Penyintas Tuberkulosis di Garda Depan
Proses pengobatan tuberkulosis atau TB kadang terasa berat sehingga rasanya ingin menyerah. Para penyintas yang paham beratnya pengobatan kini turun tangan merangkul pasien untuk sembuh bersama.
Proses pengobatan tuberkulosis atau TB terasa berat dan lama sehingga sebagian penderita ingin menyerah. Para penyintas yang paham beratnya pengobatan itu pun turun tangan merangkul pasien untuk sembuh bersama.
Seusai batuk berdarah pada 2007, Dewi Wulan (37) dinyatakan positif TB. Ia pun setuju menjalani program pengobatan selama enam bulan. Namun, beberapa bulan setelah pengobatan selesai, Dewi kembali batuk berdarah hingga akhirnya koma selama sehari.
”Saya sempat dinyatakan tidak tertolong oleh dokter. Tapi, orangtua yakin pada keajaiban dan akhirnya saya bangun. Setelahnya, saya menjalani pengobatan tahap kedua selama sembilan bulan. Selain harus minum obat setiap hari, saya juga dapat obat injeksi selama dua bulan,” kata Dewi di Jakarta, Senin (16/3/2020).
Pengobatan itu juga tidak berhasil. Dewi pun menjalani pemeriksaan kultur dan dinyatakan positif TB resisten obat (RO) pada 2010. Secara sederhana, TB RO lebih parah dari TB reguler. TB RO butuh pengobatan yang lebih lama, obat yang lebih banyak, dan efek samping yang lebih berat dibandingkan dengan TB reguler.
Tantangan lain yang mesti dihadapi adalah keterbatasan. Pengobatan pasien TB RO baru ada di Indonesia pada Agustus 2009, yaitu di RS Umum Pusat Persahabatan, Jakarta, dan RS Umum Daerah dr Soetomo, Surabaya. Dewi yang berdomisili di Bandung enggan pergi berobat ke kota orang sendirian.
”Saya menunggu dari 2010 hingga pengobatan TB RO tersedia pada 2012, tepatnya di RS Hasan Sadikin. Selama menunggu, saya pasti ke IGD rumah sakit tiga bulan sekali karena batuk darah. Selama itu pula saya terus mengenakan masker di rumah,” kata Dewi.
Ia merupakan pasien TB RO pertama yang dirawat di Bandung. Ia juga menjadi orang pertama di Jawa Barat yang sembuh dari TB RO. Ia dinyatakan sembuh pada 2013.
Halusinasi
Tidak sedikit pasien TB RO yang tidak kuat dengan efek obat yang dikonsumsi. Selain mual dan pusing, obat itu membuat sejumlah pasien berhalusinasi. Efek lain yang ditimbulkan antara lain nyeri sendi, insomnia, kulit kering, rambut rontok, dan gangguan pendengaran.
”Baju putih yang dikenakan dokter dan perawat tampak hitam di mata saya. Saya juga beberapa kali berpikir bahwa saya sudah mati. Setelah setahun pengobatan, saya baru tahu itu ternyata halusinasi,” kata Dewi.
Sejumlah pasien TB RO tidak seberuntung Dewi. Ia mengatakan, beberapa temannya yang juga pasien TB RO berakhir bunuh diri. Entah itu efek halusinasi atau tekanan batin saat berobat.
Ully Ulwiyah (33) juga pernah merasakan beratnya pengobatan. Ia dinyatakan positif TB RO pada November 2011 dan harus berobat selama 23 bulan. Selama itu pula ia lemas, mual, dan kesulitan tidur.
”Saya tidak tidur selama dua bulan pengobatan. Setelahnya, saya depresi sehingga harus konsultasi dengan ahli kejiwaan. Setelah diobati dan bisa tidur sebentar, rasanya saya segar kembali,” kata Ully.
Beratnya masa pengobatan juga membuat ia lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Setelah minum obat di rumah sakit setiap hari, ia pergi bersama teman-teman sesama pasien TB RO untuk menenangkan diri dari efek obat. ”Saya tidak mau pulang dalam keadaan lemas. Kasihan sama anak,” katanya.
Ia mengalihkan efek samping obat dengan makan makanan panas. Di sisi lain, ia menyadari pentingnya mengonsumsi makanan bergizi selama masa pengobatan. Pasien TB RO perlu asupan nutrisi yang baik agar kuat berobat.
Hampir setiap hari ia menghabiskan waktu bersama teman-teman penderita TB RO. Mereka saling mendampingi dan menguatkan ketika tubuh bereaksi terhadap obat. Hal itu mendorong Ully untuk membentuk komunitas bagi penyintas dan pasien TB RO, yakni Pejuang Tangguh (Peta).
Komunitas
Peta dibentuk pada 2012 bersama beberapa penyintas TB RO. Ully ingin Peta menjadi bukti bahwa TB RO bisa disembuhkan. Selama masa pengobatan, baik Ully maupun Dewi belum pernah melihat pasien yang sembuh.
”Saya menderita TB reguler sejak usia 10 tahun. Sudah terlalu lama saya diam soal penyakit ini. Saya ingin bersuara melalui Peta. Selain itu, ada kekuatan yang saya rasakan ketika mendengar masalah orang lain yang sedang berobat,” kata Ully.
Hingga kini, Peta memiliki anggota aktif sekitar 20 orang dengan wilayah kerja di DKI Jakarta. Kegiatan komunitas TB antara lain adalah pendampingan pasien, advokasi, dan deteksi pasien TB langsung ke permukiman masyarakat.
Hal yang sama dilakukan Dewi. Seusai dinyatakan sembuh dari TB RO, ia membentuk Yayasan Terus Berjuang (Terjang) pada 2013. Ada 38 anggota aktif saat ini. Adapun wilayah kerjanya di Jawa Barat, antara lain Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Karawang, Garut, Sumedang, Tasikmalaya, dan Bandung Raya.
Dewi ingin membuktikan diri bahwa ia bisa sembuh dan kembali bugar. Orang-orang yang mendiskriminasinya saat sakit dijadikan motivasi untuk sembuh. Ia juga ingin agar pasien lain percaya bahwa penyakitnya bisa disembuhkan.
”Pasien sering menjadikan saya tempat curhat dan bertanya macam-macam. Saya mendengarkan dan menjawab sesuai pengalaman yang saya rasakan dulu,” kata Dewi.
Adapun Perhimpunan Organisasi Pasien (POP) TB dibentuk pada 2015. POP TB merupakan organisasi nasional yang membawahi 16 organisasi TB di 12 provinsi Indonesia. ”Mulanya pekerjaan kami dipandang sebelah mata. Tapi, kami yakin minum obat saja tidak cukup buat pasien TB. Mereka perlu pendampingan dari keluarga ataupun komunitas,” kata Ketua POP TB Budi Hermawan yang juga penyintas TB RO.
Kini, POP TB dan sejumlah pihak tengah menguji aplikasi Oneimpact. Aplikasi ini dapat digunakan masyarakat dan pasien untuk mencari semua informasi tentang TB, rumah sakit rujukan, mengobrol antarpasien, hingga melaporkan efek samping obat dan perilaki diskriminatif yang mereka terima.
Aplikasi ini diuji coba sejak 1 Januari 2020 hingga 30 April 2020. Uji coba dilakukan di RSUP Persahabatan, RS Islam Jakarta di Cempaka Putih, RSUD Tangerang Selatan, dan RSPI Sulianto Saroso. Data yang terkumpul akan diolah dan laporan akan segera direspons. Data ini diharapkan membantu pencatatan kasus TB di Indonesia.
Pengalaman sebagai penyintas TB membuat mereka tergerak berbagi kekuatan kepada pasien. Gerakan akar rumput inilah garda terdepan pemerintah untuk memberantas TB pada 2030.