Pedoman Pembatasan Sosial Penanganan Covid-19 Terlalu Rumit dan Birokratis
Setelah tertunda beberapa waktu, pemerintah melalui Menteri Kesehatan akhirnya menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Oleh
Deonisia Arlinta
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pedoman teknis terkait pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar untuk menangani penularan Covid-19 telah diterbitkan. Meski begitu, sejumlah kriteria yang diatur dalam pedoman ini dinilai bisa memperlambat upaya penanggulangan kasus di daerah. Padahal, situasi sudah semakin darurat.
Ahli epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, menilai, pedoman pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diatur tersebut terlalu rumit, justru memperlambat penanganan penularan Covid-19 di daerah. Kondisi darurat kesehatan masyarakat saat ini membutuhkan langkah cepat sehingga tidak perlu lagi birokrasi yang menghambat.
”Aturan itu seakan-akan bukan untuk menghadapi pandemi yang sudah menjadi kedaruratan seperti saat ini. Soal data, misalnya, data itu jelas secara rutin sudah dilaporkan oleh daerah, seharusnya tidak perlu lagi aturan yang memperlambat pelaksanaan,” katanya, Sabtu (4/4/2020), saat dihubungi dari Jakarta.
Menurut Pandu, PSBB adalah pembatasan sosial berskala nasional sehingga aturannya pun berlaku untuk semua wilayah di Indonesia. Pembatasan pun harus dijelaskan secara tegas dan lugas, seperti adanya pelarangan pergerakan penduduk atau pelarangan mudik.
Aturan itu seakan-akan bukan untuk menghadapi pandemi yang sudah menjadi kedaruratan seperti saat ini.
Hal serupa disampaikan Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi. Dalam diskusi grup terfokus tanpa tatap muka bertajuk ”Darurat Kesehatan Masyarakat, What’S Next” pada Sabtu, ia menyampaikan, ketentuan PSBB yang diatur oleh pemerintah terlalu birokratis dan menghambat upaya percepatan penanganan Covid-19.
Sejumlah kepala daerah telah mendesak pemerintah pusat agar lebih tegas dan lugas membatasi pergerakan masyarakat untuk mencegah penularan yang semakin luas.
”Korban positif dan meninggal jumlahnya nyata, terus bertambah. Seharusnya tidak ada waktu lagi untuk menunda-nunda. Jangan ada lagi pertimbangan ekonomis dan politik. Keselamatan masyarakat adalah hal utama,” ucapnya.
Hingga 4 April 2020, jumlah kasus yang terkonfirmasi positif Covid-19 di Indonesia mencapai 2.092 kasus dengan 191 orang meninggal. Dari total kasus yang dilaporkan, wilayah dengan kasus paling tinggi adalah DKI Jakarta (1.028 kasus), Jawa Barat (247 kasus), Banten (173 kasus), Jawa Timur (152 kasus), dan Jawa Tengah (120 kasus).
Harus penuhi kriteria
Pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9/2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penangan Covid-19, telah diatur sejumlah kriteria bagi daerah yang akan menetapkan PSBB. Setidaknya ada dua kriteria yang harus dipenuhi, yakni jumlah kasus ataupun jumlah kematian yang meningkat secara signifikan dan menyebar cepat ke beberapa wilayah. Kriteria lain, terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian penularan penyakit di wilayah atau negara lain.
Sementara itu, PSBB akan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan berdasarkan permohonan dari kepala daerah, baik gubernur, bupati, maupun wali kota. Selain diusulkan oleh kepala daerah, PSBB di wilayah tertentu juga dapat diusulkan oleh Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Oscar Primadi saat dihubungi di Jakarta, Sabtu, mengatakan, penetapan PSBB akan dikaji oleh tim penetapan PSBB. Tim ini akan melakukan kajian epidemiologis dan kajian terhadap aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, pertahanan, dan keamanan.
”Jadi, kajian akan dilakukan dengan terlebih dahulu diusulkan oleh daerah atau ketua gugus tugas yang dilengkapi dengan ketentuan-ketentuan yang dibutuhkan seperti data peningkatan kasus, data penyebaran kasus, dan data kejadian transmisi lokal,” tuturnya.
Dari hasil kajian tersebut, tim penetapan PSBB akan memberikan rekomendasi kepada Menteri Kesehatan paling lama satu hari sejak permohonan diterima. Kemudian, Menteri Kesehatan akan menetapkan PSBB di wilayah tertentu dalam jangka waktu paling lama dua hari sejak permohonan penetapan diterima.
Adapun pembatasan yang dilakukan meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, kegiatan keagamaan, kegiatan di fasilitas atau tempat umum, kegiatan sosial dan budaya, moda transportasi, serta kegiatan lain yang terkait aspek pertahanan dan keamanan.
Namun, pembatasan fasilitas umum akan dikecualikan untuk fasilitas pelayanan kesehatan, supermarket, pasar, toko obat-obatan dan peralatan medis, kebutuhan pangan, kebutuhan pokok, serta pom bahan bakar minyak, gas, dan energi.
Dalam pelaksanan PSBB ini, pemerintah daerah juga diminta berkoordinasi dengan instansi terkait, termasuk aparat penegak hukum, pihak keamanan, pengelola atau penanggung jawab fasilitas kesehatan, dan instansi logistik setempat. Menteri Kesehatan bisa mencabut status PSBB jika dalam evaluasi wilayah tersebut telah mengalami penurunan jumlah kasus dan tidak ada penyebaran kasus baru.
Aturan pembiayaan
Selain aturan terkait pembatasan sosial, Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Susi Rusli mendorong pemerintah untuk segera menerbitkan petunjuk teknis pembiayaan pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit swasta. Saat ini rumah sakit swasta telah menerima pasien yang datang dengan status orang dalam pengawasan ataupun pasien dalam pengawasan.
Sejumlah rumah sakit swasta pun telah mendedikasikan rumah sakitnya khusus untuk menangani pasien Covid-19. Rumah sakit tersebut antara lain RS Siloam Kelapa Dua Tangerang, RS Siloam Mampang, RS Mitra Keluarga Jati Asih Bekasi, RS Hermina Karawang, dan RS Edelweis Bandung. Untuk mendukung pelayanan di rumah sakit ini, diharapkan pemerintah bisa menjamin ketersediaan alat pelindung diri dengan harga yang terkendali.
”Untuk pembiayaan ke pasien, kami juga butuh kejelasan karena untuk orang tanpa gejala, orang dalam pengawasan, serta pasien dalam pengawasan dengan gejala ringan yang memeriksakan diri ke rumah sakit pembiayaannya jadi tanggung jawab mandiri. Kami hanya dapat informasi bahwa tarif disesuaikan dengan rumah sakit rujukan di satu daerah meski belum ada juknis (petunjuk teknis)-nya,” tuturnya.