Makanan Berserat, Mata Rantai Mengoptimalkan Pertumbuhan Anak
Asupan serat harian pada anak patut diperhatikan. Selain menjaga kesehatan saluran pencernaan, serat dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan anak lebih optimal.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Serat hanya satu dari sederet asupan yang dibutuhkan anak saat tumbuh. Namun, komponen gizi ini kerap luput dari perhatian sehingga target konsumsi serat harian tidak tercapai. Padahal, serat adalah ”juru kunci” kesehatan saluran cerna si kecil.
Di sisi lain, memenuhi kebutuhan gizi anak bukan perkara mudah. Adakalanya orangtua dibuat pusing lantaran sang anak menolakmakan. Pasangan selebritas Gya Sadiqah dan Tarra Budiman pernah mengalaminya.
Putri mereka yang berumur setahun kini sudah bisa pilih-pilih makanan. Selaku koki di rumah, Gya menyiasatinya dengan menyiapkan sederet pilihan menu. Jika ada satu menu yang tidak disukai sang anak, Gya beralih ke menu lain.
Kendati telah memperhatikan pola makan dan kecukupan gizi, putri Gya dan Tarra tidak luput dari konstipasi. Gya pun membawa putrinya ke dokter untuk diperiksa lebih lanjut.
”Setelah anak diberi pepaya, dia jadi sulit buang air besar. Padahal, setahuku, pepaya bisa melancarkan pencernaan. Tapi, daripada sok tahu soal itu, lebih baik aku bawa anakku ke dokter. Pemberian pepaya ke anak juga distop dulu,” tutur Gya saat diskusi ”Bicara Gizi: Peranan Serat untuk Dukung Kesehatan Pencernaan Anak” di Jakarta, Rabu (4/3/2020).
Respons cepat Gya diapresiasi dokter spesialis anak dan peneliti Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia, Badriul Hegar. Menurut Hegar, tubuh setiap anak bereaksi berbeda-beda terhadap setiap makanan, tak terkecuali pepaya. Ia menekankan pentingnya peran orangtua untuk memperhatikan makanan dan perilaku BAB anak.
Menurut angka kecukupan gizi (AKG) yang ditetapkan Kementerian Kesehatan pada 2013, kebutuhan serat anak berusia 1-3 tahun adalah 16 gram per hari. Kenyataannya, rata-rata konsumsi serat per hari pada anak di Indonesia hanya setengah dari ketetapan, yakni sekitar 8 gram. Hal itu memicu konstipasi.
Intervensi harus segera dilakukan pada anak yang menunjukkan gejala konstipasi. Intervensi yang dimaksud antara lain berupa penambahan asupan serat dan latihan BAB (toilet training). Pembiaran akan berujung pada konstipasi. Merawat anak yang konstipasi hingga sembuh bisa memakan waktu 1-3 bulan, tergantung dari kondisi anak. ”Anak konstipasi yang dirawat dengan dietary change (perubahan asupan makanan) tanpa obat punya persentase kesembuhan 25 persen,” ujar Hegar.
Merawat anak yang konstipasi bukan perkara mudah. Kondisi psikologis anak harus dijaga agar mereka tidak trauma untuk BAB. Mereka pun perlu diberi dukungan untuk BAB dan asupan seratnya perlu digenjot.
Serat berperan untuk menyerap cairan di usus besar manusia. Serat lalu membantu memperbesar volume, melunakkan konsistensi feses, dan menstimulasi saraf pada usus besar untuk bekerja. Tubuh pun menerima sinyal untuk BAB. Di sisi lain, anak yang mengalami konstipasi tidak menerima sinyal untuk BAB. Fesesnya menumpuk di usus besar, sedangkan rektum tidak terstimulasi untuk membuka jalur untuk BAB.
Seorang anak di bawah 4 tahun dikatakan mengalami konstipasi jika mengalami minimal dua gejala yang berlangsung sebulan. Gejalanya antara lain BAB kurang dari dua kali per minggu, anak kesakitan saat mengejan, dan feses berdiameter besar hingga menyumbat toilet.
”Di beberapa kasus, anak akan duduk di pojok sambil mengejan. Ada juga yang celana dalamnya kotor dengan noda feses (cepirit). Itu karena ususnya penuh oleh feses dan terhambat di rektum. Anak yang fesesnya berdiameter besar rektumnya akan robek setelah BAB. Anak akan merasa perih. Hal ini bisa membuat anak trauma untuk BAB,” tutur Hegar.
Ia mengimbau orangtua untuk memperhatikan perubahan perilaku anak, termasuk pola BAB. Ia mendorong orangtua untuk memeriksakan anaknya setelah mendapati dua gejala konstipasi.
Kurang serat
Menurut penelitian yang dilakukan Hegar, sebanyak satu dari tiga anak mengalami indikasi awal konstipasi. Penelitian itu melibatkan 368 anak berusia 2-3 tahun di satu wilayah di Jakarta. Dari jumlah itu, ada 128 anak yang memiliki pola BAB berisiko konstipasi.
Dari 128 anak, sebanyak 9 dari 10 anak berusia 2-3 tahun mengonsumsi rata-rata 4,7 gram serat per hari. Angka itu jauh dari ketetapan AKG 2013, yakni 16 gram serat per hari.
Intervensi dilakukan kepada anak-anak tersebut. Konsumsi serat ditambah 7 gram selama delapan minggu. Pola BAB anak membaik sebesar 74 persen pada dua minggu pertama. Adapun pola BAB berhasil diperbaiki sebesar 90 persen setelah dua bulan.
”Serat bukan satu-satunya hal yang dibutuhkan anak. Tapi serat penting untuk menjaga saluran pencernaan anak. Saluran pencernaan yang bermasalah akan mengganggu pencernaan dan penyerapan nutrisi yang masuk ke tubuh. Akibatnya, pertumbuhan dan perkembangan anak akan terhambat,” lanjut Hegar.
Di sisi lain, pihak swasta berinovasi untuk menghitung jumlah serat yang dikonsumsi anak. External Communications Manager for Specialized Nutrition Danone Indonesia Desytha Utami mengatakan, perusahaannya meluncurkan fitur Fibre O Meter. Fitur itu bisa diakses di laman internet dan akan terus dikembangkan.
”Kecukupan serat harian anak bisa dipantau. Caranya ialah dengan memasukkan riwayat menu makanan dan minuman yang dikonsumsi anak dalam sehari,” katanya.