Deteksi dini untuk mengantisipasi bertambahnya kasus Covid-19 dengan penapisan suhu tubuh dirasa kurang optimal. Masyarakat didorong proaktif melaporkan diri.
Oleh
TIM KOMPAS
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Penapisan suhu badan, seperti yang dilakukan di pintu-pintu masuk kantor, dirasa kurang optimal meski tetap harus dijalankan. Hal ini dikarenakan ada penularan penyakit oleh pasien Covid-19 tanpa gejala tertentu. Masyarakat yang berpotensi terinfeksi korona juga didorong lebih proaktif untuk melaporkan diri ke fasilitas layanan kesehatan.
”Pada kelompok orang dalam pemantauan, yakni orang yang baru kembali dari negara dengan kasus Covid-19 ataupun orang yang punya riwayat kontak dengan pasien Covid-19, maka pemantauan akan lebih ketat,” kata juru bicara pemerintah terkait penanganan korona, Achmad Yurianto, saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (7/3/2020).
Jika setelah melapor ternyata terdeteksi gejala penyakit Covid-19, masyarakat tidak perlu risau dengan biaya pengobatan. Pasien dalam pengawasan yang dirawat di RS rujukan, biaya perawatannya ditanggung oleh Kementerian Kesehatan. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 104
Tahun 2020 tentang Penetapan Infeksi Novel Coronavirus (2019-nCoV).
Apabila dibandingkan, pemerintah kota Hubei di China punya cara lain untuk mendorong sikap proaktif warganya. Mengutip Reuters, pemerintah kota Hubei di China akan membayar 10.000 yuan atau sekitar Rp 20,5 juta kepada warga yang proaktif melaporkan gejala penyakitnya dan ternyata kemudian terkonfirmasi positif Covid-19.
Hingga Sabtu sore, terdapat empat warga negara Indonesia yang positif terinfeksi Covid-19. Sementara ada 11 orang terduga Covid-19 yang semuanya dirawat di rumah sakit.
Pemerintah juga berupaya mempercepat upaya penelusuran kontak untuk meminimalkan penyebaran kasus Covid-19. ”Sumbernya adalah virus. Dan, virus ini ada di orang, bukan wilayah. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengawasi orang yang positif penyakit virus korona. Sebab, dia akan menjadi sumber penularan,” ujar Yurianto.
Sejumlah daerah terpantau telah ikut memfasilitasi upaya proaktif masyarakat. Selain disibukkan dengan upaya menangani pasien, Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga mendirikan Pusat Informasi dan Koordinasi Covid-19 Jawa Barat (Pikobar) di Gedung Sate, Bandung.
Laporan masyarakat
Sebanyak 417 laporan terkait Covid-19 telah ditampung oleh Pikobar hingga Jumat (6/3). ”Karena pusat informasi ini, masyarakat akan tahu perkembangan terkini. Tidak hanya terkait ada yang terinfeksi atau tidak, tetapi juga tentang pola pencegahan dan menjaga diri agar tidak terinfeksi,” ujar Sekretaris Daerah Provinsi Jabar Setiawan Wangsaatmaja. Setiawan mengatakan, Pikobar direspons dengan baik oleh masyarakat.
Hingga Jumat, di Jawa Barat, terdapat 43 pasien berstatus orang dalam pengawasan (ODP). Terdapat pula 287 pasien dari seluruh pelosok Jabar yang sedang dipantau oleh petugas kesehatan.
Sementara itu, Dinas Kesehatan Sidoarjo, Jawa Timur, juga terus menelusuri orang dengan risiko terjangkit virus SARS-CoV-2. Hingga saat ini, ada 142 nama yang belum berhasil ditelusuri dari 320 warga dengan risiko positif Covid-19.
Kepala Seksi Surveilans dan Imunisasi Dinkes Sidoarjo Qudratin mengatakan, kendala penelusuran orang adalah identitas atau alamat yang kurang jelas. ”Ada juga yang berhasil ditemukan, tetapi orangnya masih di luar kota dan belum diketahui kondisinya,” ujar Qudratin.
Keterbatasan alat
Dihubungi secara terpisah, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Lia G Partakusuma memastikan semua rumah sakit rujukan telah disiapkan. ”Rumah sakit yang ditunjuk pun telah dilengkapi ruang isolasi yang terstandar,” ujarnya.
Ruang isolasi tidak harus dilengkapi dengan tekanan negatif. ”Yang terpenting, memenuhi syarat sirkulasi udara yang aman dari penularan infeksi,” kata Lia. Setidaknya 132 rumah sakit rujukan, belum termasuk RS swasta, telah disiagakan di 34 provinsi untuk menangani pasien Covid-19.
Yang terpenting, memenuhi syarat sirkulasi udara yang aman dari penularan infeksi.
Meski demikian, kata Lia, rumah sakit terkendala keterbatasan alat pelindung diri (APD). ”Kami sedang mendata rumah sakit mana yang mulai terbatas jumlah APD. Diharapkan ada bantuan pemerintah,” kata Lia.
Direktur RSUD Gunung Jati Ismail Jamaludin, yang ditemui di Cirebon, mengatakan, ”Untuk menangani satu kasus selama 14 hari, dibutuhkan 200-300 set APD. Kami juga sudah mengusulkan (pengadaannya) kepada Pemerintah Provinsi Jabar.”
Ismail menambahkan, RSUD Gunung Jati juga kekurangan goggles (pelindung area mata). ”Jumlahnya tinggal sedikit,” ujar Ismail.