Kelaparan terselubung memiliki dampak yang sangat besar. Sekitar 50 persen dari 10 juta kematian per tahun di seluruh dunia diakibatkan oleh kekurangan zat gizi mikro.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·3 menit baca
STOCKHOLM, KOMPAS — Seabad lalu, kurus menjadi persoalan masyarakat dunia. Kini, dunia menghadapi tiga persoalan sekaligus terkait dengan malnutrisi yang memengaruhi pertumbuhan fisik manusia, yaitu terlalu kurus, kegemukan, dan kelaparan terselubung.
”Pada abad ke-21, dunia menghadapi tiga beban (pertumbuhan fisik) sekaligus,” kata Direktur Pusat Berat Badan Sehat dan Nutrisi (Center for Healthy Weight and Nutrition) Universitas Negeri Ohio, Amerika Serikat, Robert Murray saat mengawali Pertemuan Pertumbuhan Tubuh Global (Global Growth Summit) Ke-4 di Stockholm, Swedia, Selasa (11/2/2020).
Kurus (underweight) ditandai dengan berat badan yang lebih rendah dibandingkan dengan berat standar sesuai umurnya. Adapun kegemukan (overweight) adalah berat badan yang melebihi nilai ambang sesuai tinggi badannya. Sementara kelaparan terselubung adalah kekurangan zat gizi mikro.
Jika persoalan kurus umumnya ditemui di negara miskin dan berkembang, kelaparan terselubung dialami negara berkembang dan negara maju. ”Satu dari tiga orang di dunia mengalami kelaparan terselubung,” ucapnya.
Kelaparan terselubung itu juga terjadi di beberapa negara, termasuk Indonesia.
Kelaparan terselubung memiliki dampak yang sangat besar. Murray dalam pertemuan awal Global Growth Summit, Senin (10/2/2020) malam waktu Stockholm atau Selasa dini hari waktu Jakarta, mengatakan, sekitar 50 persen dari 10 juta kematian per tahun di seluruh dunia diakibatkan kekurangan zat gizi mikro.
Tak terpenuhinya asupan zat gizi sesuai dengan kebutuhan tubuh atau malnutrisi itu membawa manusia pada berbagai kerentanan, mulai dari mudah sakit, kemampuan kognitif rendah, kualitas fisik pekerja rendah, kondisi kesehatan reproduksi buruk, hingga menurunkan produktivitas yang bisa mengganggu pertumbuhan ekonomi.
Kelaparan terselubung itu juga terjadi di beberapa negara, termasuk Indonesia. ”Orang Indonesia kekurangan vitamin A, zat besi, zinc, dan yodium,” katanya. Namun, kekurangan keempat zat gizi mikro itu juga umumnya terjadi di negara-negara lain pada wilayah tertentu.
Murray mengatakan, kelaparan terselubung bisa terjadi pada siapa pun, mulai dari bayi, anak-anak, remaja, orang dewasa, ibu hamil, hingga warga lanjut usia. Pada anak, malnutrisi itu jadi salah satu penyebab tengkes alias tinggi badan yang lebih rendah dari standar tinggi badan sesuai dengan umurnya.
Malnutrisi pada anak juga bisa mengurangi kapasitas mental anak, mudah sakit atau terserang infeksi, mereduksi belajar, hingga meningkatkan kematian. Besarnya dampak malnutrisi dan tengkes itulah yang membuat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menargetkan mengurangi jumlah anak balita tengkes hingga 40 persen di seluruh dunia pada 2025.
Direktur Medis Abbott Nutrition untuk wilayah Eropa, Rusia, Israel, dan Afrika Selatan (Eurisa) Carole Glencorse mengatakan, secara global, jumlah anak yang mengalami malnutrisi masih tetap tinggi.
Data tim Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef), WHO, dan Bank Dunia pada 2019 menunjukkan, jumlah anak balita tengkes turun dari 32,5 persen menjadi 21,9 persen antara tahun 2000 dan 2018 atau dari 198,2 juta anak menjadi 149 juta anak. ”Jumlah anak tengkes terus turun walau lambat,” kata Glencorse.
Sementara anak balita dengan kelebihan berat badan dan obesitas pada periode yang sama naik dari 4,9 persen menjadi 5,9 persen atau naik dari 30,1 juta anak balita menjadi 40,1 juta anak balita. Adapun jumlah anak wasting (berat badan kurang, tetapi tinggi badan sesuai) pada 2018 mencapai 7,3 persen atau 49,5 juta anak balita.
”Wasting dan tengkes membebani (ekonomi) sepanjang hidup,” kata Glencorse. Anak Balita wasting berisiko 11 kali lebih tinggi terhadap kematian dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami. Sementara 33 persen anak tengkes sulit lepas dari jerat kemiskinan saat dewasa.
Karena itu, Glencorse mengajak praktisi kesehatan anak yang hadir dalam pertemuan tersebut untuk terus meningkatkan kesadaran tentang pentingnya gizi untuk pertumbuhan dan masa kanak-kanak. Proses identifikasi dini dan perawatan anak-anak dengan risiko malnutrisi dan pertumbuhan yang gagal perlu terus digencarkan.
Marion Margaret Aw dari Sekolah Kedokteran Yong Loo Lin, Universitas Nasional Singapura, mengingatkan pentingnya rutin mengukur anak balita secara teliti dan teratur karena pertumbuhan maksimal manusia terjadi sekitar dua tahun pertama umur mereka.