Tingginya angka kematian akibat kanker, antara lain, disebabkan oleh kurangnya kesadaran untuk deteksi dini. Kanker bisa diobati jika ditemukan pada stadium awal.
Oleh
TIM KOMPAS
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus kanker yang terus meningkat di negara berkembang, termasuk Indonesia, menandakan upaya penanggulangan yang dilakukan belum optimal. Selain program yang komprehensif dan strategis, komitmen semua pihak juga diperlukan untuk mengatasi persoalan ini.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, ada sekitar 9,6 juta kematian akibat kanker pada 2018. Jumlah itu meningkat sampai 2 juta kematian selama satu dekade. Di Indonesia, kematian akibat kanker pada 2018 mencapai 207.210 kasus. Kasus terbanyak yang diderita ialah kanker payudara, kanker serviks, dan kanker paru.
Terkait hal itu, pemerintah mesti lebih memberikan perhatian terhadap soal kanker dengan menjamin ketersediaan layanan bermutu, aman, tepat waktu, dan tepat sasaran. Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat sekaligus penyintas kanker mengemukakan hal itu di Jakarta, Selasa (4/2/2020), terkait Hari Kanker Sedunia yang diperingati setiap 4 Februari.
Stadium awal
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Cut Putri Arianie menuturkan, tingginya angka kematian akibat kanker, antara lain, disebabkan oleh kurangnya kesadaran untuk deteksi dini. Kanker bisa diobati jika ditemukan pada stadium awal.
Dalam laporan Integrated Mission of the Programme of Action for Cancer Therapy 2018, sebesar 70 persen kasus kanker di Indonesia ditemukan pada stadium lanjut. Akibatnya, terapi pada pasien kanker menjadi lebih kompleks. ”Berbagai upaya dilakukan untuk mendorong deteksi dini, dari promosi kesehatan untuk meningkatkan kesadaran tentang bahaya kanker sampai ketersediaan akses deteksi dini di fasilitas pelayanan kesehatan secara merata,” kata Cut.
Pemerintah menetapkan empat pilar penanggulangan kanker di Indonesia. Pilar itu adalah promosi kesehatan, deteksi dini faktor risiko kanker di fasilitas kesehatan dengan sadanis (periksa payudara klinis) dan IVA (inspeksi visual dengan asam asetat) atau pap smear. Dua pilar lain ialah pemberian vaksin human papilloma virus (HPV) untuk mencegah kanker serviks dan pengobatan di fasilitas kesehatan.
Terkait pemberian vaksin HPV, pemerintah baru melakukan uji coba di enam kota, antara lain Yogyakarta, Surabaya, dan Manado. Vaksin ini diberikan untuk anak usia 11-12 tahun. ”Diharapkan pemerintah daerah berkomitmen memberikan vaksin HPV bagi warga di daerahnya,” ujar Cut.
Ketua Yayasan Kanker Indonesia Aru Wisaksono Sudoyo menjelaskan, upaya deteksi dini lain bisa dilakukan dengan foto rontgen dada untuk mendeteksi kanker paru. Kesadaran ini perlu dimiliki mereka dengan faktor risiko tinggi, antara lain merokok dan berusia di atas 40 tahun.
Menurut Cut, pencegahan paling tepat dilakukan sejak hulu, yakni mendeteksi faktor risiko kanker. Untuk itu, warga perlu melakukan pemeriksaan rutin, seperti pengecekan kadar gula darah, tekanan darah, lingkar perut, dan berat badan.
Sejumlah organisasi sosial di sejumlah daerah turut terlibat menanggulangi kanker. Yayasan Kanker Indonesia Cabang DI Yogyakarta, misalnya, melakukan sosialisasi deteksi dini kanker dan menyediakan sukarelawan untuk mendampingi pasien yang kesulitan berobat.
”Jika pasien tidak memiliki biaya transportasi, kami memberikan bantuan transportasi,” kata Wakil Ketua I YKI DI Yogyakarta Sunarsih Sutaryo. Yayasan itu memiliki tempat singgah bagi pasien kanker yang membutuhkan penginapan saat berobat. Sebab, banyak pasien dari sejumlah wilayah berobat ke Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito, Yogyakarta. (TAN/HRS/JOL/BRO/ETA/EVY)