78 Kematian akibat DBD, Pemerintah Diminta Lebih Serius Mengatasinya
Kematian akibat demam berdarah dengue atau DBD mencapai 78 kasus sejak 1 Januari sampai 29 Februari 2020. Angka tertinggi di Jawa Barat dan Nusa Tenggara Timur. Pemerintah diminta lebih serius mengatasi penyakit ini.
Oleh
Deonisia Arlinta & Kornelis Kewa Ama
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah heboh wabah Covid-19, saat ini kasus demam berdarah dengue di Indonesia semakin meningkat. Kementerian Kesehatan mencatat, ada 78 kasus kematian akibat demam berdarah dengue atau DBD sejak 1 Januari sampai 29 Februari 2020. Tanpa penanggulangan serius dari setiap daerah, terutama dalam pemberantasan sarang nyamuk, kondisi ini bisa semakin memburuk.
Di NTT, kasus terbanyak terdapat di Kabupaten Sikka. Dinas Kesehatan Sikka melaporkan, tercatat 11 korban meninggal. Sebanyak 1.217 orang dirawat di Rumah Sakit TC Hillers Maumere, Rumah Sakit Katolik Kewapante, dan Rumah Sakit St Elisabeth Lela.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono, saat dihubungi di Jakarta, Kamis (5/3/2020), mengatakan, komitmen dari pemerintah daerah, mulai dari upaya pencegahan sampai pelaporan kasus, dinilai masih lemah. Untuk itu, angka DBD yang terjadi saat ini bisa lebih besar dari yang dilaporkan.
”Peran pemerintah daerah sangat menentukan,” ujarnya.
Terkait tingginya angka kematian akibat DBD, Anung mengatakan, keterlambatan penanganan pada pasien menjadi faktor penyebabnya. Kesadaran masyarakat untuk segera memeriksakan diri serta kesiapan fasilitas pelayanan kesehatan sangat menentukan.
”Untuk masalah kematian, ada dua hal yang mendasar. Pertama, soal manajemen rujukan dan, kedua, soal tata kelola klinik di rumah sakit ataupun faskes (fasilitas kesehatan),” ucapnya.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyampaikan, upaya pencegahan dan pengendalian vektor penyebab DBD harus terus ditingkatkan. Caranya, dengan menekan penyebaran nyamuk Aedes aegypti sebagai pembawa virus dengue serta menggalakkan gerakan pemantauan jentik nyamuk di masyarakat.
”Semua pihak harus tetap waspada karena kita sedang memasuki masa munculnya DBD. Jangan sampai fokus pada penyakit Covid-19 membuat kita tidak memperhatikan ancaman DBD. April sampai Mei bisa menjadi bulan dengan banyak kasus,” tuturnya.
Siti mengimbau masyarakat tetap waspada dalam upaya pencegahan penularan demam berdarah. Deteksi dini serta pengobatan yang cepat dan tepat harus dilakukan agar pasien bisa tertolong.
”Jadi, PSN (pemberantasan sarang nyamuk) dan upaya 3M (menutup, menguras, dan mengubur) plus di rumah tangga, sekolah, tempat kerja, dan tempat-tempat umum harus terus digalakkan,” lanjutnya.
Hingga saat ini, dua kabupaten telah melaporkan terjadinya kejadian luar biasa (KLB) DBD. Kedua daerah tersebut adalah Kabupaten Sikka dan Kabupaten Belitung, Kepulauan Bangka Belitung.
Secara terpisah, Kepala Dinas Kesehatan Sikka Petrus Herlemus Baru mengungkapkan, Pemerintah Kabupaten Sikka telah mengerahkan seluruh kekuatan untuk mengatasi DBD sejak Januari 2020 dengan mengalokasikan anggaran Rp 1,8 miliar. Namun, kasus ini tidak mereda, bahkan cenderung meningkat.
Sebagian besar pasien DBD adalah anak-anak di bawah usia 15 tahun. Mereka sering tidur siang dan malam tanpa menggunakan selimut atau sarung. Akibatnya, saat tidur pulas, mereka mudah digigit nyamuk Aedes aegypti sebagai pembawa virus dengue.
Sudah tiga kali kasus DBD masuk kategori KLB di Sikka sejak tahun 2000. Salah satu faktor pendorong kasus ini adalah perilaku masyarakat yang kurang peduli dengan genangan air di lingkungannya. Masyarakat terbiasa menampung air hujan, misalnya di kubangan, untuk digunakan menyiram tanah kering dan tandus. Padahal, genangan itu rentan menjadi sarang nyamuk.
Petrus Herlemus Baru mengungkapkan, setiap hari semua aparat PNS serta siswa SD, SMP, dan SMA di seluruh Sikka diajak untuk membersihkan lingkungan masing-masing selama 2 jam pada pagi hari. Kegiatan ini berlangsung sampai musim kemarau, sekitar April 2020.
Anggota DPRD NTT daerah pemilihan Sikka, Imanuel Kolfidus, mengatakan, kasus DBD di Sikka sudah berulang-ulang setiap musim hujan tiba. Namun, penanganan masalah ini tidak pernah tuntas. Semua organisasi perangkat daerah di Sikka hendaknya turun tangan menggerakkan semua kelompok masyarakat untuk menjaga lingkungan.
Menurut anggota Komisi V dari Fraksi PDI-P yang membidangi masalah kesehatan itu, gerakan bersama masyarakat untuk memerangi DBD tidak bisa didorong dengan gaya kepemimpinan yang hanya berdiri di podium pada acara seremonial, lalu memberikan imbauan kepada masyarakat. Masyarakat memerlukan pemimpin yang terjun langsung di lapangan, memberikan contoh, dan mengajak masyarakat untuk bertindak membersihkan lingkungan yang rentan jadi sarang nyamuk.