Presiden Jokowi meminta agar penyaluran dana untuk rumah sakit dipercepat demi menjamin pelayanan kesehatan. Begitu pula dengan APBN dan APBD, juga perlu dipersiapkan untuk pembayaran BPJS Kesehatan pasien Covid-19
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Presiden Joko Widodo menginstruksikan kepada para pembantunya untuk mempercepat klaim layanan program Jaminan Kesehatan Nasional dari rumah sakit. Hal ini penting untuk menjaga keberlangsungan layanan rumah sakit di tengah merebaknya Covid 19.
”Dalam menghadapi Covid 19, perlu saya ingkatkan kembali bahwa adalah tugas negara untuk menjamin pelayanan kesehatan kepada seluruh warga negara Indonesia dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang berfungsi secara penuh dan berkelanjutan,” kata Presiden dalam pengantar rapat terbatas membahas sistem JKN di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (24/03/2020).
Dalam rapat melalui konferensi video tersebut, tersambung Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju terkait. Di antaranya adalah Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, dan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Muhammad Yusuf Ateh.
Pertama-tama, Presiden menginstruksikan agar landasan hukum baru harus segera diterbitkan menyusul keputusan Mahkamah Agung yang membatalkan kebijakan pemerintah untuk menaikan iuran BPJS Kesehatan yang berlaku mulai 1 Januari 2020. Pembatalan tersebut, menurut Presiden, berpengaruh terhadap layanan kesehatan pada masyarakat, terutama pasien Covid 19.
Oleh sebab itu, Presiden menekankan agar para menteri terkait segera menyelesaikan dasar hukum baru yang dibutuhkan untuk mengatur pembiayaan. Dengan demikian, terdapat kepastian pelayanan yang baik bagi pasien dan rumah sakit.
”Tahun ini, fokuskan pada kemampuan untuk menjaga rumah sakit dapat berfungsi penuh, terutama alur penjaminan pasien dalam perawatan serta proses percepatan penyaluran dana yang dibayarkan ke rumah sakit,” kata Presiden.
Presiden juga menginstruksikan agar APBN dan APBD disiapkan untuk pembiayaan BPJS Kesehatan bagi pasien Covid 19. Pemerintah akan memastikan gubernur, bupati, dan walikota melakukan realokasi anggaran untuk layanan kesehatan bagi masyarakat yang terpapar Covid-19.
”Untuk Menteri Kesehatan, segera tetapkan norma, standar, dan prosedur yang dibutuhkan dalam rangka pelayanan jaminan kesehatan untuk pasien Covid-19, baik terkait informasi, fasilitas kesehatan, besaran biaya pelayaan kesehatan, serta pendataan fasilitas kesehatan yang mana yang dapat memberikan pelayanan kesehatan terkait Covid 19,” kata Presiden.
Program JKN mengalami persoalan dengan adanya defisit dana yang dikelola BPJS Kesehatan. Sejak JKN digelar pertama kali pada 2014, BPJS Kesehatan selalu mengalami defisit. Setiap tahun, defisitnya terus membengkak. Ini terjadi karena pendapatan lebih kecil ketimbang pengeluaran.
Tahun 2014, defisit BPJS Kesehatan adalah Rp 3,3 triliun. Tahun 2015 dan 2016, defisitnya membengkak menjadi Rp 5,7 triliun dan Rp 9,7 triliun. Di 2017, defisit Rp 9,7 triliun. Tahun ini, defisit diperkirakan berkisar mulai Rp 800 miliar sampai dengan Rp 1 triliun per bulan atau Rp 9,6 triliun sampai dengan Rp 12 triliun selama setahun.
Dampaknya, tunggakan klaim dari rumah sakit menumpuk. Rumah sakit sebagai fasilitas kesehatan utama pun akhirnya mengalami kesulitan keuangan. Imbasnya, perusahaan farmasi sebagai salah satu mitra rumah sakit juga terdampak karena tagihannya tidak kunjung dibayarkan. Semua ini berisiko mengganggu pelayanan kesehatan terhadap peserta jaminan kesehatan.
Kompas mencatat, mantan Direktur Pembiayaan Sistem Kesehatan Organisasi Kesehatan Dunia sekaligus Konsultan Pembiayaan Kesehatan Kelompok Bank Dunia, David Evans, dalam seminar tentang JKN akhir tahun lalu, menyatakan, JKN di berbagai negara selalu mengalami penggelembungan pembiayaan pada tahap-tahap awal. ”Dan kita tidak pernah tahu sampai kapan penggelembungan itu akan berhenti menemukan titik keseimbangannya,” kata David.
Hal yang perlu dicermati, David melanjutkan, adalah bahwa banyak area yang bisa diefisienkan. Mengacu pengalaman sejumlah negara, inefiensi mencapai 20-40 persen dari total biaya. Sementara penyalahgunaan yang menyebabkan penggelembungan anggaran, rata-rata mencapai 9 persen dari total biaya.
”Inefisiensi tersebar di banyak area. Oleh karena itu, area-area tersebut harus identifikasi. Dan kadang-kadang, ini tidak saja menyangkut persoalan teknis tetapi politis. Ini semua tidak mudah, tetapi sesuatu yang bisa dikerjakan,” kata David.
David juga menekankan bahwa pada tahap awal penyelenggaran JKN, penting untuk membangun kepercayaan masyarakat dan penyedia layanan. ”Ini adalah hal yang sangat kritikal,” kata David.
Direktur Eksekutif GP Farmasi Indonesia, Dorodjatun Sanusi, menyampaikan, industri farmasi berkomitmen kuat mendukung JKN. Ini tercermin dari industri farmasi dalam negeri yang memasok 90 persen dari total jumlah kebutuhan obat JKN. Nilainya, hanya sekitar 70-73 persen dari total nilai obat dalam JKN.
”Artinya, kita sudah sangat efisien dalam hal harga. Bandingkan dengan produk impor yang jumlahnya mencapai 10 persen dari kebutuhan obat JKN tetapi nilainya mencapai 28 persen dari total anggaran yang dikeluarkan BPJS untuk obat-obatan,” kata Dorodjatun.
Dorodjatun juga menyatkan, perlakuan terhadap indusri obat tidak adil. Hal ini merujuk pada mekanisme pembayaran. Pemerintah membayar langsung tagihan rumah sakit. Namun terhadap industri farmasi, pemerintah membayarnya melalui rumah sakit.
”Jadi kami dianggap co-provider. Akibatnya dari jumlah anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah, sedikit sekali yang menetes untuk obat. Contoh, dana Rp 4,9 triliun yang berasal dari cukai obat, hanya Rp 600 miliar atau 6 persen yang diterima industri farmasi. Kami mohon perlakuan yang sama dengan rumah sakit,” kata Dorodjatun.