104 Kematian akibat DBD, Kenali Penularan Lebih Dini
Sejak 1 Januari sampai 11 Maret 2020, kematian akibat demam berdarah dengue secara nasional mencapai 104 kematian dari 17.820 kasus. Pemerintah dan masyarakat perlu bahu-membahu untuk menahan penambahan kasus.
Oleh
DEONISIA ARLINTA / Melati Mewangi / Abdullah Fikri Ashri / Vina Octavia / Stefanus Ato
·3 menit baca
LAMPUNG, KOMPAS — Berdasarkan data Kementerian Kesehatan sejak 1 Januari 2020 sampai dengan 11 Maret 2020, kematian akibat demam berdarah dengue secara nasional mencapai 104 kematian dari 17.820 kasus. Pertambahan kematian dicegah terutama dengan mengenali tanda dan gejala penularan penyakit ini secara lebih dini.
Dari 104 kematian itu, kasus tertinggi dilaporkan di Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan 32 orang meninggal, Jawa Barat (15 orang), Jawa Timur (13 orang), dan Lampung (11 orang). Proporsi kematian paling banyak terjadi pada kelompok usia 5-14 tahun.
Dari Lampung dilaporkan, Kepala Seksi Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Dinas Kesehatan Provinsi Lampung Media Lisna mengatakan belum ada penetapan kejadian luar biasa (KLB) di daerah itu meskipun terjadi lonjakan kasus demam berdarah dengue (DBD). Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Lampung Reihana mengajak masyarakat untuk bersama-sama memberantas perkembangbiakan nyamuk vektor DBD.
Laporan dari Kota Bekasi, Jawa Barat, Wakil Direktur Pelayanan Medik Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Chasbullah, Ellya Niken Prastiwi, mengatakan, semua kasus DBD yang ditangani RSUD Chasbullah selama periode Januari-Maret 2020 didominasi orang dewasa. Peningkatan kasus lazim terjadi saat musim hujan. ”Kami sediakan 150 tempat tidur untuk orang dewasa dan 100-an untuk anak-anak,” kata Niken di Kota Bekasi, Rabu (11/3/2020).
Secara terpisah, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian (P2P) Dinkes Karawang Yayuk Sri Rahayu mengatakan, terdapat 70 kasus DBD di Karawang sepanjang Januari hingga 11 Maret 2020. Satu korban meninggal. Kasus penyakit ini tersebar di sejumlah kecamatan.
Kondisi serupa terjadi di Cirebon, Jawa Barat. Berdasarkan data Dinkes Cirebon, hingga pekan ke-10 atau awal Maret 2020 tercatat 173 kasus DBD di daerah itu dengan dua orang meninggal.
Di Jakarta, Ketua Divisi Infeksi dan Pediatri Tropik Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo-Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (RSCM-FKUI) Mulya Rahma Karyanti mengatakan, orangtua harus lebih waspada terhadap tanda bahaya DBD yang dialami oleh anak. Hal ini terutama ketika penularan masuk pada fase kritis, yang biasanya ditandai demam yang turun di hari keempat.
”Saat demam turun, harus waspada pada tanda bahaya, seperti nafsu makan berkurang, buang air kecil jarang, sakit perut hebat, lemah, dan muntah. Dalam pemeriksaan penunjang diketahui kadar trombosit menurun hingga di bawah 100.000 (per milimeter kubik),” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Rabu.
Orangtua harus lebih waspada pada tanda bahaya DBD yang dialami oleh anak.
Menurut dia, kematian akibat DBD terjadi karena penanganan terlambat sehingga pembuluh darah pasien bocor sehingga darahnya lebih pekat yang ditandai dengan meningkatnya hematokrit (volume darah). Jika terjadi kebocoran, aliran darah akan terhambat dan suplai oksigen ke seluruh tubuh akan berkurang.
Pasien harus dipastikan kebutuhan cairan dalam tubuh tercukupi. Asupan nutrisi diperhatikan karena pasien biasanya menjadi lemas. ”Fase kritis terjadi pada hari keempat sampai hari keenam sejak gejala awal muncul. Jika bisa cepat dideteksi, akan cepat juga ditangani,” katanya.
Secara terpisah, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menuturkan, antisipasi penularan DBD sudah dilakukan sejak Oktober 2019. Kementerian Kesehatan telah mengirimkan surat edaran agar pemerintah daerah mulai menggalakkan pemberantasan sarang nyamuk serta memastikan kebutuhan logistik mencukupi.
”Sayangnya, imbauan ini tidak segera dilakukan oleh pemerintah daerah. Akibatnya, ketika kasus DBD sudah banyak terjadi, upaya pencegahan baru dilakukan. Padahal, jika melakukan gerakan pemberantasan sarang nyamuk dan memantau jentik nyamuk secara rutin setidaknya seminggu sekali, masalah ini bisa dicegah,” tuturnya.
Siti Nadia menambahkan, upaya pemberantasan sarang nyamuk harus masif dilakukan pada daerah yang sudah ditemukan banyak kasus. Jika ada satu kasus DBD terjadi di satu wilayah, penelitian epidemiologi harus segera dijalankan. ”Kalau ada dua orang kasus DBD yang ditemukan, harus langsung dilakukan fogging (pengasapan) untuk menurunkan populasi nyamuk. Pemberian larvasida juga penting untuk mematikan jentik nyamuk,” tuturnya.