Di Tengah Pandemi Covid-19, Pasien Cuci Darah Kurang Terurus
Pada masa pandemi Covid-19, tenaga semua rumah sakit di Indonesia tercurah untuk menangani pasien penyakit itu. Pasien lain yang memerlukan layanan, seperti yang gagal ginjal dan harus cuci darah, pun kurang terurus.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pada masa pandemi Covid-19, semua rumah sakit di Indonesia mencurahkan tenaga dan sumber daya untuk menangani wabah penyakit akibat virus korona baru tersebut. Akibatnya, layanan kesehatan untuk pasien lain pun terganggu, seperti untuk pasien gagal ginjal yang perlu menjalani cuci darah rutin.
Hal itu disampaikan Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Samosir saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (29/3/2020). Ia kecewa karena saat ini banyak pasien gagal ginjal tak bisa mendapatkan pelayanan cuci darah, apalagi yang memiliki gejala sama dengan Covid-19.
”Ada kompleksitas klinis yang kami alami, seperti kelebihan cairan, pasien gagal ginjal pasti demam dan itu gejala biasa. Tetapi, karena ada gejala itu malah tidak terlayani. Seharusnya dokter dan tenaga kesehatan tak perlu takut selama masih sesuai protokol,” ungkapnya.
Gejala orang yang terinfeksi Covid-19 selama ini memang sangat mudah terjadi di tengah masyarakat, seperti demam, flu kering, batuk, dan sesak napas. Bahkan, beberapa pasien positif sama sekali tidak mengeluarkan tanda-tanda terinfeksi.
Tony menuturkan, banyak anggotanya yang ingin melakukan hemodialisis atau cuci darah, tetapi ditolak rumah sakit hanya karena demam. Beberapa pasien itu malah diminta untuk ke ruang instalasi gawat darurat (IGD) di rumah sakit untuk dilakukan pengambilan sampel swab. ”Beberapa malah langsung ditetapkan sebagai orang dalam pemantauan (ODP) atau pasien dalam pengawasan (PDP), tetapi tidak dikasih cuci darah juga habis itu. Tidak bisa seperti ini,” katanya.
Di IGD, pasien malah diminta untuk mengisolasi diri di rumah selama 14 hari sampai hasil uji laboratoriumnya keluar. Karena diminta seperti itu, beberapa pasien pulang ke rumah atau mencari rumah sakit lain yang ternyata responsnya sama. Padahal, tanpa melaksanakan cuci darah, pasien gagal ginjal bisa mendapatkan gejala penyakit serius lain, bahkan meninggal. Apalagi, di Indonesia, KPCDI mencatat setidaknya ada 200.000 penderita gagal ginjal yang harus cuci darah sesuai jadwal masing-masing.
”Menunggu 14 hari di rumah, padahal sudah harus cuci darah, ujungnya meninggal. Ini bisa gawat karena hanya akan memperburuk keadaan di tengah perang melawan Covid-19,” kata Tony. Dia mendesak pemerintah untuk mengawasi dan mengontrol kejadian seperti itu. Ia khawatir peristiwa serupa juga terjadi di semua daerah di Indonesia.
Menanggapi keluhan tersebut, Sekretaris Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Agus Hadian Rahim mengatakan, seharusnya rumah sakit tetap memberikan pelayanan seperti biasa kepada pasien yang bukan penderita Covid-19. Namun, saat ini pemerintah memang meminta rumah sakit untuk bertindak cepat apabila bertemu pasien yang memiliki gejala yang sama dengan Covid-19.
”Seharusnya tetap dilayani seperti biasa, bukan ke IGD. Tetapi, kami memang meminta rumah sakit untuk memastikan pasien itu tidak Covid-19 dulu,” ujarnya.
Saat ini terdapat dua strategi pemerintah untuk mendeteksi penyakit Covid-19, yakni dengan pemeriksaan cepat dan real time-polymerase chain reaction (RT-PCR) dengan cara mengambil swab atau spesimen. Dengan cara RT-PCR, hasilnya bisa keluar dua sampai empat hari, tetapi bisa lebih lama, tergantung laboratorium dan peralatan yang dibutuhkan.
Cara kedua adalah dengan rapid test atau pemeriksaan cepat menggunakan sampel darah. Dengan pemeriksaan ini, hasilnya bisa keluar lebih kurang dua menit. Namun, pemeriksaan ini hanya untuk mengukur daya tahan tubuh. Untuk memastikan seseorang terinfeksi virus korona baru atau tidak, dibutuhkan proses tes dengan swab lagi yang memakan waktu.
”Kami juga tidak sembarangan menetapkan ODP dan PDP. Ada syaratnya, seperti usia di atas 50-60 tahun, lalu memiliki komorbid (penyakit penyerta). Itu pun terapinya isolasi mandiri, cuci darah masih bisa dilakukan, kemudian habis itu bisa pulang dan isolasi,” kata Agus.
Ia menambahkan, masyarakat bisa melaksanakan pemeriksaan tanpa harus pergi ke rumah sakit. Pasien bisa menggunakan bermacam aplikasi untuk berkonsultasi dengan petugas kesehatan.