Transparansi dan Privasi di Tengah Pandemi Covid-19
Apakah memberikan informasi pasien secara mendetail tergolong pelanggaran privasi atau langkah strategis demi kemaslahatan umum?
Menghadapi pandemi yang timbul akibat virus korona jenis baru, Covid-19, berbagai otoritas pemerintahan di dunia seakan menghadapi dilema antara transparansi informasi dan privasi warga negaranya.
Apakah memberikan informasi pasien secara mendetail tergolong pelanggaran privasi atau langkah strategis demi kemaslahatan umum?
Menyusul pengumuman oleh Presiden Joko Widodo tentang dua kasus pertama Covid-19 pada Senin (2/3/2020) dari Istana Merdeka, Jakarta, data pribadi dan laporan singkat internal pemerintah soal kedua kasus itu bocor ke tengah masyarakat.
Wali Kota Depok juga dikritik karena terlalu spesifik menyampaikan informasi mengenai alamat pasien saat memberikan pernyataan di depan publik. Pasien pun sampai merasa tertekan.
”Saya stres. Konon beritanya heboh, rumah saya diberi police line, disemprot disinfektan, saya diisolasi, tetapi tidak diberi tahu secara resmi,” kata sang pasien yang secara eksklusif bercerita kepada Kompas pada Selasa, 3 Maret.
Seakan belajar dari situasi tersebut, pemerintah langsung memutar balik arah kebijakannya. Kini, pemerintah hanya memberikan data angka pasien yang positif, jumlah tes yang sudah dilakukan, tanpa ada keterangan spesifik setiap kasus berada di daerah mana.
Sejumlah pihak pun menilai pemerintah tidak transparan. Pemerintah berdalih dengan alasan tidak ingin menyebabkan kepanikan.
”Memang ada yang (pemerintah) sampaikan dan ada yang tidak. Karena kita tidak ingin menimbulkan keresahan dan kepanikan di masyarakat,” kata Presiden Joko Widodo pada Jumat pekan lalu.
Saya stres. Konon beritanya heboh, rumah saya diberi police line….
Padahal, ini dianggap oleh berbagai pihak menjadi salah satu faktor yang berkontribusi pada kepanikan masyarakat.
Baca juga : Kepanikan Dipicu Ketidakjelasan Informasi Covid-19
Hasil survei Litbang Kompas juga menunjukkan bahwa persepsi publik terbelah mengenai upaya pemerintah mengomunikasikan kepada masyarakat soal antisipasi virus korona.
Hanya 49,5 persen telah meyakini upaya pemerintah sudah memadai. Sebanyak 46 persen responden menilai upaya pemerintah tidak memadai dan sisanya, 4,5 persen, memilih menjawab tidak tahu.
Transparansi
Sementara itu, sebaliknya sejumlah negara justru memilih untuk memberikan informasi secara terbuka kepada publik. Dalam kasus masing-masing, keterbukaan lebih berdampak positif dalam upaya penanggulangan wabah ini dibandingkan pemerintah yang bekerja secara serba rahasia.
Di Singapura, portal informasi daring langsung memublikasikan setiap kasus positif beserta detail kewarganegaraan, tempat tinggal, dan tempat yang dikunjungi. Diharapkan, dengan transparansi informasi ini, anggota masyarakat yang lain dapat mengurangi risiko tertular Covid-19.
Kemudian, setiap orang yang pernah bersentuhan langsung dengan pasien positif korona juga diwajibkan untuk mengisolasi diri. Hingga Selasa, hampir 5.000 orang telah diisolasi.
Hingga data terakhir, belum ada kematian akibat Covid-19 di Singapura dari 266 kasus positif. Dari jumlah itu, 114 sudah dipulangkan dari rumah sakit.
Lewat ponsel
Bahkan di Taiwan, orang yang sedang melakukan karantina mandiri secara berkala dihubungi lewat telepon oleh otoritas pemerintah. Ponsel mereka bahkan dilacak keberadaannya untuk memastikan mereka tidak meninggalkan tempat tinggal mereka.
Ketika Covid-19 terdeteksi telah menyebar di kapal pesiar Diamond Princess, Pemerintah Taiwan mengirimkan daftar semua restoran dan tempat wisata yang dikunjungi oleh penumpang kapal tersebut melalui pesan SMS ke semua nomor ponsel.
Kini, setelah pengujian terhadap lebih dari 18.000 sampel, baru ditemukan 77 kasus positif di Taiwan.
Kebijakan di Korea Selatan serupa. Setiap hari, pihak otoritas akan memberikan notifikasi kepada masyarakat melalui ponsel apabila ada kasus positif yang terkonfirmasi.
Kemudian, serangkaian notifikasi akan muncul untuk menjelaskan secara detail riwayat perjalanan dari kasus positif tersebut. Untuk melindungi privasi, dalam notifkasi ini, tidak ada penyebutan nama ataupun alamat.
Undang-Undang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (Infectious Diseases Control and Prevention Act) yang diciptakan pascawabah MERS 2015 memungkinkan Pemerintah Korea Selatan melakukan wawancara dengan setiap pasien, mengambil riwayat GPS, hingga rekaman kamera CCTV, serta transaksi kartu kredit untuk mereka ulang rute perjalanan sang pasien satu hari sebelumnya.
Terlalu terbuka?
Korea Selatan juga menjadi negara yang telah menguji korona masyarakatnya dengan jumlah terbesar: 270.000 orang. Data terbaru WHO menunjukkan 8.320 kasus positif korona di Korea Selatan dengan 81 kematian.
Transparansi dan tes yang digelar secara masif ini dipercaya menjadi faktor utama menurunnya tingkat penyebaran Covid-19 di negara tersebut. Pada Selasa, 17 Maret, ”hanya” 84 kasus baru—turun drastis dibandingkan dengan penambahan 909 kasus baru dalam sehari pada akhir Februari lalu.
Namun, keterbukaan informasi yang diterapkan oleh Pemerintah Korea Selatan sangatlah transparan dan masif sehingga dikhawatirkan malah memicu stigma.
Psikiater Lee Su-young dari Rumah Sakit Myongji, Goyang, di sisi barat Seoul, mengatakan kepada BBC News Korean bahwa sejumlah pasiennya lebih takut disalahkan karena telah menularkan virus korona dibandingkan takut kematian.
Sejumlah pasien positif korona menjadi bahan pergunjingan di antara warganet Korea Selatan, memicu tekanan sosial dan stres.
Lee berpendapat, informasi yang disampaikan oleh pemerintah mengenai wabah ini menjadi penting bagi masyarakat untuk melindungi dirinya sendiri dan juga orang lain.
Namun, ia juga mengingatkan, publik juga harus menyikapi informasi ini dengan dewasa. ”Jika selalu dihakimi, orang akan memilih untuk sembunyi dan malah membahayakan seluruh orang,” ujar Lee.
Mencari keseimbangan
Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar mengatakan, pelindungan data pribadi adalah hak yang dimiliki oleh masyarakat.
Namun, apabila ada alasan-alasan khusus seperti demi kesehatan umum (public health), hak tersebut dapat dibatasi oleh negara melalui undang-undang. Hal ini sesuai dengan Pasal 28J Undang-Undang Dasar 1945.
Kesepakatan ini juga sudah sesuai dengan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik Perserikatan Bangsa-Bangsa yang disepakati pada 1966.
Menurut Wahyudi, sisi regulasi Indonesia belum sekompleks Korea Selatan yang sudah mengatur pembatasan hak perlindungan data pribadi akibat penyebaran wabah penyakit.
Untuk itu, pemerintah harus segera menentukan mana informasi yang bisa dibuka demi kesehatan publik dan mana sudah masuk dalam pelanggaran privasi.
”Yang penting, bagaimana memastikan bahwa informasi yang dibagikan itu tidak bisa mengidentifikasi setiap orang secara langsung,” ucap Wahyudi pada Rabu (18/3/2020).
Wahyudi juga mengatakan, yang menjadi tantangan selanjutnya adalah kesadaran masyarakat.
Apabila pemerintah sudah membagikan informasi dengan lebih transparan, seharusnya masyarakat tidak perlu merepotkan diri untuk menelusuri para pasien positif tersebut—seperti yang terjadi di Korea Selatan.
Informasi yang diberikan oleh pemerintah harus dipahami sebagai langkah perlindungan kesehatan publik. ”Tidak seharusnya (penelusuran) dilakukan oleh warga masyarakat biasa,” kata Wahyudi.