Penderita tuberkulosis (TBC) berisiko tinggi terinfeksi virus korona baru yang memicu penyakit Covid-19. Karena itu, pemerintah mesti menerapkan strategi khusus untuk mencegah penularan virus itu ke pasien TBC.
Oleh
Sekar Gandhawangi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penderita tuberkulosis rentan terhadap paparan Covid-19. Untuk itu, pemerintah didorong agar menerapkan strategi khusus guna menjamin layanan kesehatan bagi pasien tuberkulosis selama pandemi Covid-19.
Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ajeng Tias Endarti, dalam keterangan tertulis, mengatakan, pemerintah perlu membuat mekanisme pengambilan atau pengiriman obat bagi pasien tuberkulosis atau TBC. Sebab, pengobatan pasien TBC tidak boleh putus, sedangkan kondisi pandemi tidak memungkinkan mereka untuk keluar rumah.
”Rumah sakit rujukan pengobatan TBC biasanya sama dengan rumah sakit rujukan Covid-19. Padahal, rumah sakit itu menjadi tempat pasien TBC MDR (multiple drug resistance) mengambil obat. Mekanisme itu diperlukan agar pasien TBC tidak putus obat dan tidak berisiko tertular Covid-19,” kata Ajeng, Selasa (24/3/2020). Hari ini diperingati sebagai Hari TBC Sedunia.
Ia bersama jajaran IAKMI mendorong tokoh masyarakat dan agama agar berkontribusi dalam peningkatan peran pengawas minum obat (PMO). Pasien TBC perlu didampingi agar pengobatannya tuntas.
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, hanya 69,2 persen pasien TBC yang rutin minum obat. Padahal, kunci keberhasilan pengobatan TBC adalah kepatuhan minum obat.
Komite Ahli TB Indonesia Pandu Riono dalam konferensi pers tanpa tatap muka mengatakan, penderita gangguan pernapasan seperti TBC dan asma rentan terinfeksi Covid-19. Untuk itu, pemisahan layanan kesehatan bagi pasien Covid-19 dan TBC perlu dipisahkan.
Rumah sakit rujukan pengobatan TBC biasanya sama dengan rumah sakit rujukan Covid-19. Padahal, rumah sakit itu menjadi tempat pasien TBC MDR (multiple drug resistance) mengambil obat.
”Saya sarankan agar konsep rumah sakit rujukan korona diubah menjadi rumah sakit khusus menghadapi korona, misalnya RSPI Sulianto Saroso. Ini agar sumber daya manusia bisa fokus menangani Covid-19 dan pasien lain tetap terlayani. Masyarakat pun terjamin (keamanannya) jika mau berobat,” tutur Pandu.
Protokol pengobatan
Untuk menjamin pelayanan kesehatan dan keberlanjutan pengobatan, pemerintah menyediakan protokol pengobatan bagi pasien TBC. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2ML) Kementerian Kesehatan Wiendra Waworuntu mengatakan, pengobatan penanganan TBC dan Covid-19 harus berjalan beriringan.
”Protokol itu untuk memastikan pasien melanjutkan pengobatan. Dalam situasi pandemi seperti sekarang, penyesuaian jadwal berobat mungkin harus dilakukan,” ujar Wiendra.
Salah satu poin protokol tersebut adalah meminta dinas kesehatan provinsi menunjuk rumah sakit rujukan dan puskesmas terdekat bagi pasien TBC. Pasien dapat mengambil obat, berkonsultasi, dan dirawat inap di fasilitas pelayanan kesehatan rujukan.
Prokol itu juga mengatur agar pemantauan minum obat dilakukan secara jarak jauh, misalnya dengan panggilan video. Adapun dinas kesehatan provinsi diberi mandat untuk memantau ketat pasien yang tengah berobat. Hal itu bertujuan untuk menekan angka pasien putus berobat.
Kementerian Kesehatan memperkirakan, ada 845.000 kasus TBC di Indonesia pada 2019. Namun, baru 570.289 kasus yang dilaporkan. Hal itu berarti ada sekitar 32 persen kasus TBC yang belum terdata. Di sisi lain, persentase keberhasilan pengobatan TBC di Indonesia mencapai 85 persen.
Pemerintah menargetkan 768.027 penderita TBC terdiagnosis dan diobati pada 2024. Target lain adalah mendiagnosis dan mengobati 19.686 penderita TB MDR atau tuberkulosis dengan resisten obat (TB RO), menjaring 1.226.509 orang dalam terapi pencegahan TBC, dan mengobati 90.208 anak penderita TBC.