganan Covid-19 tak pernah sepi. Separuh responden mau menyumbangkan tenaga untuk membantu tenaga medis.
Harapan publik kepada tenaga kesehatan amat besar. Lebih dari 77 persen responden yakin tenaga medis mampu mengatasi pandemi. Bagi tenaga medis, solidaritas publik menjadi energi positif di tengah beratnya tugas mereka.(LITBANG KOMPAS)