Diet ketogenik yang menyediakan 99 persen kalori dari lemak dan protein dan 1 persen dari karbohidrat menghasilkan manfaat kesehatan dalam jangka pendek. Diet itu menurunkan risiko diabetes dan peradangan.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Diet ketogenik yang menyediakan 99 persen kalori dari lemak dan protein dan hanya 1 persen dari karbohidrat menghasilkan manfaat kesehatan dalam jangka pendek. Akan tetapi, jika dilakukan dalam jangka panjang, hal itu justru berdampak negatif.
Kesimpulan itu diperoleh para peneliti dari Yale School of Medicine, Amerika Serikat dengan menggunakan percobaan tikus. Penelitian ini diterbitkan di jurnal Nature Metabolism pada 20 Januari 2020.
Hasil kajian ini memberikan indikasi awal bahwa diet keto, asalkan dilakukan selama periode waktu terbatas, bisa meningkatkan kesehatan manusia dengan menurunkan risiko diabetes dan peradangan. Kajian ini merupakan langkah pertama yang penting menuju kemungkinan uji klinis pada manusia.
Diet keto telah menjadi semakin populer termasuk di kalangan selebritas. Gwyneth Paltrow, Lebron James, dan Kim Kardashian disebut-sebut menggunakan diet tersebut sebagai cara untuk menurunkan berat badan.
Dalam studi ini, para peneliti menemukan bahwa efek positif dan negatif dari diet tersebut berkaitan dengan sel-sel kekebalan yang disebut sel T-gamma delta, yaitu sel-sel pelindung jaringan yang menurunkan risiko diabetes dan peradangan.
”Diet keto menipu tubuh untuk membakar lemak,” kata pemimpin kajian, Vishwa Deep Dixit dari Yale School of Medicine, melalui keterangan tertulis. Ketika kadar glukosa tubuh berkurang karena rendahnya kandungan karbohidrat dalam diet, tubuh bertindak seolah-olah dalam keadaan kelaparan—walaupun sebenarnya tidak lapar—dan mulai membakar lemak.
Bahan bakar alternatif
Proses ini pada gilirannya menghasilkan bahan kimia yang disebut keton sebagai sumber bahan bakar alternatif. Ketika tubuh membakar keton, sel-sel T gamma delta pelindung jaringan mengembang ke seluruh tubuh.
”Situasi ini mengurangi risiko diabetes dan peradangan, dan meningkatkan metabolisme tubuh,” kata Dixit, yang juga profesor Pengobatan Komparatif Waldemar Von Zedtwitz dan Immunobiologi. Setelah seminggu menjalani diet keto, tikus mengalami penurunan kadar gula darah dan peradangan.
Namun, ketika tubuh berada dalam mode ”kelaparan-tidak-kelaparan” ini, penyimpanan lemak terjadi secara bersamaan dengan pemecahan lemak. Saat tikus terus mengonsumsi makanan tinggi lemak dan rendah karbohidrat melebihi satu minggu, mereka mengonsumsi lebih banyak lemak daripada yang bisa mereka bakar, dan berikutnya justru memicu diabetes dan obesitas.
Situasi ini mengurangi risiko diabetes dan peradangan, dan meningkatkan metabolisme tubuh.
”Mereka (akhirnya) kehilangan sel-T gamma delta pelindung dalam lemak,” katanya.
”Temuan kami menyoroti interaksi antara metabolisme dan sistem kekebalan tubuh, dan bagaimana hal itu mengoordinasikan pemeliharaan fungsi jaringan yang sehat,” kata Emily Goldberg, tim peneliti.
Studi klinis dalam jangka panjang pada manusia masih diperlukan untuk melaksanakan validasi klaim manfaat kesehatan keto. ”Sebelum diet seperti itu dapat ditentukan, uji klinis besar dalam kondisi terkontrol diperlukan untuk memahami mekanisme di balik manfaat metabolik dan imunologi atau potensi bahaya apa pun bagi individu yang kelebihan berat badan dan pra-diabetes,” kata Dixit.
Studi lebih lanjut itu semakin dibutuhkan saat ini mengingat terus meningkatnya diabetes. Menurut Pusat Pengendalian Penyakit atau Centers for Disease Control (CDC) Amerika Serikat, sekitar 84 juta orang dewasa Amerika Serikat atau lebih dari satu dari tiga orang mengalami prediabetes (peningkatan kadar gula darah).
Kondisi itu menempatkan mereka pada risiko lebih tinggi terkena diabetes tipe 2, penyakit jantung, dan stroke. Lebih dari 90 persen orang dengan kondisi ini tidak tahu mereka memilikinya. ”Obesitas dan diabetes tipe 2 adalah penyakit gaya hidup. Diet memungkinkan orang untuk mengendalikannya,” kata Dixit.
Dengan temuan terbaru ini, para peneliti sekarang lebih memahami mekanisme yang bekerja dalam tubuh secara berkelanjutan pada diet keto, dan mengapa diet itu dapat membawa manfaat kesehatan selama periode waktu yang terbatas, namun sebaliknya bisa berbahaya jika berlarut-larut.
Menurut Dixit, keto lebih baik dalam dosis kecil dan sementara. Lagi pula, tambahnya, ”Siapa yang ingin melakukan diet selamanya?”