Sebulan Pembatasan Sosial, Covid-19 di Italia dan Spanyol Melandai, Bagaimana Indonesia?
Satu bulan pembatasan sosial redakan kasus Covid-19 di Italia, Spanyol dan Hubei, China. Bagaimana dengan Indonesia?
Beberapa hari terakhir seakan belum ada titik terang dalam perjuangan Indonesia menghadapi Covid-19. Setiap hari jumlah kasus terus bertambah. Khususnya, di Jakarta, pembatasan sosial yang sudah berlangsung selama sebulan terakhir tampak belum berpengaruh.
Padahal, dalam jangka waktu sebulan, sejumlah negara lain sudah menuai hasil dari penerapan pembatasan sosial yang mereka terapkan.
Spanyol dan Italia—dua negara dengan jumlah kasus Covid-19 tertinggi di Eropa—pertumbuhan kasus positif kedua negara tersebut mulai melandai dan bahkan berkurang setelah sebulan melakukan penutupan wilayah (lockdown), versi ekstrem dari pembatasan sosial.
Spanyol telah menerapkan penutupan wilayah secara nasional mulai 15 Maret 2020 serta meminta semua orang untuk tetap tinggal di rumah kecuali untuk membeli makanan, obat, ataupun pergi ke rumah sakit. Pergi bekerja saat itu masih diperbolehkan. Namun, kebijakan ini dianggap kurang efektif. Jumlah kasus baru dan korban meninggal terus merangkak naik.
Dua pekan kemudian kebijakan yang lebih tegas dikeluarkan Perdana Menteri Spanyol Pedro Sánchez. Pada 28 Maret, Pemerintah Spanyol meminta seluruh pekerja nonesensial untuk tinggal di rumah menyusul jumlah kematian tertinggi dalam sehari, 832 orang, lapor The Guardian pada saat itu.
Saat itu jumlah pertambahan kasus baru memang terus meningkat dengan drastis setiap hari. Sepekan sebelum pengetatan penutupan wilayah diterapkan, kasus baru bertambah dari sekitar 3.000 kasus menjadi lebih dari 8.000 kasus per hari.
Mulai 3 April lalu atau berarti tiga pekan setelah kebijakan penutupan diterapkan di Spanyol, penurunan jumlah kasus dan kematian akibat Covid-19 mulai terasa. Data Worldometers menunjukkan, jumlah pertambahan kasus per hari terus menurun dari angka 7.134 orang pada 3 April menjadi 3.268 kasus pada 13 April.
Dengan terjadinya penurunan itu, Pemerintah Spanyol kini mulai melonggarkan ketentuan penutupan wilayah.
Mulai 13 April, pekerja nonesensial yang tidak bisa bekerja dari rumah (remote working) diperbolehkan bekerja kembali. Untuk menekan ancaman penyebaran, masker wajah dibagikan kepada masyarakat di simpul-simpul transportasi umum.
Butuh tiga pekan
Jangka waktu tiga pekan juga dibutuhkan Italia untuk melandaikan kurva kasus positif Covid-19 di negara itu. Pada 8 Maret, Pemerintah Italia menutup 14 provinsi di bagian utara yang dianggap sebagai zona merah Covid-19. Namun, dua hari kemudian penutupan wilayah diterapkan ke seluruh negara.
Dua pekan kemudian penurunan mulai tampak. Dari puncak penambahan kasus per hari 6.557 orang pada 21 Maret, turun menjadi 4.053 kasus pada 31 Maret. Sejumlah media Italia juga melaporkan bahwa jumlah pasien yang harus dirawat di ruang ICU terus berkurang.
Pada 6 April, hampir sebulan setelah penutupan diterapkan, Italia mencatatkan penambahan kasus paling sedikit dalam tiga pekan. Hingga kini, penurunan tren ini terus terjadi. Pada Rabu (15/4/2020), ”hanya” ada penambahan 2.667 kasus baru, angka terendah sejak sebulan terakhir.
Tiga pekan setelah kebijakan penutupan wilayah diterapkan di Spanyol, penurunan jumlah kasus dan kematian akibat Covid-19 mulai terasa. Data Worldometers menunjukkan, jumlah pertambahan kasus per hari terus menurun.
Provinsi Hubei, China, tempat kota Wuhan menjadi tempat virus ini pertama kali ditemukan, juga membutuhkan waktu 3-4 pekan bagi upaya penutupan wilayah untuk memberikan dampak yang diharapkan. Hubei ditutup mulai 23 Januari. Business Insider melaporkan, penurunan terjadi 23 hari kemudian, mulai 14 Februari.
Di Indonesia, kebijakanpembatasan sosial (social distancing) mungkin bisa dirunut hingga saat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta meliburkan sekolah dan menutup sejumlah tempat wisata kurang lebih satu bulan yang lalu, 14 Maret. Tidak lama, Presiden Joko Widodo juga meminta masyarakat untuk membatasi kegiatan di luar rumah.
Kemudian, pada 20 Maret, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengeluarkan seruan untuk menghentikan kegiatan perkantoran. Imbauan ini berlaku hingga 5 April. Dengan pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sejak 10 April lalu, pembatasan sosial sudah menjadi keseharian masyarakat Jakarta selama kurang lebih sebulan.
Namun, tidak seperti di Hubei, China, ataupun Spanyol dan Italia, pertumbuhan kasus positif masih terus meningkat hingga kini di Jakarta. Ketika Anies mengeluarkan seruan penghentian aktivitas perkantoran tersebut, ada 13 kasus baru. Kini, pada Kamis (16/4/2020), ada tambahan 223 kasus baru sehingga total kasus positif di Jakarta 2.670 orang.
Kurang efektif
Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Syahrizal Syarif mengatakan, Indonesia dan beberapa negara lainnya yang belum mencapai puncak wabah disebabkan langkah pembatasan gerak dan interaksi sosial tidak segera diterapkan ataupun kurang efektif.
Baca juga: Warga Masih Abaikan PSBB
”Masih ada sebagian orang keluar rumah dan berinteraksi. Juga ada kondisi-kondisi seperti penumpukan di KRL dan ada yang tidak memakai masker,” kata Syahrizal.
Syahrizal mengatakan, penerapan PSBB yang efektif menjadi kunci menekan penyebaran wabah ini. ”Dengan PSBB, kita bisa memisahkan orang sehat dengan orang yang sakit. ODP dan PDP yang dikarantina dapat mengurangi kontak dengan orang sehat yang rentan,” kata Syahrizal.
Baca juga: PSBB 14 Hari di Jakarta Tak Akan Cukup Hentikan Wabah Covid-19
Menurut pakar epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Tri Yunis Miko Wahyono, masih adanya peningkatan jumlah kasus per hari adalah konsekuensi dari pilihan intensitas pembatasan sosial yang dipilih oleh pemerintah.
Menurut dia, PSBB yang dibuat oleh pemerintah memiliki intensitas di antara moderat dan berat serta masih lebih ringan dibandingkan penutupan wilayah. Ia memahami bahwa PSBB yang saat ini dipilih memiliki pertimbangan agar roda ekonomi masyarakat tetap bisa berjalan.
Namun, artinya, harus dipahami bahwa penyebaran tidak bisa segera ditekan. ”Ya, artinya pelandaian kasusnya akan lebih lama,” kata Tri. Untuk itu, agar PSBB tidak sia-sia, kini pemantauan dan penindakannya harus mendapat perhatian lebih.
Tri juga menilai, pemerintah harus bisa mempromosikan PSBB dengan lebih jelas. Perlu ditunjukkan bahwa PSBB dapat benar-benar melindungi masyarakat apabila seluruh orang berpartisipasi.
”Kalau di Singapura itu contohnya, begitu ada imbauan social distancing saja sudah pada nurut. Kalau sekarang bahkan sudah ada dendanya bagi mereka yang melanggar,” kata Tri saat dihubungi pada Kamis (16/4/2020).
Tidak adanya rasa kedaruratan
Pakar komunikasi Universitas Indonesia Firman Kurniawan mengatakan, ketidakpatuhan masyarakat terhadap kebijakan PSBB juga diakibatkan karena tidak adanya rasa kedaruratan yang tampak dari pemerintah.
Hal ini terlihat dari tarik ulur penerapan kebijakan yang terjadi hingga saling silang pendapat antarpejabat pemerintahan.
”Satu ketentuan terbit, dikoreksi beberapa saat kemudian, tentu ini membingungkan. Dan ini berimplikasi pula pada hasil yang ditunggu masyarakat yang telah patuh menjalankan karantina mandiri, yakni penurunan atau bahkan terhentinya penularan korona,” kata Firman.
Baca juga: Arah Kebijakan Pemerintah soal Covid 19 Bingungkan Masyarakat
Menurut Syahrizal, nihilnya rasa kedaruratan ini juga tampak dari langkah pemerintah yang justru menolak penerapan PSBB di sejumlah daerah di Indonesia.
Ia berpendapat, seharusnya PSBB tidak perlu melalui izin Kementerian Kesehatan. Daerah yang merupakan zona merah seharusnya sudah dapat menerapkan PSBB. ”Kita mungkin terlalu banyak birokrasi dan formalitas. Situasi darurat, tetapi langkah tidak darurat,” kata Syahrizal.
Permohonan PSBB oleh pemerintah daerah dipertimbangkan oleh Kemenkes dengan beberapa syarat, seperti adanya penularan lokal (local transmission) dan sebaran kasus yang tinggi. Menurut Syahrizal, seharusnya PSBB bisa diterapkan sesegera mungkin, terlebih lagi mengingat penularan Covid-19 yang tinggi.
Ia mengambil contoh pasien Kasus-31 di Korea Selatan yang bisa menularkan ke lebih dari 1.000 orang dalam tempo beberapa hari saja.
”Tidak bisa pakai patokan jumlah kasus yang masih rendah sebagai syarat izin. Penyakit ini bisa menular dengan luas dan cepat. Belajar dari Korea Selatan, ketika satu pasien bisa menularkan ke ratusan anggota sekte gereja,” kata Syahrizal.